27 September 2009

Maaf kudet...

Erm... Tes-tes...
Hehehehe... Hi, Folks! Udah lama banget garcen ga update. Um... maaf atas kekurangupdatetan kami. Hal ini terjadi karena kami sekarang sedang sibuk dengan kesibukan kami masing-masing mengingat kini kami terpisah-pisah kelasnya (sekarang kami kelas 3 SMA, folks!). Kami juga sibuk dengan semakin dekatnya ujian-ujian kelulusan yang mengakibatkan kami harus banyak belajar mengejar ketertinggalan kami di kelas dua (ehem... maaf bagi yang mengerti kalian boleh tertawa).
Setiap hari kami pulang sekolah sore hari dan terkadang dilanjutkan dengan bimbingan belajar. Di hari libur beberapa orang dari kami juga masih ikut bimbingan belajar dan sedang sibuk dengan situs pertemanan yang lainnya. Bahasa kasarnya yaa....................................................................... (isi titik-titik tersebut sesuai dengan pandangan kalian maksud kami apa)
Tapi kami (mudah-mudahan) akan update begitu kami sudah tidak sibuk dan sedang ada cerita yang bagus. Semoga garcen bisa menjadi pemersatu kami yang kini sudah terpisah-pisah (mohon doanya agar kami bisa)..
Least, mohon doanya agar kami bisa diterima di universitas dengan fakultas yang terbaik untuk kami. Dan semoga kami bisa terus berkarya. Amin...

21 February 2009

...dan Rumput pun Berhenti Bergoyang...

"Syukurlah ada pohon ini. Akhirnya aku bisa menutup tubuhku dari pandangan setiap binatang, juga jin dan iblis," kata Adam.

Syukurlah, kami senang bisa membantu

"Oh, ternyata buah ini bisa dimakan! Kita tidak akan kelaparan!!" ujar manusia nomaden.

Ya, kami bermanfaat untukmu, kan?

"Aha!! Jadi rupanya ini yang menyebabkan perbedaan antara orang tua dengan anaknya," kata Mendel

Kami jauh lebih mudah untuk di teliti, kau tahu itu. Terima kasih telah memanfaatkan kami.

"Yah, lihat, aku bisa membuat mainan dari kayu sisa ini, lho!!" ujar Adi kepada ayahnya.

Terimakasih karena kau tidak menyia-nyiakan kami...

"Hmm...produksi karet tahun ini kurang banyak. Mungkin kita harus mencari lebih jauh lagi," kata seorang penyadap.

Jangan lupakan kami, kami akan tetap ada untukmu walaupun kami jauh...


"Pestisidanya kurang ampuh. Mungkin harus ditambah dosisnya," kata petani.

Hei, hei...

"Kapten!! Kebakaran di area C sudah semakin masuk ke dalam! Truk pemadam kita tidak akan bisa memadamkan area itu!" ujar seorang pemadam kebakaran kepada kaptennya.

Tolong cepat padamkan...Di sini panas...

"Waduh! kertasnya kurang, nih!" teriak Wahyu. "Udah, pake yang baliknya aja!" balas Nita. "Aaah!! Ngapain repot-repot segala, sih! Pake kertas baru aja, kan bisa! Nih, pake kertas gue!" kata Rani.

Hei, tidakkah kau lihat keadaan kami?


"Nah, tanah di sini sepertinya bagus, ayo kita buka lahan di sini!" ujar peladang

Jangan usir kami...kami hidup di sini seumur hidup kami...

"Panas banget nih, gue nyalain AC nya, ya!" pinta Kina.

Lebih baik jangan...tolong...

"Bu, air bekas cuciannya jangan dibuang langsung ke tanah, kasian tanamannya," kata Ani. "Biarin aja, lah! Cuma sedikit ini!" balas ibu

Setiap orang yang melakukan itu mengatakan hal yang sama, kau tahu?

"Udah berapa kali dibilang, jangan buang sampah ke dalam got! Kamu nggak tahu efeknya terhadap lingkungan sekitar kita?" ujar Pak Guru marah. "Iya, tahu kok Pak, mentang-mentang sekolah kita mau ikut Adipura, kan?" balas murid

Kau kemanakan nasib kami?

"Bahan buat presentasi besok harus difoto kopi dan dibagikan ke seluruh kelas! Jangan lupa untuk mengerjakan presentasinya di atas karton!" tegas seorang guru pada akhir jam pelajaran. "Pak, kenapa nggak dibuat power pointnya aja?" tanya murid. "Nggak boleh! Harus pakai kertas, nggak boleh yang lain!" perintah guru.

Kalau sudah ada penggantinya, kenapa harus memakai yang lama? Belajarlah!!

" Masih kurang 200 lagi! Bos baru dapet order baru dari Jakarta!!" teriak seorang penebang kepada teman-temannya.

Terus saja habisi nyawa kami

"Duh, lo punya tissue, nggak?"tanya Neta. "Nggak ada. Minta aja ke Sari. Eh, lo nggak papa tuh pake tissue terus-terusan? Ntar global warming lagi!" jawab Tyas. "Global warming! kalo lo terus-terusan mikirin global warming, lo nggak bakalan bisa hidup, tau!" balas Neta.

Hei, lihatlah kami sekarat

"Global warming itu siklus. Jadi, nggak peduli mau seberapa banyak pun lo ngedaur ulang ataupun ngehemat, tetep aja bakal terjadi! Makanya, mending nggak usah repot-repot," kata Sita sambil tertawa.

Apa kalian hanya peduli pada kami karena global warming? Apa kalian pikir kami tak punya jiwa? Apa kalian pikir kami bukan makhluk hidup yang sama dengan kalian? Mengapa kalian, manusia, begitu egois? Baik, kalau memang kalian hanya peduli pada nasib kalian, tengoklah ke jendela. Lihatlah kami mati di luar sana. Dan renungkanlah...apa yang akan terjadi jika kami tidak di sini untuk kalian.

Rantai

Aku menghela nafas, dan lagi-lagi, aku menunduk, membaca data dari pasien yang kutangani. Sekali lagi, aku berusaha mencari tahu apa yang membebani orang ini. Ia mempunyai istri yang baik, ramah, dan parasnya, lumayanlah, tidak terlalu cantik tetapi juga tidak jelek. Ia juga mempunyai dua orang anak, keduanya kini tengah menempuh pendidikan di SMA, dan keduanya tidak pernah membawa masalah yang berarti bagi keluarga. Pekerjaannya baik-baik saja, tentu, sebelum ia mulai mengalami gangguan dan akhirnya keluarganya membawanya padaku. Dan yang terpenting, ia juga seorang psikiater, sama sepertiku. Dia terkenal, justru sebagai psikiater andal di kota ini. Dan sekarang, ia mengalami gangguan yang menyebabkan ia terpaksa datang padaku, seorang psikiater kelas dua.

Kemarin, ia datang menemuiku. Aku membayangkan kembali saat itu, seolah-olah aku melihat lagi sosoknya yang cukup berantakan, pasti, dibandingkan dengan penampilan sehari-harinya, duduk di kursi di depanku, ah, bukan, lebih tepat kalau kukatakan setengah berbaring. Kalimat pertama yang diucapkannya adalah, “Anda seorang psikiater, kan?” Dia menanyakan itu, bahkan sebelum aku memperkenalkan diriku dan menanyakan apapun padanya. Kujawab, “Ya.”

Dia memandangku dengan cara yang tidak kusukai, seolah-olah dia sedang berusaha menilai sejauh mana kemampuanku. Akhirnya dia melanjutkan kata-katanya, “kalau begitu, bisakah anda membantu saya?”

Aku, tentu saja langsung tersinggung dengan kalimat ini. Seolah dia meremehkanku, atau setidaknya begitu yang kupikir. Maka aku menjawab dengan nada tidak suka, “kalau anda kira saya bisa membantu anda, yah, saya akan berusaha melakukan apa yang saya bisa,” kataku.

Tampaknya dia menyadari perubahan nada suaraku, karena ia menjawab, “Jangan tersinggung. Saya hanya ragu, karena…saya sendiri tidak sanggup untuk menolong gadis itu,” katanya dengan nada meminta maaf.

Heh, orang ini cukup waras, pikirku waktu itu. Namun mau tidak mau aku tertarik juga dengan perkataannya barusan. “Menolong gadis itu? Siapa gadis itu?” tanyanku penasaran.

Bukannya menjawab perkataanku, dia justru kembali menanyakan sesuatu, kali ini dengan pandangan menerawang. “Anda tahu...Ivan Illich atau Ki Hadjar Dewantara?” tanyanya.

“Ki Hadjar Dewantara? Tokoh pendidikan nasional itu, kan?” jawabku yakin.

“Ya. Kalau Ivan Illich?” tanyanya kembali. Mendadak aku jadi teringat masa-masa ketika aku bersekolah, dan guru menanyakan sesuatu padaku. Ya, perasaanku sekarang sama persis dengan waktu itu.

“Tidak tahu,” jawabku agak malu, seolah-olah aku mendapatkan nilai jelek dalam ujian karena tidak belajar sebelumnya.

Sampai di sini, aku memutus lamunanku itu. Kunyalakan komputer di kamarku, membuka sebuah search engine terkenal, dan mengetikkan nama tersebut. Ivan Illich. Ya, ini dia.

Aku mengeklik salah satu hasil pencarian itu. Dan membacanya, berusaha mengerti. ‘The book that brought Ivan Illich to public attention was Deschooling Society (1971), a critical discourse on education as practised in "modern" economies. Ah, rupanya itu yang dimaksudnya. Jadi, si Ivan Illich ini juga kritikus pendidikan?

Pikiranku kembali melayang ke siang hari yang lalu. Dia, psikiater itu, tersenyum, seolah mengingat sesuatu yang lucu.

“Apa yang lucu?” sergahku kasar, karena merasa diremehkan.

“Oh, tidak, tidak apa-apa. Hanya saja…” kata-katanya terputus di tengah jalan.

“Hanya saja?” tanyaku penasaran

“Yah, hanya saja…saya rasa begitulah ekspresi wajah saya ketika gadis itu menanyakan pertanyaan yang sama pada saya,” matanya mulai menerawang. Untuk beberapa saat aku takut kalau pasienku ini akan kehilangan kesadarannya. Tapi ternyata tidak. Ia justru melanjutkan pembicaraan kami tadi.

" Dia dibawa oleh keluarganya mendatangi saya. Keluarganya mengatakan bahwa gadis itu mengalami...didaskaleinophobia," katanya. Aku segera mengerti, didaskaleinophobia adalah semacam rasa takut untuk pergi sekolah, namun biasanya rasa takut ini terjadi pada anak-anak, bukan pada seorang gadis.

" Dia menolak untuk pergi sekolah selama dua bulan. Seluruh keluarganya khawatir padanya," Aku mangut-manggut setuju. Memang begitulah biasanya keluarga pasien.

Sejenak dia berhenti. Menghela nafas beberapa kali, dan melanjutkan, "Tapi mereka salah. Saya tahu itu," katanya, matanya terlihat sedikit berair.

Lagi-lagi aku takut kalau pikirannya akan terganggu, tapi dia meneruskan kata-katanya. " Dia menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang saya ajukan tadi kepada anda. Ya..." dia tersenyum, "sama persis. Sama persis sampai saya bisa melihat bayangan diri saya waktu itu pada reaksi anda sekarang."

Aku mulai lelah dengan pembicaraan yang berputar-putar ini. Untunglah dia segera melanjutkan dengan membawa topik baru, "Bagaimana anda bisa menjadi seorang psikiater?" tanyanya.

Aku mulai kesal lagi. Apa sih maunya orang ini? Tapi aku tetap menjawab pertanyaannya. Aku tidak mau terlihat bodoh di depan orang ini. "Karena saya belajar. Saya belajar untuk menjadi seorang psikiater, dan saya lulus, saya mendapat lisensi untuk bisa membuka praktek di sini" tandasku. Tapi ia masih melanjutkan, " Bagaimana kalau anda tidak mendapat lisensi itu?" tanyanya.

Aku bingung. "Tentu saja saya tidak akan membuka praktek di sini" jawabku

"Aaah," desahnya, "Anda benar-benar membuka jalan bagi saya untuk meneruskan," lanjutnya dengan senyum yang tidak dapat kumengerti. "Apa anda ingin menjadi seorang psikiater?"

"Ya," jawabku berhati-hati. Dia kembali bertanya, "Kalau begitu, anda pasti harus mendapat lisensi itu, kan?" tanyanya.

"Ya. Kalau tidak, apa gunanya saya mengambil mata kuliah psikologi dulu? Lebih baik saya mengambil yang lainnya, kan?"

"Hmm...jadi, anda pasti mengambil mata kuliah kedokteran dan melanjutkan ke psikologi, kan? Bagaimana anda bisa masuk ke fakultas kedokteran?"tanyanya, kembali berputar.

"Tentu saja dengan kerja keras! Saya harus belajar untuk mendapat nilai SPMB yang tinggi untuk itu!"

"Tapi, kalau nilai UN anda jeblok, anda pasti tidak akan pernah melanjutkan cita-cita anda, ya kan?"

Aku terdiam sejenak, dan berkata, "Ya."

"Bagaimana agar nilai UN anda tidak jeblok?" tanyanya lagi.

"Ya, tentu saja saya harus belajar yang baik di sekolah. Dan tentu saja saya harus mendapatkan nilai-nilai yang juga memuaskan di sekolah, agar bisa lulus, bahkan naik ke kelas tiga SMA," jawabku sebelum dia mengajukan pertanyaan untuk itu.

"Seandainya anda tidak lulus dari SMP?"

"Tentu saja saya terpaksa harus mengulang satu tahun. Bila saya harus keluar, tentu saya tidak akan menjadi seorang psikiater. Dan kalau saya tidak lulus SD, saya mungkin hanya akan menjadi tukang bangunan, atau mengerjakan pekerjaan kasar lainnya," lagi-lagi aku menyerobot pertanyaannya.

"Ah. Dan bila anda tidak pernah sekolah?"

"Saya mungkin akan menjadi salah satu dari anak jalanan. Menggelandang, mengamen, mengemis, dan entah apalagi."

"Apa itu alasan anda sekolah?"

Aku berpikir sejenak. Aku tidak boleh salah menjawab. Itukah alasanku sekolah? Kalau tidak, untuk apa aku berusaha keras belajar? Untuk apa aku marah-marah, kecewa ketika nilai ulanganku jelek? Untuk apa aku berusaha mengelabui guruku dengan jalan mencontek? Untuk apa?

"Mungkin...ya," jawabku akhirnya

"Itu yang dinamakan stereotype, kan?" tanyanya kali ini, sedikit menyimpang dari pembicaraan kami sebelumnya. Aku terpana.

"Bukannya anda seharusnya lebih tahu daripada saya?" tanyaku dengan rasa tidak suka.

"Di ruangan ini, saat ini, saya adalah pasiennya, dan anda dokternya. Jadi, saya beranggapan bahwa anda lebih tahu dari saya," katanya. Aku mengernyitkan dahi, dan menjawab,"Oh, baiklah. Ya, itu yang dinamakan stereotype."

" Begitu. Saya mengerti," katanya, menghembuskan nafas panjang. "Begitu pula cara saya menjawab. Dan sampai sekarang, saya masih menyesali jawaban saya itu," suaranya terdengar bergetar sekarang.

"Apa alasan anda sekolah?" tanyanya lagi. Aku benar-benar jengkel sekarang. Orang ini benar-benar sudah gila, kumaki diriku sendiri dalam hati. Dan aku semakin kesal ketika mendapati aku menjawab pertanyaannya.

"Agar saya bisa menjadi orang, orang yang berguna untuk masyarakat, orang yang...yang..."

"Yang sukses?" katanya membantuku. Merasa tak berdaya, aku mengangguk.

" Rata-rata orang akan menjawab begitu. Sedikit yang akan mendapati bahwa mereka tak punya alasan untuk tetap sekolah. Dan sisanya akan menjawab, untuk mencari ilmu. Tapi, apa itu benar?" Lagi-lagi ucapanya menggantung.

" Kalau hanya untuk mencari ilmu, bisa dilakukan sendiri-sendiri. tanpa harus terikat pada peraturan sekolah. Tanpa harus terikat pada seragam. Tanpa harus terikat pada bayaran sekolah. Tanpa harus terikt pada buku yang ditentukan. Tanpa harus terikat pada guru yang ditentukan. Tanpa harus terikat pada ilmu yang ditentukan....Setidaknya, begitulah kata gadis itu," ia kembali memejamkan mata, ekspresinya seolah menahan perih. "Dan anda harus mengakui, bahwa memang ada cara seperti itu untuk menuntut ilmu," tambahnya.

"Awalnya, saya hanya mengira ia seorang pembolos. Pembolos yang mencari-cari alasan untuk bisa membolos dari kelas. Pembolos yang mencari alasan sekenanya, meskipun dari awal saya sudah takjub dengan pengetahuannya. Berapa orang murid SMA yang tahu tentang Ivan Illich? Berapa orang dari murid SMA yang tahu mengenai teori ruang kelas dengan tiga dinding Ki Hadjar Dewantara?"

Aku menyela kata-katanya, aku mulai tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. "Teori ruang kelas dengan tiga dinding? Segitiga?"

"Bukan, meskipun memang bisa dilihat seperti itu juga. Namun yang dimaksud adalah konsep untuk menyatukan ruang kelas dengan dunia luar, dan bukan sebagai tempat eksklusif bagi murid dan guru," jawabnya.

"Saya kira dia akan mulai mengajukan alasan seperti Thomas Alfa Edison yang bisa menjadi salah satu orang paling bersejarah di dunia ini, meskipun ia dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap bodoh. Tapi ternyata tidak. Dia justru mengajukan pertanyaan terus menerus tentang efisiensi dan efektivitas dalam sistem."

"Dia bertanya, berapa umur anda saat anda menjadi seorang psikiater? Kujawab, 37 tahun saat saya mulai membuka praktek sendiri," dia menarik nafas dalam-dalam, dan melanjutkan, " Kemudian dia bertanya lagi, berapa banyak kekayaan yang anda miliki saat ini? Tentu saja saya kaget, nyaris saja saya mengatakan,' itu privasi saya!' Namun ada sesuatu yang membuat saya ingin menjawabnya. Maka saya menjawab, 'ya, sekitar rumah ini, mobil saya, dan tabungan, mungkin beberapa hal-hal lain yang tidak ingin saya sebutkan.' Dia berhenti sejenak, dan melanjutkan, 'pernahkah anda berpikir, mungkin saja anda bisa memperoleh semua itu ketika anda masih berusia, katakanlah, tujuh belas tahun?'"

"Saya terdiam sejenak, dan berkata, 'mungkin saja.' Tapi dia berkata, 'bagaimana kalau saya katakan itu tidak mungkin?' Saya menjawab, 'berarti kamu orang yang pesimis.' Kali ini dia yang terdiam sejenak, namun dia lagi-lagi membalas kata kata saya,' ya, mungkin saya memang orang yang pesimis. Tapi coba anda pikir, berapa banyak perusahaan yang mau menerima karyawan yang belum menamatkan sekolahnya? berapa banyak perusahaan yang mau menerima karyawan yang tidak berpengalaman?'"

"Maka saya menjawab lagi, 'yah, kamu bisa mencari uang dengan cara mandiri, wiraswasta mungkin?' dan saya kembali dipojokkan. Ia kembali menyerang saya, 'berapa banyak sekolah yang mengizinkan murid-muridnya berusaha? bukankah mayoritas dari sekolah memfokuskan diri untuk menjaga agar siswanya meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi? Bukankah banyak sekolah yang menyita waktu siswanya dengan cara membuat mereka selama mungkin berada di sekolah? dan setelah pulang pun, mereka dijejali dengan begitu banyak PR, yang mencegah mereka untuk keluyuran dari rumah?' saya memotong kata-katanya, dan berkata, ' bukankah itu hal yang bagus? banyak remaja yang terjebak pergaulan bebas saat ini, bukan?' Ia tersenyum, seolah mengejekku, dan berkata, 'begitulah cara pikir kalian. Tapi, tidakkah kalian sadar, bahwa itu juga menghalangi kami dari melihat dunia luar. Seorang siswa seolah-olah adalah seekor kucing rumah yang dipelihara dengan baik sejak lahir, lalu tiba-tiba dilepaskan begitu saja, dan terpaksa mencari makan sendiri. Ia tidak punya pengalaman, dan kemudian, yang terjadi adalah hukum rimba, yang terkuat yang akan bertahan hidup. Yang lainnya? Mati kelaparan, matikedinginan, mati diterkam oleh binatang lain.'"

Sampai di sini ia berhenti, mungkin kehabisan nafas karena bicara begitu berapi-api. Aku menawarkan minuman, namun dengan halus ditolaknya. Setelah beberapa saat, ia melanjutkan lagi pembicaraannya.

"Gadis itu berkata, 'berapa tahun yang kita butuhkan untuk menyelasaikan sekolah? katakanlah, enam tahun pada SD, tiga tahun saat SMA, dan tiga tahun saat SMA. Kemudian ditambah sekitar 4 tahun saat perguruan tinggi. Itu kalau hanya mengambil S1. Belum kalau mengambil S2. Bisa-bisa memakan waktu 20 tahun sendiri. Kira-kira umur pada saat kita masuk SD adalah 6 tahun. Maka, umur kita pada saat lulus S1 sekitar 22 tahun. Dan baru saat itulah kita bisa mulai bekerja, mulai mencari penghasilan sendiri, dan boleh dikatakan, mulai berperang'"

"'Itupun, seandainya kita tidak salah memilih jurusan nantinya. Kalau sampai salah, bayangkan betapa sia-sianya waktu dan usaha yang kita berikan selama ini,' aku menyela lagi, 'Tapi, bukankah semua ilmu itu ada gunanya?' Ia menjawab, 'ya. tapi, dengan adanya ijazah, bisakah anda bekerja sebagai dokter kalau ijazah anda berkata bahwa anda adalah seorang arsitek? Bisakah anda menjadi seorang psikiater kalau ijazah anda mengatakan bahwa anda adalah dokter gigi?'"

Ia mulai terbatuk-batuk, tapi ia tetap meneruskan ceritanya, " Ia juga memprotes kurikulum yang ada saat ini. Katanya, 'kenapa kami harus belajar sejarah kalau hanya untuk menghafalkan nama, tempat dan tanggal kejadian? Bukankah tujuan dari pelajaran ini adalah belajar dari masa lalu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama? Kenapa pelajaran Pkn dan sosiologi tidak digabungkan saja ke dalamnya? Jadi kami tidak hanya mempelajari tanggal-tanggalnya, namun juga latar belakang kejadian secara sosial, psikologi, dan juga politik. Juga mencari solusi jika kejadian serupa terulang? Atau, mengapa pelajaran BK tidak diganti dengan dasar-dasar psikologi? setidaknya itu akan membantu kami dalam bersikap, dalam bermasyarakat, bukannya menina bobokan kami, mencekoki kami dengan cara-cara belajar, atau dengan pilihan-pilihan perguruan tinggi. Bukankah mata pelajaran ini dinamai bimbingan konseling? Kenapa harus dibatasi dengan masalah seputar sekolah, bukannya seputar dunia, agar kami juga belajar untuk hidup di dunia luar?'"

"Kemudian, lagi-lagi saya memutus bicaranya. Saya bertanya, 'Apa kamu sedemikian membenci sekolah?' Ia menimbang-nimbang, baru menjawab, 'mungkin ya. Tetapi, saya bukannya membenci sekolah, melainkan membenci bagaimana sekolah dijalankan. Sekolah dijadikan ajang politik, ajang kekuasaan, bukannya ajang pendidikan, dimana kami diminta untuk mencari pencerahan sebagai generasi penerus bangsa ini. Justru, di sekolah kami diajari bagaimana cara bersikap dalam masyarakat sekarang, agar kami dapat membaur, bukannya membuat suatu perubahan yang nyata untuk mengangkat harkat negara ini. Bagaimana kami bisa mencari solusi, bagaimana kami bisa menajdi generasi penerus dengan cara seperti ini? Sementara kami terus-terusan ditekan untuk bersikap baik, patuh pada sistem yang ada, tanpa memiliki keinginan untuk memprotes segala sesuatunya. Bagaimana kami bisa diharapkan untuk menmbuat sebuah perubahan jika yang mengharapkan kami membuat perubahan justru takut pada perubahan itu sendiri?'"

"'Dan begitulah seterusnya, dari generasi ke generasi. Dari zaman anda dahulu, sampai ke zaman, mungkin, anak anda, sekolah tetap seperti itu. Apanya yang berubah? Semuanya tetap menilai dari hasil, bukan proses. Semuanya tetap memberi nilai. Semuanya mengkritik bahwa kami adalah generasi yang tak bisa diharapkan, bahwa kualitas dari generasi ke generasi makin menurun, tapi sadarkah anda, bahwa yang mendidik kami untuk berbuat begini adalah generasi anda! Terwujudnya kekerasan di sekolah, korupsi, dan segala macam tindak kriminal, mungkin juga berasal dari sana. Mungkin, bila sekolah diubah, juga akan mengubah paradigma bangsa ini tentang segala sesuatu...'"

"' Sayangnya...tidak ada, atau sedikit, yang dapat mengerti saya. Kebanyakan orang, bahkan orang tua saya, menganggap saya gila. Dan anda tahu? Paradigma itu juga disebabkan oleh sekolah. Stereotype yang ada, semuanya, mungkin berasal dari sana. Seandainya tak ada predikat orang yang tidak sekolah, orang yang tidak berpendidikan, predikat yang membedakan satu dari yang lainnya, stereotype yang membuat jurang diantara satu dan lainnya, yang menciptakan kesenjangan, paradigma yang membuat orang berpikir sempit. Semuanya...bagaimana saya harus mulai berubah?'"

Ia menghela nafas dalam-dalam, lalu melanjutkan ," Saat itu, anak saya yang masih duduk di SD, masuk ke ruang kerja saya. Gadis itu menatapnya dengan pendangan aneh, dan berkata, 'hati-hatilah, mungkin anak anda juga akan terjebak dalam rantai itu,' Kata-kata itu terus menghantui saya. Saya berusaha, sedikit demi sedikit, mempengaruhi orang dengan cara pikir saya. namun, seperti yang gadis itu katakan, orang-orang menganggap saya aneh. Namun saya masih belum mau menyerah, sampai saya kembali mendengar kabar dari gadis itu,"

"Beberapa hari sebelum kejadian itu, orang tua gadis itu sempat menelepon saya dan mengucapkan terima kasih karena putri mereka mau masuk sekolah kembali. Tapi, suasana damai itu hanya untuk beberapa hari. Kelihatannya gadis itu mulai mengutarakan ide-idenya lagi, yang menyebabkan ia dipanggil oleh guru-gurunya, bahkan sampai menghadap kepala sekolah segala. Dan di situlah, keputusannya untuk menunjukkan pendiriannya sudah bulat. Ia mengangkat sebuah kursi dan mengayunkan kursi tersebut ke jendela. Tentu saja, jendela-jendela itu pecah. Maka, sekolah mengirimkan surat kepada orang tua gadis itu bahwa...bahwa...putri mereka menderita gangguan jiwa,"

Kali ini punggungnya bergetar. Dan bukan hanya punggungnya, tapi juga suaranya, bahkan matanya pun menjadi liar. " Dia tidak apa apa!! Gadis itu tidak apa-apa, ia hanya memiliki idealisme, dia tidak apa-apa, dia tidak seharusnya berada di sana...dia tidak seharusnya menjalani karantina di sana...bersama orang-orang gila...kriminal...dia...." dan tangisnya pun pecah.

" Sejak saat itu, saya melarang tiga orang putra putri saya untuk pergi ke sekolah. Dan itu pula...yang menyebabkan...keluarga saya mengirim saya ke sini....."

Lamunanku kembali terputus, kali ini oleh ketukan di pintu. Dina, asistenku, melongokkan kepalanya ke dalam kantor.

"Pak, ada telepon dari keluarga Pak Marsal, pasien yang kemarin sore datang...katanya, mereka telah memutuskan untuk memasukkan beliau ke pusat rehabilitasi, jadi janji sore ini dibatalkan," katanya.

Kepalaku mendadak pusing. "Ke...Kenapa?" tanyaku terbata.

"Katanya, tadi siang Pak Marsal menghancurkan nyaris separuh ruang kelas putranya. Beliau menghancurkan jendela-jendela, bahkan kursi-kursi yang ada. Padahal, saat itu tengah berlangsung rapat orang tua murid di sekolah putranya itu. akrena itu pihak keluarga memutuskan untuk membawa Pak Marsal ke sana," jelas Dina.

Aku terhuyung, tanganku berusaha mencari pegangan untuk menopang tubuhku. Seketika aku teringat dua putriku yang masih SD.

Dina yang mungkin panik melihat keadaanku, segera mengambilkan kursi dan bertanya, "Pak, Bapak baik-baik saja? Perlu saya bawakan sesuatu?"

Dengan keadaan setengah sadar, aku menjawab lemah, "Ya...panggilkan aku...seorang psikiater..."

24 January 2009

Amaryllis

“Aaarrrggghhhhh!!!! Keluarin gue!!! Bangsat!!!!! Anjing!!! Babi!!!!!!!!”

Suara itu terdengar dari sebuah ruangan di salah satu bangsal di rumah sakit jiwa Malang saat aku dan seorang perawat berjalan melewati lorong-lorong yang penuh dengan beberapa orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Walaupun sudah sering aku menangani pasien yang mengalami gangguan kejiwaan, baru kali ini aku mendengar teriakan sehisteris itu, terdengar sangat menyedihkan alih-alih seram. Memang hal seperti itu seharusnya sudah menjadi hal yang wajar dalam dunia ku, tetapi baru sekali ini aku mendengar dan merasakan langsung orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang begitu histeris.

“Mas, Silahkan lewat sini” kata perawat yang mengantarku menuju ruangan dokter kepala di rumah sakit jiwa itu.

“Eh, iya”

“Keluarin gue!!!!!! Bakalan gue bunuh tuh setan!!! Keluarin gue, anjing!!!!!” teriaknya lagi.

“Maaf, mbak. Pasien itu…”

“Oh, itu namanya mbak Mary, dia sudah disini sejak sebulan yang lalu. Memang dia seperti itu, mas, maklumlah namanya juga pasien rumah sakit jiwa” jawab si perawat kalem sebelum aku dapat menyelesaikan pertanyaanku.

“Masalahnya apa, mbak?”

“Dia mengalami depresi berat akibat kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya, kasihan lho mas, pas nganterin kesini ibunya nangis-nangis. Tadinya dia dirawat di rumah sakit jiwa Grogol yang ada di Jakarta, tapi karena sering menyerang perawat dan kabur, jadi dipindahkan kesini” jawab si perawat lancar, aku hanya dapat ber’oohh’ ria.

“Ini mas, ruangannya, Pak Hary sudah menunggu mas dari tadi pagi, saya pamit dulu ya? Masih banyak yang harus saya kerjakan” kata perawat itu dan pergi meninggalkanku sendirian di depan sebuah pintu, yang kata perawat itu adalah ruang kerja dokter kepala.

Aku mendesah mengambil napas panjang sekali dan mengetuk pintu yang ada di depanku dua kali. Suara berat seorang pria menjawab dan menyuruhku masuk. Aku pun menurut, membuka pintu tersebut dan melangkahkan kakiku memasuki ruangan itu.

Ruangan itu memiliki cat berwarna putih dengan foto presiden dan wakil persiden serta burung garuda yang terpasang tepat di hadapan pintu. Di bawah foto tersebut terdapat sebuah meja kerja besar dengan laptop hitam yang terbuka di atasnya dan di balik meja tersebut terdapat sebuah kursi berbantal berwarna hitam. Di seberang kursi berbantal hitam tersebut terdapat dua kursi kondangan berwarna hitam pula. Pada dinding di samping kanan dan kirinya terdapat sebuah rak buku hitam yang terbuat dari kayu yang berisi buku-buku dengan berbagai ukuran.

“Assalamualaikum” sapaku pada seorang pria paruh baya yang memiliki perut yang gendut dan mengenakan kemeja merah marun, dasi hitam dan celana penjang serta sepatu hitam yang dibungkus dengan jas dokternya.

“Waalaikumsalam, dokter Yudha, senang melihat anda disini, ayo duduk-duduk!” sapanya dengan senyuman yang ramah dan jabatan tangan yang keras. Dia melangkah menuju kursinya sendiri dan aku melangkah dan duduk di kursi yang telah disediakan.

“Bagaimana perjalanan Jakarta-Malang? Pasti anda sangat lelah sekali”

”Ah, nggak kok, saya sampai tadi malam, jadi semalam saya sudah cukup beristirahat”

”Saya senang sekali lho, dokter Yudha bersedia dipindahkan dari rumah sakit di Jakarta ke sini, anda kan dokter jiwa yang andal, sudah berpengalaman di sebuah rumah sakit jiwa di Singapura”

”Terima kasih atas pujiannya, lalu, kapan saya dapat memulai pekerjaan saya disini?”

”Ahahahaha... ternyata benar tentang rumor anda seorang yang gila bekerja ya? Baiklah, disini saya telah menyiapkan data tentang pasien anda. Ini, silahkan dipelajari” kata dokter kepala dan menyerah map berwarna merah kepadaku.

“Saya hanya menghandel satu orang?” tanyaku saat aku membuka map tersebut dan mendapati hanya terdapat satu data di dalamnya.

“Ckckck... biar hanya satu orang, tetapi ini tingkat kesulitannya tinggi lho! Saya saja kewalahan menghadapinya”

“Amaryllis Iorwen, umur 17 tahun, didiagnosa depresi akibat kekerasan rumah tangga yang dialaminya?”

“Yup. Mungkin anda sudah mendengar teriakan-teriakannya, nah itu dia” kata dokter Hary saat teriakan-teriakan yang tadi kudengar sepanjang lorong rumah sakit ini terdengar.

“Pasien yang bernama Mary itu?” tanyaku memastikan.

”Oh, anda sudah tahu?”

”Hanya sedikit, tadi saya menanyakannya pada perawat yang mengantar saya ke sini. Mengerikan mendengar teriakannya. Bisakah anda menceritakan lebih lanjut tentang pasien ini?”

”Dia mengalami depresi berat akibat kekerasan ruamh tangga yang dialaminya. Ayahnya selalu menganiayanya secara fisik maupun mental”

”Apakah Ayahnya seorang penjudi atau sering minum-minum? Atau ayahnya mengkonsumsi obat-obatan?”

”Tidak. Tidak ada hal-hal yang anda sebutkan tadi yang menyebabkannya. Hanya saja ayahnya merupakan orang yang temperamen dan amat sangat tidak bersahabat”

”Oh, baiklah, saya mohon diri dulu, dok, saya ingin mengunjungi pasien ini”

”Oke, tetapi saya sarankan anda untuk berhati-hati dan ditemani dua orang perawat pria karena pasien ini sering menyerang orang-orang yang ada dihadapannya”

”Baik, dok, terima kasih atas sarannya. Saya mohon diri dulu, Assalamualaikum”

”Waalaikum salam”

***
Dengan diapit oleh dua orang perawat pria disamping kanan dan kiriku, aku melangkahkan kaki memasuki bangsal pasien yang berteriak-teriak itu. Saat dalam perjalanan menuju ke ruangan ini, aku sudah dapat membayangkan betapa akan berantakan dan menyedihkan wajah gadis yang akan aku tangani itu. Kasihan, masih muda harus meninggalkan masa remajanya dan menghabiskannya di rumah sakit jiwa ini.

Namun gadis yang menungguku di ruangan itu sangat bertolak belakang dengan bayangan ku, yah walaupun memang wajahnya berantakan, atau lebih tepatnya rambut hitamnya yang panjang yang membuatnya tampak seperti orang gila, selebihnya, wajahnya amat sangat cantik. Menunjukan keangkuhan dan kesombongannya, tidak menampakkan wajah yang menyedihkan yang biasanya terlukis di wajah pasien-pasien rumah sakit jiwa.

Dia duduk di sebuah kursi dengan mengenakan pakaian orang gila yang berbahaya, itu lho pakaian yang mengharuskan kedua tanganya terikat. Selain itu badannya terikat oleh seutas tali tambang dan ia berusaha untuk melepaskannya.

”Halo, Mary!” sapaku dan menunjukkan senyuman ramah.

”Siapa lo?!” teriaknya dengan suara parau.

“Perkenalkan, nama saya dokter Yudha, saya yang akan menangani kasus anda menggantikan dokter Hary”

“Cih! Just another moron!” serunya sembari berusaha meludahiku yang merupakan sia-sia belaka, aku berdiri terlalu jauh dari jarak jangkauan ludahannya.

“Okey, mungkin saya moron, tapi saya datang kesini untuk berbicara dengan anda”

“Lo mau ngomong apa sama gue?”

“Yah, bukan sesuatu yang peting sih, hanya mengobrol, kau tahu lha, saya baru sampai disini, belum banyak teman mengobrol”

“Terus apa yang membuat lo memilih gue buat ngobrol?! Gue males ngobrol sama lo! Lo bisa cari teman ngobrol yang lain kan? Masih ada suster, dokter, atau bahkan orang gila lainnya!”

“Anda pasti sangat menderita ya diikat seperti itu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

”Iya! Udah seharian ini gue bilang, teriak-teriak, minta dilepasin! Nggak enak tauk! Lagian gue bukan orang gila!”

”Saya bisa melepaskan ikatan itu”

”Tapi, dok, akan sangat berbahaya melepaskan ikatan itu” potong perawat pria yang berdiri disebelah kanan ku.

”Tenang saja, saya percaya dia tidak akan menyerang saya, benar kan Mary?” tanyaku, sedangkan Mary hanya mengalihkan pandangannya.

”Saya akan melepaskan ikatan kamu itu Mar, asalkan kamu berjanji tidak menyerang seorang pun yang ada disini”

”Apa untungnya buat lo?! Gue tahu trik-trik murahan dokter gila! Si Hary juga tuh melakukan trik yang sama dengan yang lo lakukan ini!”

”Saya hanya tidak nyaman mengobrol dengan orang yang terikat. Yah kalau kamu tidak bersedia, saya mohon diri dulu!” kataku dan dengan perlahan berbalik sebelum...

”Tunggu! Oke! Gue setuju!” teriaknya. Dan aku pun berbalik menuju dirinya dan melepaskan ikatannya sendiri, perawat yang menemaniku hanya menatap ngeri. Ha! Psikologi terbalik selalu berhasil ku lakukan pada pasien-pasienku.

”Nah begini lebih enak kan?” tanyaku berbasa-basi sambil duduk di sebuah kursi lainnya menghadap ke arahnya setelah aku melepaskan ikatannya.

”Ya apa boleh buat, gue cuma mengikuti keinginan lo. Terus lo mau ngobrol apa?” tanyanya, menyembunyikan senyum senangnya dan tetap berpura-pura acuh dan tidak senang.

”Hmm, sebagai permulaan, saya mempersilahkan anda untuk mengajukan pertanyaan apapun itu pada saya!”

”Boleh gue minta sesuatu?”

”Selama itu masih dapat saya berikan, kenapa tidak?”

”Gue mau lo nggak ngomong formal! Hal itu hanya membuat gue jijik!”

“Oke, say… eh aku akan ngomong dengan bahasa yang lebih nggak formal. Boleh kan aku menggunakan kata-kata aku-kamu? Aku sudah terbiasa untuk tidak ngomong elo-gue di depan pasien”

What ever!”

“Oke, kamu mau tanya apa?”

”Cih ini menyebalkan, kenapa harus gue yang memulai pembicaraan! Kan elo yang mau ngobrol sama gue”

”Oke. Pertama aku mau nanya, kamu bagaimana perasaan kamu saat ini?”

”He?”

”Kenapa?”

”Gue kira lo bakalan nanya sesuatu yang membosankan yang biasanya di tanyakan sama dokter-dokter yang lebih tua itu! Seperti alasan gue masih teriak-teriak dan lain sebagainya yang sejenis itu!”

”Hahahaha..... memang aku terlihat setua itu ya?”

”Nggak juga sih. Memang umur lo berapa?”

“Coba tebak!”

“28?”

“Salah!”

“oke gue nyerah! Berapa?”

“Cepet amat nyerahnya! Tebak lagi dong!”

“Gue lagi males tebak-tebakan! Udah deh jawab aja!”

“35”

“Hmmm… udah lumayan tua juga ya! Beda 18 tahun sama gue! Hahaha... btw udah punya anak berapa?”

”Hphhhahahaha..... aku belum menikah!”

”He? Bujang lapuk dong!”

”Enak aja! Memang aku bujang, tapi belum lapuk!”

”Memang kenapa belum nikah?” tanyanya. Aku hanya terdiam, teringat memori masa lalu yang membuat hatiku tersayat-sayat mengingatnya.

”Kok diam aja? Gue nyinggung perasaan lo ya?”

”Eh, nggak. Alasannya cuma satu, aku belum menemukan yang cocok aja!” jawabku bohong.

”Oh, emang gimana kriteria elo?”

”Enggak tahu juga, yang jelas kalau aku menemukannya, aku akan tahu dialah orang yang tepat”

”Hohoho... dalem banget omongannya!”

”Kayaknya sampai sini aja deh! Aku masih ada janji yang lain” kataku berbohong.

”Apakah setelah lo pergi gue bakalan diikat lagi?” tanyanya frustasi.

”Kalau kamu nggak mau ya nggak perlu, aku akan menjamin kamu nggak akan diikat lagi asalkan kamu bisa menjaga perilaku kamu, nggak teriak-teriak lagi dan menyerang orang. Gimana? Deal?”

”Yah.. mau bagaimana lagi kalau itu keinginan lo! Hehehe...”

”Oke, dah!” seruku dan beranjak menuju pintu keluar.

”Yudha!” panggilnya tepat sebelum aku keluar.

”Kenapa?”

”Makasih ya dokter ganteng! Kalau lo mau sebenarnya semua cewek bakalan mau jadi istri lo sih! Lo kan cakep! Hehehe...” serunya tersenyum jahil.

Aku hanya dapat membalas senyumannya sebelum aku keluar dari ruangan tersebut dengan diapit oleh dua perawat dan meninggalkan dirinya sendirian di bangsal itu.

Pendekatan tahap pertama, berhasil!

***
“Saya sudah dengar reputasi anda selama ini, namun saya baru dapat mempercayainya dengan melihat hasilnya sendiri. Anda sangat mengagumkan, dokter Yudha! Anda dapat membuat pasien itu tenang, berhenti melawan dan berteriak-teriak” kata dokter Hary padaku di hari ketujuh aku di Malang.

Pagi ini sebelum aku menemui Mary, seorang perawat menyampaikan pesan dari dokter Hary ingin bertemu denganku pagi ini di ruangannya sebelum aku menemui Mary. Jadi, disinilah aku, di ruangan dokter Hary yang tidak berubah semenjak kedatanganku pertama kali kesini.

“Bukan apa-apa kok, dok. Saya rasa keberhasilan ini lebih kepada karena umurnya lebih dekat dengan saya ketimbang anda, jadi dia merasa lebih merasa dekat dengan saya ketimbang anda” jawabku merendah.

“Hahaha... mungkin-mungkin. Omong-omong, bagaimana perkembangannya? Maksud saya terakhir saya menemuinya, yaitu sehari sebelum anda datang, matanya penuh dengan dendam kepada ayahnya. Sekarang bagaimana?”

”Umm... menurut dari yang dia ceritakan kepada saya, dia memiliki kehidupan layaknya rmaja pada umunya di sekolah, namun di rumah, dia merasa bagikan di neraka, ayahnya sering menghukumnya dengan pukulan atau lainnya, membuatnya tidak betah di rumah, dan semakin ia jarang di rumah, hukuman yang diterimanya makin sering terjadi. Hanya itu yang dapat saya katakan, pasien menolak untuk bercerita lebih lanjut”

”Hanya itu?!” tanya dokter Hary tidak percaya.

“Saya mohon maaf. Memang informasi itu tidak begitu berpengaruh, anda pastinya juga sudah mengetahui hal itu. Namun memaksa pasien untuk bercerita lebih banyak adalah hal yang tidak mungkin saya lakukan. Tujuan saya berbicara dengannya adalah membuatnya nyaman dengan saya, membuatnya percaya dengan saya, dan itu terbukti dari sikapnya yang melunak kan?”

“Ya, ya, memang itulah yang terbaik” kata dokter Hary sambil memilin-milin janggutnya.

Hening. Kami sibuk di dalam pikiran masing-masing. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diambil untuk selanjutnya.

“Dokter Hary” panggilku memecahkan keheningan yang terjadi.

“Iya?”

“Kalau anda tidak keberatan, bolehkah saya pamit? Saya sudah terlambat 5 menit dari jadwal bertamu dengan pasien. Saya tidak ingin membuat kepercayaannya pada saya yang telah terbangun ini jadi hancur begitu saja”

”Oh, oke, terima kasih atas waktunya dan selamat bekerja, dokter Yudha!” katanya dan kami pun berjabat tangan sebelum aku meninggalkan ruangannya.

***
Tok...tok....tok.... suara ketukanku di depan pintu yang sudah mulai familiar denganku ini. Tak lama kemudian suara seorang gadis mengizinkan aku memasuki ruangan itu. Dan aku membuka pintu dan melangkahkan kakiku ke dalam.

Semenjak pertemuanku dengan Mary yang ketiga, aku sudah memutuskan untuk menemui Mary tanpa ditemani seorang perawat pria. Mary sangat senang dengan keputusanku ini, dia tidak suka dengan pandangan perawat itu padanya. Memang sulit untuk sebagian orang untuk bersikap normal jika berhubungan dengan orang yang mempunyai penyakit kejiwaan.

”Lo telat!” serunya marah sebelum aku dapat berkata-kata.

”Maaf tuan puteri, pangeran harus bertemu dengan dokter Hary terlebih dahulu tadi” jawabku.

”Oh, jadi si Hary itu lebih penting dari gue ya?!” serunya marah.

“Mohon maaf tuan puteri, bukan begitu, namun dokter Hary tadi menitipkan sesuatu untuk puteri sebelum pangeran bertemu tuan puteri” kataku berbohong.

“Hah? Apaan?” tanyanya masih mempertahankan kepura-puraannya untuk bersikap acuh.

”Ini! Kamu suka cokelat kan?” tanyaku sembari menunjukan sebatang cokelat toblerone yang tadi sempat kubeli di supermarket dekat kontrakanku.

”Cok... ah, ya sudah kalau begitu, apa boleh buat, sini cokelatnya!” perintahnya tetap berpura-pura tidak peduli. Aku hanya tersenyum geli melihat tingkahnya yang seperti anak kecil.

”Ini” kataku sambil menyerahkan cokelat itu.

”Hehehe.... gue kangen banget sama elo, Yud!”

”Aku juga kangen sama kamu”

”Iya, bosen gue ngelihat wajah perawat-perawat yang ada disini! Mendingan gue ngelihat elo, Yud!”

“Oke. Oke. Bagaimana hari mu?” tanyaku.

”Seperti biasa lah!” jawabnya asal kerena sekarang konsentrasi tercurah pada cokelat toblerone yang ada ditanganya.

”Ku dengar dari perawat, kemarin setelah aku pulang, orang tua kamu datang ya? Bagaimana kabar mereka?”

Mary membeku. Hening. Aku khawatir apakah aku telah mengatakan sesuatu yang belum pas saatnya ya? Apakah kemarin ayahnya juga datang? Apakah kedatangan ayahnya itu membuat dirinya trauma lagi?

”Maaf, lupain aja!” kataku memecah keheningan.

”Nyokap gue masih berusaha tersenyum ngelihat gue. Dan si bangsat itu berdiri disamping nyokap gue dengan pandangan siaga menjaga nyokap gue seakan-akan gue ini binatang buas yang bisa menyerang nyokap gue kapan aja gue punya kesempatan. Hal itu membuat gue kesal. Rasanya mau mencekik lehernya saat itu juga. Tapi karena hari itu nyokap gue datang buat gue, gue nggak mau dia melihat hal-hal yang mengerikan seperti mayat si bangsat itu” katanya menjelaskan.

”Parasaan dendam kamu itu tetap ada ya di dalam hati kamu? Kamu masih mau membunuh dia?” tanyaku.

“Iya, lo nggak tahu sih gimana nggak sukanya gue sama dia!”

“Iya, aku memang nggak tahu, tapi bagaimana aku bisa tahu kalau kamu nggak cerita? Aku kan bukan orang yang punya cenayang” kataku membujuk.

“Oke, gue ceritain deh sama lo, karena lo adalah orang yang spesial buat gue”

***
“KAMU NGAPAIN SIH NGEBELAIN KAKAK KAMU YANG BRENGSEK ITU!” teriak ayah padaku malam itu.

Malam itu adalah malam hari ulang tahunku yang ke-enambelas. Malam itu seharusnya kami sekeluarga pergi makan malam untuk merayakan ulang tahunku, namun kakakku yang menolak memakai pakaian yang pantas menurut ayahku menghancurkan suasana hatiku untuk merayakan hari ulang tahunku.

”UDAHLAH NGGAK JADI AJA MAKAN MALAMNYA!” kataku keluar dari mobil keluarga.

Aku segera berjalan menuju pintu rumah ku yang terbuka, sebelum ayah dapat mengejarku. Dia keluar dari pintu pengemudi dan berlari menghampiriku. Sebelum aku dapat mengelak, dia telah menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku dua kali ketembok rumah hingga kepalaku berkunang-kunang.

”Ayah! Udah-udah...” seru ibuku melindungiku sebelum ayah dapat membenturkan kepalaku ke tembok untuk yang ketiga kalinya.

”BIARIN AJA, BU! ANAK KURANG AJAR KAYAK GITU EMANG PERLU DIBERI PELAJARAN! SETAN LO!” maki ayah padaku. Walaupun kepalaku berkunang-kunang aku masih sadar dan dapat mendengar makiannya.

Aku berdiri dari pelukkan ibuku dan pergi berlari menuju kamar kakakku. Mengacuhkan rasa pening dan penggilan serta makian ayahku. Aku mengetuk pintu kamar kakakku dan masuk setelah dibukakan pintunya.

”Kenapa?” tanya kakak perempuanku itu sambil mengelus-elus kepalaku, menenangkan diriku yang menangis tersedu-sedu.

”Gue nggak betah di rumah. Sampai kapan sih tuh bangsat bakalan menyiksa gue?” tanya gue tersedu-sedu.”Ya udah, lo sabar aja, nanti kalau gue udah lulus kuliah terus dapet kerja, dan gue udah punya rumah, lo boleh kok tinggal di rumah gue” jawab kakakku menenangkan. Dan malam itu aku menangis hingga tertidur.

***
”Bener nih nggak apa-apa nanti sore kita ngerjain tugas kelompok ini di rumah lo, Mar?” tanya Maria, teman sekelasku siang itu saat kami pulang sekolah. Teman-teman yang lainnya memandangku dengan tatapan khawatir.

”Ya nggak apa lah! Gue malah seneng kali!” seruku.

”Bukan elo yang kita khawatirin,” jawab Lopez, temanku yang lain.

”Terus?” tanyaku meminta penjelasan walaupun aku sudah dapat menebak apa yang mereka maksud.

”Bokap lo” jawab Maria takut-takut. Benarkan! Sesuai dengan dugaan ku! Si bangsat itu selalu membuat teman-temanku takut untuk berkunjung ke rumahku.

”Tenang aja. Gue nungguin lo di depan rumah gue deh!” janjiku.

“Oke”

***
“Lho kok elo nggak masuk?” tanyaku pada Maria saat aku tiba di depan rumah Mary dengan terengah-engah setelah mengayuh sepedaku dari rumah menuju rumah Mary, sahabatku.

“Tadi kita udah coba, tapi bokapnya Mary bilang Mary nggak bisa diganggu” kata Maria frustasi.

“Ah, lo kan tahu bokapnya Mary kayak gimana?! Dia nggak pernah menghargai kita! Lo udah coba telepon Mary?” tanyaku. Maria hanya menggeleng.

”Gue lupa bawa handphone” akunya.

“Oh, tunggu ya?” kataku. Dan akupun mengeluarkan handphoneku dari saku celanaku untuk menghubungi Mary. Tak lama kemudian terdengar suara Mary diseberang menjawab.

”Halo? Mary, ini gue, Lopez!”

”Oh, elo, kenapa, Pez?” tanya Mary.

”Lo pasti tidur lagi! Kita udah di depan rumah lo nih! Tapi bokap lo seperti biasa nggak ngizinin kita masuk. Buruan ke depan rumah lo gih!”

“Oke” serunya dan telepon pun terputus.

***
Apa-apaan sih ayah?! Kan tadi sepulang sekolah aku sudah bilang padanya bahwa teman-temanku akan datang mengerjakan tugas dirumah! Sepanjang perjalananku menuju depan rumah ku, aku hanya bisa menggerutu.

”Eh, maaf ya nungguin lama. Ayo masuk-masuk!” ajakku pada teman-temanku yang sudah mulai terlihat bosan menungguku. Mereka mengikuti masuk ke rumah dengan diam.


”Kalian mau minum apa?” tanyaku saat teman-temanku telah sampai dengan selamat di kamarku.

”Apa aja deh!” seru Lopez dan yang lain dengan semangat hanya mengangguk saja.

”Oke” kataku dan aku meninggalkan kamarku untuk mengambilkan mereka minuman dan snack yang ada di rumahku.


”Ngapain kamu?” tanya ayah saat aku ada di dapur mencari-cari snack untuk teman-temanku.

”Ada teman Mary datang, jadi Mary mau bawakan mereka snack dan minuman” kataku sembari menunjuk tiga gelas sirup rasa mocca kesukaanku dan snack yang berhasil kutemukan yang ada digenggamanku.

”Ngapain? Nggak usahlah! Taruh itu kembali! Dan berikan saja teman-temanmu itu air putih! Lagian ngapain sih mereka kesini?”

”Kami akan mengerjakan tugas kelompok! Kan kalau Mary pergi ke rumah teman Mary, ayah tidak pernah mengizinkan! Jadi ya mereka yang datang kesini!” seruku tanpa mengindahkan perintah ayahku untuk mengganti minuman dengan air putih.

”Tugas kelompok mulu! Memangnya gurumu tidak bisa ya tidak memberikan tugas individu? Ayah tidak suka dengan tawa anak-anak remaja yang terkikik! Mengganggu tidur ayah saja!”

”Ya mana Mary tahu! Ngomong saja dengan gurunya! Lagian kami nggak akan berisik kok!”

”BERANI KURANG AJAR YA KAMU!”

”Mary nggak kurang ajar! Hanya saja bisa nggak sih ayah menghargai tamu Mary? Menghargai teman-teman Mary? Mary saja bisa menghargai tamu ayah! Teman-teman ayah!”

”Ya wajar lah! Mereka kan teman ayah! Kalau temanmu itu hanya bisa mengganggu saja! Menyusahkan!”

”ALASAN APA ITU?! TIDAK RASIONAL! SETIAP TAMU ITU HARUS DIJAMU DENGAN SEBAIK MUNGKIN, YAH! ITU KATA NABI KITA!” seruku mengingatkan. Dan setelah itu ayah menyiram aku dengan air sirup yang ada di meja dan menyelengkat kakiku hingga aku terjatuh.

”JANGAN BERLAGAK MENGAJARI AYAH! KAMU ITU MASIH KECIL! TAHU APA KAMU!?”

”MARY BUKAN ANAK KECIL LAGI, AYAH! UMUR MARY SUDAH ENAM BELAS TAHUN!” seruku tak kalah tinggi.

Dan yang berikutnya yang ku dapatkan adalah tendangan bertubi-tubi dari ayah. Aku tidak dapat membalasnya, karena aku masih menghargai ayah sebagai ayahku. Aku hanya dapat menangis hingga akhirnya ibu datang menengahi kemarahan ayah padaku. Dan setelah puas menendangiku dan menyiramku dengan sirup dari ketiga gelas yang ada di meja makan, ayah pergi keluar dengan marah-marah membanting pintu.

“Maafkan ayahmu ya, Mar?” pinta ibu.

”Iya, bu” jawabku singkat. Dan aku pergi ke kamar untuk mengganti pakaian.

Saat dikamar, pandangan kekhawatiran terlihat diwajah kedua temanku itu. Aku hanya dapat tersenyum dan melangkah melewati mereka dan mengambil kaos dan celana pendek rumah yang biasa kupakai dan melangkah menuju kamar mandi untuk berganti.

”Maaf ya kalian harus dengar sesuatu yang buruk. Tunggu sebentar ya gue ambilin lo minuman, tapi maaf banget, gue cuma bisa kasih air putih, nggak apa kan?” tanyaku dengan senyum yang dipaksakan ke Lopez dan Maria.

”Iya nggak apa. Kita yang minta maaf harusnya, kita buat lo susah” kata Maria tulus.

”Nggak kok, nggak apa, udah biasa, lagian kan gue yang minta kalian ngerjain tugasnya dirumah gue. Habisan kalau nggak gitu gue nggak bisa bantuin, kan kalian tahu gue nggak dibolehin kemana-mana”

”Yang sabar ya, Mar?!” kata Lopez menepuk bahuku. Aku hanya dapat mengangguk dan pergi meninggalkan kamar untuk mengambil air putih yang kujanjikan.

***
”aku turut sedih, Mar. Aku nggak tahu kamu sebegitu menderitanya” kataku pada akhir dia menceritakan sedikit dari kisah kekerasan yang dialaminya.

”Itu hanya beberapa, belum lagi ayah yang selalu mudah marah jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dia selalu menasihati anak-anaknya, untuk ini lah, itu lah, tapi dia sendiri tidak pernah mencontohkan sesuatu hal yang baik bagi kami” katanya.

Aku hanya bisa terdiam, Mary meneruskan memakan cokelat tobleronenya. Saat mendengar hal ini langsung dari Mary, aku baru bisa merasakan begitu menderitanya dia, kalau aku jadi dia, mungkin aku akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya dan dirasakannya.

”Kenapa kamu nggak melaporkan hal ini pada yang berwajib? Kan ada komnas HAM?” tanyaku.

”gue nggak punya keberanian buat melakukan hal itu, gue nggak mau buat nyokap gue sendirian. Seperti yang lo tahu gue punya kakak perempuan, dia meninggal bunuh diri. Sehari setelah kematiannya, gue menemukan surat yang dia tulis sebelum bunuh diri. Dia juga merasa tertekan atas sikap ayah. Dan sejak itulah gue selalu ingin membunuh dia!”

“Kamu benar-benar ingin membunuhnya?” tanyaku meyakinkan.

“Iya!” jawabnya tanpa keraguan sedikit pun.

”Kamu sangat menyayangi ibumu, kamu bilang kalau kamu nggak mau melihatnya sedih sendirian, tapi apa yang kamu inginkan itu, yaitu membunuh ayahmu, itu akan sangat membuat ibumu sedih dan sendiri” kataku menasihati.

”Tapi...” katanya ingin menyangkal namun ia kembali terdiam.

”Benarkan perkataanku tadi? Kalau kamu membunuh ayahmu, ibumu akan kehilangan suaminya dan kamu, kamu akan dipenjara atas apa yang kamu lakukan. Kamu masuk rumah sakit ini saja sudah membuat ibumu sedih apalagi kalau kamu masuk penjara?”

Dia hanya terdiam. Hening diantara kami terjadi lagi. Aku yakin dia sedang memikirkan segalanya, semua yang aku katakan itu.

”Oke, ku rasa sudah saatnya aku pulang” kataku akhirnya sambil berdiri. Dia memegang tanganku, menahanku untuk pergi.

”Yudha, jangan pergi dulu. Bisakah kamu tinggal disini malam ini saja?” rengeknya seperti anak kecil. Ada sinar pengharapan di wajahnya yang membuatku tidak dapat menolak.

”Oke, kalau itu maumu” kataku dan aku duduk kembali ke kursiku semula.

”Terima kasih, Yud, kamu tahu, kamu telah membuatku berpikir tentang segalanya” katanya sembari tersenyum, senyum yang mengingatkanku pada masa lalu yang indah. Aku hanya dapat membalas senyumannya dengan senyuman getir.

”Kok tumben kamu menggunakan bahasa aku-kamu? Biasanya elo-gue?” tanyaku.

”Boleh dong aku pakai bahasa aku-kamu?”

”hahahaha... oke-oke...”

”Yud, boleh aku menanyakan sesuatu?” tanyanya.

”Hmm? Apa itu?”

”Saat pertama kali ketemu kamu, saat aku tanya kenapa kamu belum menikah, kenapa kamu bohong?” tanyanya. Ha? Kenapa dia bisa menyadari hal itu?

”Kamu nggak bisa bohong, Yud, hal itu kelihatan dari mata kamu” jawabnya seolah dapat mendengar apa yang ada dipikiranku. Aku hanya tetap terdiam. Tidak dapat memandang mata Mary.

”Yud, kan aku udah cerita, sekarang giliran kamu yang cerita dong?”

”Oh, hmmm.... dulu aku menyukai seorang wanita, pasienku juga” jawabku akhirnya.

”Lalu?”

”Udahlah ini sesuatu yang nggak enak untuk dibicarakan”

Please, Yud, kamu udah bantu aku, aku mu bantu kamu, Yud!”

”Dia pasienku, kamu tahukan maksudku, dia mengalami skizofernia, itu lho penyakit yang mengalami ilusi” jawabku sambil lalu.

”Sebenarnya dia sama saja seperti orang biasa, itu yang membuatku lengah saat itu. Pada suatu malam, dia meneleponku, menungguku di sebuah tempat yang setelah aku sampai, aku baru tahu kalau tempat itu adalah gedung yang belum selesai pembuatannya. Dia ada di atas gedung, berusaha untuk melompat. Aku langsung naik ke atas dan berusaha untuk membujuknya untuk tidak jatuh. Dia bilang, pacarnya adalah peterpan, dan dia adalah wendy, dia bilang peterpan mengajaknya untuk terbang, dan pada detik berikutnya, ia melompat dari atas gedung tersebut. Andai saja aku tidak menganggapnya sudah sembuh, memang kalau disiang hari dia seperti orang biasa, namun kemudian aku baru mengetahui dari perawat yang ada, kalau setiap malam dia sering berbicara sendiri dan dia bilang, peterpan hanya datang di malam hari, sudahlah, sampai sekarang aku masih terlalu trauma untuk memulai hubungan yang baru, tahu-tahu begitu aku sadar, umurku sekarang sudah 35 tahun”

”Yudha, apakah sampai saat ini kamu masih trauma untuk memiliki hubungan dengan seorang wanita terutama wanita penghuni rumah sakit jiwa?” tanyanya takut-takut.

”Entahlah, memang kenapa?” tanyaku bingung.

”Karena aku mencintaimu” jawabnya singkat.

Hening. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sampai saat ini aku tidak pernah membayangkan Mary akan mencintaiku, aku tidak pernah membayangkan untuk mencintai seseorang selain dia yang telah pergi meninggalkanku.

”Sudahlah. Aku tahu kamu nggak akan mencintaiku, aku kan orang gila, ya kan? Hahahaha.... siapa sih yang mau jadi pacarnya orang gila? Hahahahha....” katanya sambil tertawa hambar mentertawakan candaannya.

”Mary....”

”Sudahlah! Keluar, Yud! KELUAR!” teriaknya. Dan aku hanya dapat menuruti permintaannya, meninggalkannya sendiri.

***
Apa-apaan gue? Berharap Yudha juga mencintai gue? Yudha kan baik cuma gara-gara dia dokter gue! Nggak ada perasaan lebih tentang gue! Mary, Mary, lo tuh terlalu berharap! Semalaman aku menangisi kebodohanku. Aku telah membuat Yudha bingung, aku tahu dia nggak akan bisa membalas cintaku, bahkan nggak mau! Siapa sih yang mau punya pacar pasien rumah sakit jiwa? Mary bodoh!

Tok-tok-tok

“Siapa?” tanyaku pada seseorang yang mengetuk bangsal ku. Aku kaget dengan suaraku sendiri, parau, menangis semalaman pastilah membuat penampilanku buruk. Siapa ya yang datang pagi-pagi begini? Waktu masih menunjukan pukul 7 pagi, dan kalau pun Yudha masih mau mengunjungiku, dia biasanya datang jam 9 atau jam 10 pagi.

”Ibu, Nak”

”Masuk” kataku dan ibuku pun masuk diikuti ayahku dibelakangnya.

”Kamu nggak apa-apa, nak?” tanya ibuku setelah ia duduk di kursi yang biasanya diduduki Yudha. Ayah hanya berdiri memandangi disamping ibu.

”Nggak apa kok bu” jawabku menenangkan hati ibuku.

”Kamu udah makan nak?”

”Sudah lah bu! Bilang saja langsung!” perintah ayah. Aku hanya memandangnya dengan penuh kebencian.

“Ayah!” protes ibuku

“Apaan sih bu? Bilang aja sama Mary!” pintaku.

”em... begini nak, kami sudah bercerai, ibu sekarang akan tinggal di Malang, disini, menjengukmu selalu, sedangkan ayahmu akan tinggal di Jakarta dengan isteri barunya” jawab ibuku sambil lalu. Namun aku menyadari suaranya bergetar menahan tangisan.

”APA?!”

”Iya, nak, jadi hari ini ayah mau pamit, mungkin ayah tidak akan datang menemuimu lagi” jawab ayah kali ini dengan santainya.

”KENAPA? KENAPA KALIAN BERCERAI?”

”Ayah tidak ingin tinggal di Malang dan meninggalkan isteri mudanya di Jakarta, nak!” jelas ibuku.

”SEJAK KAPAN AYAH MENIKAH LAGI!?”

”Setelah kamu masuk rumah sakit ini, ibu baru tahu kalau ayah telah menikah lagi dengan sekretarisnya di kantor, dan setelah itu baru kami bercerai, nak” kata ibu menjelaskan.

”BANGSAT LO YA?! BERANI-BERANINYA LO MENYAKITI IBU GUE!?” teriakku sambil menyerang ayah. Untungnya semenjak ada Yudha, aku sudah tidak diikat dan menggunakan pakaian yang mengikat tanganku itu, aku sudah diperlakukan agak sedikit seperti orang normal.

Ayah tidak melawan, karena untung baginya datang tiga orang perawat pria yang menahanku dan mengikatku kembali. Ibu hanya menangis, ayah memandang mengejek. Dan pada detik selanjutnya, aku tertidur, sepertinya salah satu perawat menyuntikan penenang padaku.

***
Aku harus bersikap seperti apa nanti kalau aku bertemu Mary? Apakah hari ini aku masih harus menemuinya? Aku hanya berjalan mondar-mandir di dalam rumah kontrakanku esoknya, ragu untuk datang mengunjungi Mary lagi. Kini waktu telah menunjukan pukul 16.00.

Tulit-tulit-tulit...

Handphoneku berbunyi. Rumah sakit jiwa yang menelepon. Ada masalah apa ya?

“Halo?”

“Dokter Yudha? Ini perawat Rohmania”

“Ya, kenapa?”

”hari ini anda tidak datang mengunjungi Mary?”

“Tidak, memang ada apa?”

“Mary hilang, dok, tadi orang tua nya datang dan Mary kehilangan kontrol lagi dan kami harus menyuntikan penenang padanya, lalu sore ini, saat seorang perawat mengeceknya, yang seharusnya dia baru bangun, menemukan tempat tidurnya kosong, dok! Jadi kami kira dia bersama anda. Dapatkah anda membantu kami mencarinya, dok?” kata perawat itu menjelaskan.

”Baiklah, saya akan segera kesana!” kataku dan telepon pun terputus.

***
”Yudha? Bagaimana kamu bisa menemukan aku?” tanyanya saat aku dapat menemukannya dengan mudahnya, dia sedang berada di atas atap tertinggi di rumah sakit jiwa Malang ini.

Saat aku menemukannya, dia sedang merentangkan tangannya, bersiap untuk melompat. Untung aku dapat menemukannya di saat yang tepat. Di bawah sana orang-orang sedang berkerumun melihat Mary yang hendak melompat ini. Ih, nih orang! Bukannya ngebantuin malah melihat doang!

”Mary, Mary, kumohon Mary, jangan melompat, kamu nggak mau membuat aku menderita kan Mary?” pintaku memohon sambil merentangkan tanganku membujuknya.

”Hhpphh.... kamu kan nggak mencintaiku. Kenapa kamu bisa bilang aku bisa membuatmu menderita?” jawabnya tertawa.

”Mary! Jangan bercanda Mary! Apapun masalahnya itu, kita dapat membicarakannya bersama, Mary!”

”Masalahnya bukanlah sesuatu yang dapat dengan semudah itu terselesaikan. Kamu bahkan tidak akan dapat membantuku, Yudha!”

”Nggak ada masalah yang nggak terselesaikan! Mary, kumohon Mary, melihatmu meninggal itu adalah hal yang terburuk yang tidak mau kualami. Aku mencintaimu, Mary. Aku janji akan melakukan apa saja asalkan kamu kesini!”

”hahaha... nggak usah gitu, Yud, nggak usah memaksakan dirimu untuk mencintaiku, aku tahu kamu juga jijik kan padaku? Lagipula ini bukan masalah cintaku pada mu yang bertepuk sebelah tangan, Yud!”

”Kamu nggak bertepuk sebelah tangan kok Mary! Aku benar-benar mencintaimu! Lagi pula apa masalahnya Mary? Ayo kesini Mary, kita selesaikan masalahmu!”

“Terima kasih, Yud, di saat terakhirku pun kamu tetap mau menemani aku, ini bukan masalah orang tuaku, atau kamu Yud, ini adalah masalah tentang diriku sendiri, Yud, aku benci diriku sendiri, Yud! Diriku yang hanya bisa membuat ibuku menangis, diriku yang hanya bisa membuatmu bingung dan ragu. Makanya Yud, aku mau membunuh diriku itu, aku nggak mau menyulitkan lagi, Yud!”

“Siapa bilang aku ragu? Siapa bilang aku bingung? Aku benar-benar mencintaimu, Mar!”

“Terima kasih, Yud, atas segalanya, aku juga mencintai dirimu melebihi aku mencintai diriku sendiri” katanya sambil tersenyum, dan pada detik kemudian dia melompat, meninggalkanku dengan kenangan buruk yang bertambah.
Kenangan buruk akan kehilangan orang yang kucintai selamanya.....

 
Blogger design by suckmylolly.com