29 November 2008

You and You : Dua

Hari ini seperti pagi yang biasanya ku lewatkan. Just my ordinary life. Tapi panggilan mama yang mendadak saat aku sarapan mungkin salah satu indikasi kalau ini bukan pagi seperti biasanya. Tak biasanya mama memanggilku saat aku sarapan, kalau pun jemputan ku, pak Har sudah datang menjemput, biasanya mama menyuruhnya menunggu sebentar sampai aku selesai sarapan.
“Kenapa sih, ma? Pak Har udah dateng?”
“Nggak. Bukan pak Har” teriak mama dari lantai satu. Aku sedang menghabiskan sendok terakhir dari nasi goreng buatan mama saat mama memanggilku. Dengan sigap aku langsung menghabiskan susu murni kesukaanku dan pergi ke lantai dasar untuk menemui mama.
Seperti biasa aku memakai sepatu keds kesayanganku. Dan saat aku masih memakai kaos kaki ku, mama mendesakku untuk menemui siapa yang sudah dateng menjemputku.
“Aduh, kamu nanti aja pake sepatunya. Yang penting sekarang kamu temuin dulu deh tamu kamu itu, nak!” seru mama. Kegemparan mama di pagi ini sampai membangunkan kak Mei yang super kebo untuk bangun. Padahal dia baru kuliah siang nanti. Dia dengan rasa penasaran yang besar ikut aku ke teras rumah yang sedang ada tamu yang mama bilang. Tapi kak Mei hanya mengintip dari ruang tamu.
Saat aku keluar untuk menemui tamu yang mama bilang, telah menunggu seseorang yang kata mama super cakep, yaitu Aji. Aji datang dengan seragam sekolah yang lengkap seperti biasanya saat kami bertemu di sekolah. Ku lihat sepeda motornya telah terparkir dengan rapi di depan rumahku.
“Eh, kamu, Ji. Ada apa pagi-pagi begini dateng?” tanya ku dan aku duduk disampingnya.
“Hmm.. kamu udah siap berangkat sekolah?”
“Udah sih, tinggal pakai sepatu, emang kenapa?” tanyaku kalem.
“berangkat bareng yuk! Aku sengaja jemput kamu pagi ini buat berangkat bareng”
“Oh, ya udah, tungguin aku sebentar ya? Aku pakai sepatuku dulu” kataku dan Aji hanya membalas dengan anggukannya. Aku cepat-cepat masuk ke dalam dan memakai sepatuku secepat yang ku bisa.
“Cie.. di jemput cowok lo ya, Mey? Kenalin ke gue dong! Kayaknya cakep tuh! Cie.. mama! Mea dijemput cowoknya!” kata kak Mei yang tiba-tiba menggodaku.
“Udah, ah! Bawel lo! Ma, aku berangkat ya?” pamitku pada mama dan mencium punggung tangan kanannya seperti biasa dan mengacuhkan godaan dari kak Mei.
Aku keluar menghampiri Aji dan naik ke bangku penumpang di belakang Aji pada motornya. Dan Aji menyetirkan motornya dengan cepat tidak seperti biasanya, kali ini dia mengendarai motornya seperti Valentino Rossi, berbelok dengan manuver-manuver yang lincah dan menyelip dengan cekatan diantara macetnya jalanan di Jakarta yang seperti biasa macet.

Seperti biasanya, sebelum acara MOS dilanjutkan, setiap pagi diadakan apel pagi. Sama seperti biasanya juga Aji yang memimpin upacara pembukaannya. Namun mungkin hanya aku saja yang hari ini merasa ada yang aneh dengan Aji. Apa mungkin ada hubungannya dengan pertanyaan ku semalam padanya? Tentang Risa? Siapakah Risa?
Saat tiba di sekolah, sebelum kami sampai di ruang sekretariatan OSIS, Aji berpesan padaku kalau nanti pulang sekolah jangan pulang dulu, dia kan menceritakan mengenai Risa, Dan dia juga berpesan kalau bisa hari ini aku menghindar dari Luqman. Memang ada apa ya? Kenapa Aji terlihat bagitu resah?
“Kak Mea,” panggil seseorang menyadarkan lamunanku.
“ah, eh iya” sahutku pada si pemanggil yang ternyata Luqman. Duh, nih anak kok malah nyamperin gue sih! Sono gih jauh-jauh dari gue! Kan gue udah janji sama Aji untuk menjauhi nih makhluk!
“Apa?!” tanyaku dengan ketus padanya.
“Dih, galak amat sih! Aku cuma pengen nagihin janji kakak buat tanda tangan”
“Ya udah sini! Tapi lo harus janji nggak bakalan deket-deket gue seharian ini ya?”
“Ih, kok gitu? Kan kakak PJ aku. Nanti kulaporin sama ketua kakak itu lho!” ancamnya.
“Lo tuh kayak anak kecil banget sih! Terserah deh lo mau ngadu sama siapa! Mau ngadu sama presiden juga boleh! Yang jelas seharian ini lo harus jauh-jauh dari gue!” seruku.
“Oke” jawabnya singkat. Dan aku pun menandatangani bukunya.
“Ini pasti ada hubungannya sama Aji, ya Mey?” tanyanya saat aku menyerahkan buku tanda tangannya. Eh, kok dia bisa menebaknya sih! Duh, gue harus jawab apa ya? Duh.. duh..
“Kamu jangan sembarangan panggil nama kakak kelas doang tanpa pakai embel-embel ‘kak’ ya, Luqman!” seru seseorang menyelamatkanku. Saat ku menoleh, orang itu adalah Aji.
“maafkan aku ‘kak’ Aji” katanya memberi penekanan pada kata ‘kak’ dan dia langsung pergi bergabung dengan teman-temannya.
“Mey, kan aku udah bilang sama kamu buat menjauhi Luqman kan? Terus kenapa tadi kamu malahan mengobrol dengannya?”
“Maaf, Ji. Bukan aku yang mendekati duluan, tapi Luqman. Tadi sih aku udah bilang sama dia untuk menjauhiku hari ini”
“Bukan hari ini aja! Kamu nggak boleh dekat-dekat dengannya selamanya!” seru Aji dengan suara yang keras dan mengambil perhatian semua orang.
“Kayaknya kita nggak bisa ngomong disini deh, Ji. Cari tempat yang aman yuk!”ajakku dan aku menariknya ke ruangan laboratorium kimia yang ada di dekat ruang sekretariatan OSIS.

“Maaf ya, Mey? Nggak seharusnya tadi aku ngebentak kamu” katanya pertama kali saat kami telah masuk ke dalam lab kimia. Kami duduk di salah satu meja yang ada di lab kimia. Situasi lab kimia sepi. Hanya ada kami berdua. Aku hanya menunggunya untuk berbicara. Nggak enak kalau aku memaksakannya.
“Nggak apa-apa kok! Kalau kamu ada masalah, aku siap jadi teman curhat kamu” kataku menenangkan.
Hening kembali. Aji memandangku dalam. Aku balas memandangnya, tapi nggak bertahan lama. Kalau aku lama-lama memandang Aji, aku nggak kuat, takutnya aku bakalan bilang semua perasaan aku ke dia. Aku nggak berani untuk tahu perasaan Aji ke aku, aku terlalu takut kalau ternyata dia nggak punya perasaan apa-apa ke aku, bagaimana nantinya sikap ku ke dia kalau dia nggak punya perasaan yang sama seperti perasaanku padanya. Aku menunduk. Hanya melihat sepatuku. Saat tiba-tiba dia memelukku. Berada dalam dekapannya membuatku nyaman. Harum shampoo yang dipakainya, dan parfumnya yang lembut akan selalu ada dalam ingatanku. Apakah aku boleh berharap padamu, Ji?
Nggak lama kemudian dia melepaskan pelukkannya dengan perlahan. Dan kulihat wajahnya kuyu, resah, dan tidak seperti wajahnya yang biasanya dipenuhi dengan rasa percaya diri. Kini yang ada dihadapanku adalah sisi Aji yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
“maaf ya, Mey? Aku tiba-tiba memelukmu” katanya memecah keheningan diantara kami. Aku hanya bisa mengangguk, aku takut kalau aku berbicara, aku akan berbicara yang aneh-aneh seperti menyatakan perasaanku padanya.
“kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita ke aku, Ji. Mungkin aku nggak bisa membantu banyak, tapi aku bisa membantumu dengan memberimu dukungan”
“ini tentang Risa” katanya dan dia menghela napas panjang. Dan aku hanya terdiam menunggunya melanjutkan ceritanya.
“Risa merupakan tetanggaku dulu. Kamu tahu kan kalau dulu aku pernah tinggal di Yogyakarta?”
“Iya”
“iya. Dan aku baru pindah ke Jakarta 5 tahun yang lalu. Sebelumnya masa kecilku ku lewatkan di Yogya juga dengan Luqman. Iya. Dia ada hubungannya dengan Risa” sambungnya saat aku mengerutkan kening saat Aji menyebut nama Luqman.
“Luqman adalah sepupu jauhku. Dulu kami tinggal bersama nenekku di Yogya. Kami melewatkan masa kecil yang bahagia. Aku, Luqman, dan Risa. Kami merupakan jagoan cilik di desa. Namun seiring berjalannya waktu, saat Risa masuk SMP, aku menyadari kalau aku menyukainya. Dia merupakan gadis tercantik yang pernah kulihat” katanya. Saat Aji mengatakan kalau dia menyukai Risa dan Risa merupakan gadis tercantik yang pernah dilihatnya, terbesit rasa cemburu dalam hatiku.
“Namun Risa menyukai pria lain. Aku nggak mungkin salah akan hal ini karena Risa cerita sendiri ke aku. Dan pria itu adalah Luqman”
“Mendengar hal itu aku sangat cemburu. Nggak lama kemudian Risa datang menemuiku dengan membawa kabar kalau mereka telah jadian. Aku marah dan merasa dikhianati oleh Luqman, karena Luqman tahu perasaanku pada Risa, dan dia berjanji akan membantuku membuat Risa berpaling padaku, namun dia bisa-bisanya melupakan hal itu”
“Setiap aku melihat mereka berdua, monster dalam diriku memberontak marah. Aku yang saat itu kalap berusaha menyelakakan Luqman. Aku membuat rem sepeda motornya tidak berfungsi. Akibatnya saat Luqman dan Risa mengendarai sepeda motor itu, mereka kecelakaan seperti yang ku rencanakan” katanya dengan wajah yang mulai sedih dan suara yang sedih.
“Iya Luqman celaka seperti rencanaku, namun Risa meninggal karena kecelakaan itu. Itu merupakan salah satu kesalahan terbesarku. Luqman mengalami koma selama dua tahun. Seharusnya kini dia setingkat dengan kita. Rencana itu berjalan mulus, sangat mulus, andai saja Risa tidak ikut membonceng di belakang Luqman” katanya dan ia mulai menangis.
Aku merasa kalau Aji sangat mencintai Risa dan merasa sangat bersalah atas kematiannya. Duh, apa yang harus ku lakukan kalau ada seorang pria menangis di depanku. Aku merasa kasihan sekali pada Aji. Jadi ini yang membuatnya resah jika melihat Luqman. Apa yang harus ku lakukan? Aku mengeluarkan tissue yang ada di saku seragamku dan menghapus air matanya.
“Maaf, Mey. Aku jadi membuatmu khawatir. Dan alasan kenapa aku melarangmu dekat-dekat dengan Luqman, karena aku takut kamu akan direbutnya seperti dia merebut Risaku. Kamu nggak akan memilihnya kan, Mey?” tanyanya. Matanya menyiratkan seperti mata anak kecil yang ketakutan mainan kesayangannya akan direbut.
“Ehem.. begini, Ji. Aku mau tanya satu hal padamu, sebenarnya kamu menganggapku apa? Maaf bukannya aku mengira kamu menganggapku barang atau sesuatu, tapi aku cuma mau tanya, sebenarnya aku dimatamu itu apa? Aku nggak bisa mengiyakan saja tanpa tahu jawaban dari hal ini. Karena sebenarnya aku berharap kita lebih dari teman dan sekedar sahabat. Bolehkah aku tahu harapanku itu terkabul atau nggak? Karena kalau kamu hanya memberiku harapan tanpa jawaban yang jelas membuatku resah” tanyaku takut. Hah.. akhirnya aku menanyakannya.. aku nggak tahu kenapa kok bisa-bisa aku bertanya seperti itu padanya.
Hening. Aku tak berani memandangnya. Aku hanya terdiam menunggu jawabannya. Dan matanya hanya memandangku. Saat Aji berusaha untuk berbicara,
“Aji! Lo dipanggil wakil kepala sekolah tuh!” panggil Dipta dari pintu lab kimia, dia memecah keheningan dan juga memotong pembicaraan kami disaat yang tidak tepat.
“Iya, Ta! Makasih ya?” kata Aji yang raut wajahnya sudah berubah seperti biasa lagi. Dan Aji pergi bersama Dipta. Hanya aku yang ditinggal sendiri di lab kimia.
Hhhfffhhh…. Inikah nasibku yang tidak akan pernah mengetahui apa yang akan dikatakan Aji? Gimana nanti kalau aku ketemu Aji? Gimana kalau nanti aku ketemu Luqman? Harus seperti apakah aku bersikap?

Aku kembali ke kelas X-3, tempatku bertugas. Hadi dan Risti marah-marah karena aku telat datang. Kini kelas sedang diisi oleh guru yang akan menjelaskan mengenai visi dan misi sekolah. Seperti biasa anak-anak OSIS hanya duduk dilorong sekolah tak ada kerjaan. Aku langsung menarik lengan Lita dan pergi mencari Ita juga untuk menceritakan mengenai kebodohan yang telah kuperbuat.

“beneran, Mey? Lo udah nembak dia?! Terus dia bilang apa?” tanya Lita exciting saat aku, dia dan Ita duduk di kantin mendengar ceritaku. Aku menceritakan semua yang terjadi pada sahabat-sahabatku, dengan pengecualian aku nggak menceritakan curhatannya Aji, dan tangisannya Aji.
“Gue nggak tahu dia bakal bilang apa. Dipta dateng dan manggil Aji, dan Aji pergi. Apa gue salah ya nanya gitu? Gue bikin Aji jadi bingung mau jawab apa. Atau dia bingung gimana cara nolak gue dengan halus ya?” tanyaku dengan pesimis.
“Kita nggak bisa jawab pertanyaan lo itu juga, Mey. Semua keputusan ada ditangan Aji” kata Ita
“Terus kalau gue ketemu dia, gue harus bilang apa? Apa gue harus nuntut jawaban dari dia?”
“Nggak!” jawab mereka serempak.
“Lo jangan nuntut jawaban sama dia. Tungguin aja. Kalau semakin lo nuntut, nanti dia bisa ilfeel sama lo. Mendingan lo biarin dia yang bilang sendiri sama lo. Biarkan dia berpikir dahulu. Biarkan dia menimbang-nimbang untuk menerima lo atau menolak.” kata Lita.
“oke, gue bakalan nungguin jawaban dari dia. Tapi selama jawaban itu belum keluar dari mulutnya, apa yang harus gue lakukan?”
“Lo berlaku aja seperti biasanya. Seperti belum terjadi apa-apa” saran Lita
“tapi kalau terlalu lama dia diam gimana?”
“satu bulan” kata Ita.
“Hah? Satu bulan? Apaan yang satu bulan?”
“Lo tungguin dia satu bulan. Kalau dalam satu bulan dia belum ngomong apa-apa, lo bisa tanyakan ulang padanya” jelas Ita sok mengerti.
“Oke. Satu bulan”
“Oh ya. Lo kan belum cerita sama kami tentang mimpi lo ketemu Aji. Memang lo memimpikan apa?” tanya Ita.
“Oh, itu, entah sampai sekarang gue juga belum tahu maksud dari semua itu, tapi yang gue tahu, gue dan Aji ada di sebuah kebun bunga yang indah yang disebut sebagai kebun kupu-kupu. Dan kami tidak hanya berdua di tempat itu, ada seseorang disana”
“Siapa?” tanya Lita penasaran.
“I have no idea. Gue nggak lihat wajahnya. Dia ada di belakang gue, Aji menunjuknya, saat gue berbalik, nyokap gue bangunin gue!”
“Ahhhh....... nggak seru!!!” desah keduanya.
“Biarin! Yang penting gue ketemu Aji!”
“Nggak penting!! Aji doang! Setiap hari ketemu di sekolah kali!!” seru Lita.
“hehehe…. Namanya juga sedang jatuh cinta!” belaku.


Aku wanita yang sedang jatuh cinta…


“kak Mea..” panggil Luqman.
Saat ini waktunya istirahat siang, dan kacaunya, sekarang aku ketemu sama dia di tangga sekolah dekat kelas X-3. Ih nih anak nggak ngerti apa ya? Kan tadi gue udah jelas-jelas bilang buat nggak mengganggu gue. Padahal gue seharian ini udah berusaha biar nggak ketemu dia.
“apaan? Jauh-jauh dari gue!” jawabku ketus
“ketus amat sih! Padahal kan aku cuma mau lebih dekat sama kakak”
“Gue nggak mau deket-deket sama elo!” kata ku dan aku buru-buru untuk turun dan bodohnya aku, aku terpeleset karena tidak konsentrasi. Duh, kepala gue bakalan kejedot keras nih! Apa gue bakalan amnesia ya?
Aku memejamkan mataku saat aku jatuh, aku takut kalau aku jatuh. Namun kutunggu-tunggu, aku tidak kunjung jua kejedot. “Apa gue udah mati ya? Jadi nggak kerasa apa-apa?” pikirku. Alih-alih kejedot, aku mencium bau parfum yang kukenal. “Apa di surga baunya seperti ini ya?” pikirku bodoh. Perlahan tapi pasti, aku membuka mataku. Dan aku menyadari sedang ada dalam pelukan seseorang. Siapa ya? Oh, my gosh! Saat aku sudah membuka mataku lebar-lebar, aku melihat Luqman sedang mendekapku erat. Deg. Cepat-cepat ku hempaskan dia. Aku melihat keadaan sekitar, kami berdua terjatuh hingga anak tangga terakhir. Dan Luqman menjadikan dirinya sebagai bantalanku.
“Ma..maaf, Man!” seruku. Saat aku mengempaskan dirinya, dia meringis kesakitan.
“ah, nggak apa-apa” katanya sambil tersenyum. Deg.
“Ada yang luka nggak?” tanyaku khawatir sambil menyentuh pundaknya membantunya bangun. Deg. Saat dia berusaha untuk berdiri dengan bantuan ku dia langsung terjatuh lagi.
“Eh, kenapa?!” tanyaku panik.
“Kayaknya gue keseleo deh! Kaki gue sakit banget buat jalan” jawabnya sambil meringis kesakitan dan mencoba mengurut kakinya.
“Eh, jangan dipegang dulu! Takutnya kenapa-kenapa terus jadi salah urat lho!” seruku saat dia mulai mengurut sendiri kaki kanannya. Sebagai anggota tim kesehatan sekolah, atau PMR, hal pertama yang harus kulakukan adalah memapahnya menuju ke uks. Aku langsung meraih lengan kanannya dan meletakkannya dipundakku. Aku memapahnya. Berat bo!
“Eh, kamu mau ngapain?” tanyanya bingung.
“Mau ngapain? Ya bawa kamu ke uks lha! Biar dirawat disana”
“Udah nggak usah. Gue kan berat”
“Orang sakit diem aja deh! Kalau nggak cepet dirawat nanti bisa tambah parah!” seruku. Dan dia hanya diam dan menurut.
Aku berusaha untuk membawanya ke uks. Sepanjang perjalanan ke uks, semua orang melihat kami. Ada beberapa teman sekelasku yang meledek ku. Ih nih orang-orang udah tahu ngelihat gue kesusahan bawa Luqman malah nggak bantuin. Aduh, gue udah nggak kuat nih, padahal kami masih di lantai dua, duh, kenapa uksnya ada dibawah sih! Saat aku limbung dan terjatuh, entah kenapa Luqman nggak terjatuh. Hah? Nggak ikut jatuh? Saat aku berdiri aku mengetahui kenapa itu terjadi, Aji dengan sigap sedang memapahnya disisi seberangnnya.
“Kamu nggak apa-apa, Mey?” tanya Aji dan Luqman bersamaan.
“Nggak, nggak apa-apa”
“Luqman kenapa sih, Mey? Mau kamu bawa kemana?” tanya Aji.
“Maaf, Ji. Luqman keseleo, mau aku bawa ke uks”
“Ya udah ayo ke uks!” seru Aji dan dia gantian memapah Luqman. Aku hanya berjalan disamping Luqman mengikuti langkah kaki mereka berdua.

“Mey, aku perlu penjelasan kenapa kamu tadi memapah Luqman? Kenapa dia bisa keseleo?” tanya Aji saat Luqman sudah kami serahkan pada dokter uks untuk dirawat. Kini aku dan Aji sedang berada di ruang sekretariatan OSIS yang berada dekat dengan uks. Untungnya saja saat ini ruang OSIS sedang kosong. Lalu aku menjelaskan semuanya pada Aji.
“Maaf, Ji” kataku dan aku memeluknya.
“Maaf untuk apa? Kalau begitu kejadiannya, aku bisa maklum kok! Asalkan kamu jangan dekat-dekat dengannya” tanya Aji pelan masih dalam pelukan. Suara Aji yang tepat berada di telingaku menggema hingga dalam hati. Aku hanya terdiam menikmati pelukannya yang erat. Aku nggak mungkin dong kalau aku bilang pada Aji kalau saat aku berada didekat Luqman, jantungku berdebar cepat! Iya. Itulah yang terjadi padaku saat aku berada didekat Luqman. Saat itu aku merasa sangat menghianati Aji, karena dalam sesaat, aku melupakannya.
“Mea” panggilnya dan melepaskan pelukan ini. Kini tangannya memegang kedua pundakku. Aku memandangnya. Dia memandangku selama beberapa detik. Apakah ini saatnya aku tahu jawaban atas pertanyaanku tadi pagi?
“Kenapa, Ji?”
“Untuk pertanyaan kamu tadi pagi..” katanya mengawali. Yup! Inilah saatnya! Aku hanya diam menunggu jawabannya.
“maaf telah memberi harapan yang berlebih, aku nggak bisa menganggapmu lebih dari teman atau pun partner dalam OSIS” katanya sedih.
“maaf, aku masih ada urusan” katanya dan meninggalkan aku sendiri di ruang OSIS. Aku hanya terdiam. Bagiku dunia sudah kiamat saat tadi dia mengatakan penolakkannya padaku. Kaki ku lemas dan aku terduduk dilantai ruang OSIS yang dingin. Menangis sendiri dalam sunyi.

Apa ini? Kenapa saat tadi gue bersama Mea, gue merasakan debaran yang sama saat gue bersama Risa? Kenapa tadi gue refleks memeluk Mea untuk menyelamatkannya.
“a.. aduh!” seruku saat dokter uks memijat kakiku.
“Sementara sih udah nggak apa-apa. Kamu istirahat aja disini!” kata dokter itu dan pergi meninggalkan ku sendiri dalam ruang uks.
Gue bingung, kenapa gue bisa deg-degan didekat Mea? Apa karena dia sama kayak kamu, Ris? Kenapa bisa ya di dunia ini ada dua orang yang sama persis sepertimu, Ris? Apa aku jatuh cinta dengannya, Ris? Tapi aku nggak boleh sampai mencintainya. Aku datang kesini, dan mendekatinya karena gue mau balas dendam sama Aji. Kalau aku sampai mencintainya aku bisa susah untuk membalas seperti apa yang telah dilakukan Aji kepadaku dengan memisahkan kita berdua, Ris!
“Assalamualaikum” salam Mea masuk ke uks. Dia mendekati ranjangku.
“Waalaikum salam”
“kamu udah baikan, Man?” tanyanya. Suaranya bergetar, seperti saat Risa biasanya sedang menyimpan sesuatu yang membuatnya sedih. Apa benar akan sama antara kebiasaannya dan kebiasaan Risa ini?
“Udah sih, cuma nggak boleh jalan dulu. Kamu kenapa, Mey? Kamu habis menangis ya?” tanyaku perlahan.
“Ah, enggak.. aku.. aku..” kata-katanya terputus dan dia menangis.
“Sini, Mey” panggilku untuk menyuruhnya duduk disamping ranjangku. Dia menurut. Aku memeluknya untuk menenangkannya. Aku juga merasa sedih melihatnya menangis. Aku nggak mau melihatnya menangis, sama seperti saat aku nggak mau melihat Risa menangis. Apa aku menganggap Mea seperti Risa?
“kamu kenapa?” tanyaku pelan saat aku melepaskan pelukanku dan menghapus air mata yang jatuh dipipinya. Dia tidak menjawab, hanya menangis. Saat seperti ini aku nggak tahu apa yang bisa ku lakukan untuknya. Aku hanya menemaninya menangis. Berada dismpingnya sampai dia mau memberitahukan alasannya menangis.

“Ji, lo liat Mea nggak?” tanya seseorang padaku saat aku sedang berjalan menuju ruang wakil kepala sekolah untuk melaporkan kalau MOS sudah hampir usai dan meminta kesediannya untuk menutup MOS hari kedua pada apel penutupan nanti.
“Terakhir gue ngelihat sih tadi pas istirahat siang, dia ada di ruang OSIS. Kenapa, Ris?” tanyaku balik. Aku khawatir. Apa Mea baik-baik saja ya setelah apa yang terjadi tadi?
“Gue dari tadi nggak ngelihat dia. Emang semenjak istirahat tadi gue juga nggak ngelihat. Tadi gue udah cek ke ruang OSIS, tapi nggak ada orang disana. Ya udah deh, makasih ya, Ji!” serunya dan beranjak pergi.
“Risti! Bilangin ya sama semua anak OSIS, suruh kumpulin semua anak kelas satu di lapangan! Mau ada apel penutupan!” pesanku pada Risti. Dia hanya mengangguk.
Mea nggak ada di ruang OSIS? Dia kemana ya? Apa dia nggak apa-apa setelah tadi gue menolaknya. Kalau nanti terjadi apa-apa sama Mea gimana ya? Sebenarnya aku mencintainya. Tapi aku nggak tahu apakah aku menyukainya karena memang dia adalah Mea atau karena aku menganggapnya sebagai pengganti Risa. Hati kecilku nggak membolehkan aku untuk menyakiti Mea, dan aku belum yakin pada perasaan ku. Mea, aku nggak bisa menerimamu, tapi aku juga nggak mau kamu pergi dariku. Aku tahu kalau aku egois. Tapi aku nggak bisa melihat kamu pergi dengan cowok lain apa lagi kalau sampai cowok itu Luqman. Iya, Luqman! Saat aku melewati uks, aku yang awalnya berniat menjenguk Luqman, dan menawarinya untuk ku antar pulang karena kakinya yang keseleo nggak mungkin untuk berjalan jauh, saat aku masuk, dan mengintip dibalik tirai uks yang memisahkan dari satu ranjang ke ranjang lainnya, aku mendengar suara Mea yang sesengukan menangis, aku mengintip di celah-celah dan mendapati Mea sedang menangis di depan Luqman, dan Luqman sedang berusaha untuk menghiburnya.
“aku rasa aku tahu alasan Aji nolak kamu, Mey”
“Apa?” tanyanya sambil sesengukan.
“Risa”
“Risa? Apa Aji belum bisa melupakan Risa?”
“Hahaha… kalau melihatmu, dia nggak mungkin bisa melupakan Risa”
“Maksud kamu?”
“Aji belum memberitahukan hal ini padamu?”
“Kasih tahu apa? Dia cuma kasih tahu apa yang tadi aku ceritakan”
“Ini” katanya dan memberikan selembar foto dari dompetnya. Mea yang melihat foto itu berhenti menangis karena terkaget melihat foto tersebut. Bagai pinang dibelah dua, Risa sangat mirip dengannya.
“Hah?! Ini Risa?”
“Iya. Kamu dan dia bagai pinang dibelah dua. Sangat mirip”
“Nggak mungkin! Kan yang seperti ini cuma ada di sinetron-sinetron!”
“Hahahaha… tapi itulah yang terjadi. Aku rasa Aji masih bingung atas perasaannya padamu. I think he loves you, but he doesn’t know his true feeling to you. Does he loves you because of you? Or because of Risa? Tapi dia bodoh”
“Bodoh? Bodoh kenapa?”
“nggak. Lupain aja!”
Itulah pembicaraan mereka yang terdengar oleh ku sebelum aku pergi meninggalkan uks karena aku nggak mau mencuri dengar lebih banyak lagi. Risa. Mea. Kenapa kalian bisa sama persis? Kalau saja Mea berbeda dari Risa, mungkin ini akan jauh lebih mudah bagiku untuk membuka lembaran baru. Ris, kenapa kamu selalu ada dalam hidupku? Apa kamu marah padaku sehingga membuatku tidak bisa melupakanmu?

“Ris, eh, Mey” panggilku saat Mea bersiap untuk pulang dan sedang membantuku jalan. Dia bersikeras untuk mengantarkanku pulang.
“Apa, Man?”
“Apakah kamu akan mengikuti kemauan Aji yang menyuruhmu untuk menjauh dariku?”
“Buat apa? Lagian dia juga bukan siapa-siapaku! Mungkin rasa cintaku pada Aji belum bisa ku lupakan, tapi aku berusaha untuk bangkit kembali, seperti katamu, kalau aku nggak ambil resiko, nggak akan ada yang namanya masa depan” katanya tegar dan membantuku berdiri.
“Kayaknya kamu sudah mulai tegar, Mey!”
“Harus. Aku selalu bilang pada temanku yang sedang patah hati, dia boleh menangis sepuasnya, tapi setelah dia berhenti menangis, dia harus tegar dan bangkit kembali untuk melangkah ke depan, membuat masa depannya yang lebih baik lagi, kita nggak boleh menyesali apa yang sudah terjadi, setiap masalah pasti ada hikmahnya, seperti kata Stuart Litte, every problem have a silver line” katanya mantap dan memapahku menuju taksi yang sudah dipesan.
Walaupun dia bilang begitu padaku, namun mata dan senyumannya tidak bisa berbohong. Pada matanya terlihat kalau dia sangat sedih, senyumannya tidak seperti senyumannya yang tulus dan manis seperti saat pertama kali kami bertemu, dia sangat terlihat memaksakan senyumannya. Yah.. mungkin saat ini aku hanya bisa menunggunya… menunggunya untuk melupakan Aji. Menunggu lukanya sembuh dan menutup.


26 November 2008

Miris

Sudah lama aku ada di sini. Yah, kurang lebih dua puluh tahun. Sudah tua, ya? Ah, tidak kok, menurutku aku masih tergolong muda.


Oh, ya, namaku Poli! Aku tidak sendirian di sini. Bersamaku ada Pola, sahabatku sejak aku muncul di dunia.


Kami diberi nama oleh seorang anak kecil yang lucu, penghuni rumah besar ini. Sebelum ia tinggal di sini, kami sudah lebih dulu ada.


Kami ingat saat pertama kali ia datang bersama kedua orangtuanya. Suaranya yang melengking-lengking mengagetkan kami dari ketenangan. Tapi ketika melihat sumber suaranya, kami langsung berpikir, ialah teman yang baik untuk kami.


Selama ini kami ditelantarkan, tapi tidak dengannya. Ia menganggap kami sebagai teman bermainnya. Ia anak tunggal, ia kesepian. Kasihan. Maka dari itu, kami membiarkan dia untuk melakukan apapun terhadap kami.


Sering ia membawa teman-temannya kemari dan bermain di bawah pengawasan kami. Berlarian, berteriak, bersahut-sahutan, berbisik, berlompatan, dan juga menggoreskan nama mereka di tubuh kami. Sakit, memang. Tapi, biarlah, apapun kami relakan asal dia senang.


Dari goresan itu, kami tahu, namanya Rani. Rani Minavertira.


Tahun berganti, Rani pun berubah menjadi seorang remaja manis, tak beda jauh dengan masa kecilnya dulu. Ia mulai jarang membawa teman-teman sejenisnya ke rumah. Sekarang ia sering membawa seorang lelaki ke rumah. Lelaki tampan.


Rani membawa lelaki yang kemudian kami ketahui adalah kekasihnya ke rumah, hanya ketika orangtuanya tidak ada. Hanya ada kami. Kenapa, ya? Ah, mungkin, ia sudah percaya pada kami.


Kami tidak merasa curiga sampai ketika.. Kami memergoki mereka sedang melakukan hal yang tidak sepantasnya mereka lakukan. (Tidak sampai separah itu, tenang saja)


Kami sudah berusaha mengingatkannya berkali-kali. Tapi apa daya, Rani sekarang telah berubah. Ia tidak peduli lagi pada kami. Semakin lama, tingkahnya dan kekasihnya semakin menjadi. Kami rasa, Rani telah terpengaruh.


Ah, Rani, andai saja kami curiga dari dulu, ingin sekali kami larang kamu untuk dekat dengan lelaki itu.


Kami hanya bisa diam. Rani mengancam kami untuk tidak memberitahukan apapun kepada orangtuanya. Yah, apa mau dikata.


Hal itu terus berlangsung mulus bagi Rani, sampai ketika orangtuanya pulang lebih cepat dari biasanya. Jelas, Rani tidak memperhitungkan itu, terlihatlah apa yang mereka lakukan oleh orangtuanya.


Yang kami dengar pertama kali adalah suara sesuatu yang jatuh. Oh, ibu Rani pingsan. Yang kedua, tangisan. Tangisan Rani, menyadari ibunya pingsan karena perbuatan terlarangnya. Yang ketiga, teriakan menggelegar. Suara ayah Rani yang penuh dengan amarah. Yang keempat, suara langkah kaki. Ah, tidak, lelaki itu kabur!


Sejak saat itu, orangtua Rani jadi super protektif. Rani tidak sekolah di sekolah umum lagi, ia homeschooling. Rani jadi pemurung, Rani semakin kesepian, Rani sedih. Rani menanggung beban berat.


Ia sering sekali menangis di hadapan kami. Ia juga bercerita bahwa saat ini ia sedang mengandung hasil perbuatan terlarangnya dulu. Orangtuanya malu dan memutuskan untuk pindah ke luar negeri sekalian. Ke Jerman. Toh di sana tidak ada yang mereka kenal, jadi akan aman-aman saja.


Tidak.. Jangan pergi, Rani. Dengan siapa nanti kami di sini?


Sekarang sudah tiga tahun berlalu. Rumah ini kini ditempati oleh keluarga besar, sepasang orangtua dan empat orang anak. Keempatnya laki-laki. Kami harap, kejadianmu dulu tidak terulang, Ran..


Apa kabar kamu di sana sekarang, Ran? Apa kamu sudah melahirkan? Perempuan atau laki-laki? Sudahkah kamu memiliki pasangan hidup?


Ran, kami rindu sekali padamu.


Kami menyesal, andai saja sedari dulu kami mengingatkanmu, tentu tidak akan begini jadinya.


Tapi, kami memang tidak pernah bisa mengingatkanmu.


Kami hanya saksi bisu.







Kami hanyalah pohon.

you and you : satu

“Halo!”

“Aji? Ini dimana?”

“Masa kamu lupa? Ini kan kebun kupu-kupu!”

“Kebun kupu-kupu?” tanyaku.

Sekelilingku memang terhampar padang rumput dengan bunga-bunga indah dengan warna-warni yang menarik hati. Di belakang Aji, terdapat sebuah tebing besar menganga dengan ketinggian yang tidak kuketahui kedalamannya, aku tidak dapat melihat ujungnya.

“hey? Kenapa bengong?” tanya Aji membuyarkan lamunanku.

“Eh, maaf. Tadi kamu bilang apa?”

“Iya ini kebun kupu-kupu. Kita kan sering bermain bersama disini!”

“Bermain?” tanyaku memastikan.
Bagaimana bisa aku sering bermain bersama dengan Aji disini? Aku baru kenal Aji sejak aku masuk SMA! Apa Aji salah ya?”

“duh, bengong lagi!”

“Eh, iya. Maaf... tapi apa kamu nggak salah, Ji?”

“Salah? Apa yang salah?”

“Aku baru kenal kamu sejak aku masuk SMA, bagaimana bisa ini menjadi tempat bermain kita? Aku juga baru pertama kali kesini”

“Kamu bercanda! Ayo! Dia sudah menunggu kita sedari tadi!”

“Dia? Dia siapa?”

“Dia teman kita! Dia menunggu di ujung sana!” katanya menunjuk ke arah belakang kepalaku.

“Siapa?!”

“Mea, bangun. Ini sudah jam setengah enam. Nanti kamu terlambat lho!”
“Hmm” sahut Mea dalam selimutnya yang hangat.
“Eh, nih anak malah tidur lagi!” kata mamanya Mea keki melihat tingkah putri bungsunya masuk lagi ke dalam selimut sehabis salat subuh berjamaah sekeluarga.
“Mey, kamu kan hari ini harus ngeMOSin anak-anak baru di sekolah kamu. Kamu kan udah excited dari kemarin. Ayo dong, bangun!”
“Iya. Iya, mama!” seru Mea akhirnya terbangun. Dalam hatinya dia mengrutu kenapa sih liburannya nggak di lamain?! Kayak di luar negeri gitu kek! Liburannya sampai dua bulan!
Saat pertama kali membuka matanya yang terlihat dari sudut pandang Mea adalah tembok kamar yang berwarna biru laut. Agak kekanan ada lemari kayu jati tua yang sekarang memuat pakaiannya. Di sebelah kanan kasurnya ada meja belajarnya dengan komputer tua yang usang kesayangannya. Di dinding dekat pintu keluar menggantung cermin separuh badan yang juga sudah tua lungsuran dari kakaknya. Di pintu kamarnya tergantung beberapa pakaian, seperti jeansnya yang masih sekali dipakai, itu pun cuma dipakai kondangan dua hari yang lalu, dan juga tergantung pakaian seragam sekolah putih abu-abu yang telah disiapkannya semalam.
Tadi gue ngimpi apa ya? Aneh banget! Gue jadi penasaran, siapa sih orang yang tadi ditunjuk Aji? Huh! Mama kenapa bangunin aku di saat yang amat sangat tidak tepat?! Hm... tak apa deh! Yang penting gue bisa ngimpiin Aji! Hehehe...
Setelah nyawanya yang masih melayang-layang telah terkumpul kembali di badannya yang mungil itu, Mea melangkahkan kakinya ke kamar mandi dengan handuk warna pink menggantung di lengannya. Namun naas, di kamar mandi sudah ada yang menempati (bukan! Bukan makhluk halus! Manusia kok!). Kakak keduanya telah stand by di kamar mandi sedang mandi sambil menyanyikan lagunya Afgan yang sadis dengan suaranya yang pas-pasan.
Ngapain ya nih kacrut pagi-pagi mandi? Kan biasanya dia kuliah siang! Pikir Mea
“Siapa?!” seru orang dalam kamar mandi saat Mea menggedor pintunya.
“gue! Crut, lo ngapain pagi-pagi mandi? Ada angin apa? Lo kerasukan atau kesambet, Crut?”
“ye.. gue ada kuliah pagi ini, nyet! Lo mau mandi?”
“Kagak! Gue mau berenang! Ya iyalah gue mau mandi! Buruan, Crut! Gue udah telat nih!”
“Ya elah! Mandi di bawah aja sih! Kan kamar mandi bukan cuma ini!”
“ogah! Males gue turun tangganya! Buruan!”
“iye, iye tunggu!”

“Mea! Buruan! Pak Har udah jemput nih!” panggil mamanya dari lantai bawah.
“Iya bentar” kata Mea sambil memoleskan lip balm pada bibirnya yang tipis dengan terburu-buru.
Mea langsung kedubrak-kedubruk turun dari tangga. Di anak tangga terakhir ia langsung menyambar sepatu keds kesayangannya dari rak sepatu yang berada tepat di samping tangga. Dan sambil duduk ditangga, ia memakai sepatunya itu.
“Ma, Mea berangkat dulu ya?!” pamitnya dan mencium punggung tangan mamanya.
“hati-hati ya nak! Nanti kalau sudah mau pulang telepon ke rumah ya?”
“Iya, Ma” kata Mea sambil berusaha naik ke sepeda motornya Pak Har dengan susah payah karena roknya yang panjang.
Mea berangkat dengan semua atribut sekolahnya yang kebanyakan berwarna pink, mulai dari sepatu, kaos kaki, jepitan kupu-kupu di rambutnya yang sebahu dengan model shaggy panjang, dan tas selempangnya.

Mea merupakan siswi berumur enam belas tahun biasa. An ordinary sixteen girl. Hari ini merupakan hari pertama masuk sekolah lagi setelah liburan dua minggu kemarin. Mea bersekolah di sekolah negeri yang bisa dibilang favorit di daerahnya. Tahun ini Mea duduk dikelas XII. Tahun-tahun yang sulit karena tahunnya ujian-ujian. UAN lah, UAS lah, SPMB lah, pokoknya banyak banget deh!
Mea juga merupakan pengurus OSIS yang harusnya tahun ajaran ini lepas jabatan. Dia memegang peranan sebagai wakil sekretaris kedua. Namun hari ini dia harus memeberikan pembelajaran bagi murid baru yang masuk kesekolahnya atau yang biasa kita sebut sebagai MOS.
Mea merupakan gadis mungil yang belum menginjak umur tujuh belas tahun. Rambutnya hitam lurus sebahu. Kulitnya sawo matang. Bola matanya cokelat. Tingginya sekitar 170an. Yah, kalau segitu memang bukan dibilang mungil sih, tapi di antara kakak-kakaknya dia pendek. Kalau di sekolah dia terlihat normal-normal saja.
Kesukaannya dengan warna pink membuatnya jadi lebih manis. By the way about pink, sebenarnya kamarnya yang sekarang adalah lungsuran dari kakak-kakaknya. Bukan hanya kamar, tetapi juga beberapa barang-barangnya, contohnya lemari pakaiannya, komputernya dan beberapa pakaiannya.
Kakaknya yang dulu memiliki kamar itu sangat menyukai warna biru, maka dari itu kamar yang di tempatinya sekarang dominan berwarna biru.
Mea merupakan bungsu dari tiga bersaudari. Kenapa dibilang bersaudari? Karena Orang tua Mea memiliki tiga putri yang manis-manis dan tak punya seorang pun putra. Kakaknya yang pertama bernama Mia, dia sudah menikah dan sudah pindah kerumahnya yang baru. Maka dari itu kamarnya dilungsurkan pada kakaknya yang kedua, yang bernama Mei. Dan kamar kak Mei dilungsurkan pula padanya.
Budaya lusur melungsur memang sudah turun temurun ada di keluarganya. Mamanya pernah bercerita, kala dulu sewaktu masih muda barang-barang mamanya pun lungsuran dari kakak-kakaknya. Mea pernah memprotes atas ketidakadilan ini. Dia ingin memiliki sesuatu barang yang berharga yang bukan lungsuran dari kakaknya. Namun ia hanya dimarahi oleh Kak Mei.
Diantara kedua kakaknya, memang yang hyperactive, yang paling bawel, yang paling nggak manis, dan yang paling sering rebut dengan Mea adalah Kak Mei. Beda umurnya dengan Mea adalah enam tahun. Dia sering sekali rebut dengan Mea. Kalau Mea putih, kak Mei pasti hitam. Kalau Mea bilang manis, kak Mei pasti bilang pahit. Semua pikiran mereka berdua sangat bertolak belakang. Namun dalam setiap keributan selalu Mea yang kalah karena perbedaan besar tubuh yang tidak seimbang. Kak Mei berbadan besar. Dia agak gendut sehingga membuat Mea takut. Setiap kalah, Mea yang punya sifat nggak mau kalah ini pasti membalas dendam, contohnya seperti menggunting foto pacar kakaknya itu, merusak koleksi kartu “Taz Mania” kakaknya, merusak buku kuliah kakaknya, bahkan Mea sempat berpikir untuk melakukan pembunuhan berencana untuk membunuh kakaknya itu karena kebanyakan nonton DVD detective conan.
Namun walaupun sampai begitu sebenarnya Mea dan Mei lah yang paling dekat hubungannya dibandingkan dengan kak Mia.

Saat tiba di sekolah, benar saja dia telat. Ditengah lapangan berdiri beberapa orang dan ddari kejauhan di lobby sekolah, Mea mencari-cari teman-temannya. Untung saja ini masih hari pertama masuk sekolah, jadinya dia masih diberi toleransi telat sekolah. Setelah itu buru-buru ia berlari menuju ruangan kesekretariatan OSIS dan segera memakai baju kebesaran OSISnya. Lalu ia dengan sigap langsung berlari menghampiri kerumunan orang dengan jas abu-abu yang berada di tengah lapangan.
“hhahh…hhhaahhhh…hhhhaaahhh….”.
“duh, Mey, jam ngaretnya jangan dipiara dong!” seru salah satu rekan OSISnya yang bernama Ita yang kebetulan menjabat sebagai wakil ketua OSIS kedua yang sudah stand by di lapangan yang terik. Beberapa anak OSIS sedang memberikan pengarahan pada murid-murid kelas satu yang baru masuk, dan beberapa OSIS yang lainnya hanya melihat-lihat, kali aja mereka dapat stok cewek atau cowok pilihan yang oke punya.
“Maaf. Tadi pagi gue rebutan kamar mandi dulu sama kakak gue! Jadinya gue telat deh! Udah gitu tadi gue ngimpiin Aji!” seru Mea.
“Heh? Beneran?!” tanya Ita histeris.
“Mea! Ita! Harap diam!” perintah Aji. Mea dan Ita hanya bisa terdiam menunduk. Takut kalau Aji marah menyeramkan!
“OSIS! Harap berbaris sesuai urutan jabatan!” lanjut Aji, memalingkan pandangannya dari Mea dan Ita ke murid-murid baru. Aji adalah ketua OSIS di sekolah Mea, orang yang muncul dalam mimpinya semalam. Murid-murid kelas XI dan XII lainnya telah masuk kekelas memulai pelajaran baru mereka.
Dengan sigap Mea mengambil tempat tepat di samping kiri Ani sebagai wakil sekretaris pertama dan di sebelah kanan Risti sebagai bendahara umum.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Selamat pagi semuanya” sapa Aji pada semuanya membuka sesi perkenalan MOS hari pertama.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh” koor semua orang yang mendengar salam Aji tadi.
“Pagi ini adalah hari pertama kalian masuk SMA. Ingat, di SMA tidak sama dengan di SMP. Jangan bawa-bawa kebiasaan buruk kalian di SMP ke SMA. Kalian sudah bisa dibilang dewasa. Di masa SMA kalian harus bisa mandiri dan jangan manja. Apa lagi kalau kalian masuk ke SMA 357 ini, disini pembelajarannya sangat ketat. Yang masuk kesini adalah anak-anak pintar dari seantero Jakarta. Kalau kalian malas-malasan bisa-bisa tidak naik kelas” kata Aji memberi wejangan pada murid baru.
Semua hanya terdiam mendengarkan wejangan panjang lebar Aji. Beberapa murid baru yang perempuan tersenyum girang karena di sekolah yang baru ini mereka dapat bertemu dengan cowok yang merupakan kakak kelasnya nanti yang kerennya bukan main seperti Aji. Di hadapan mereka yang berjejer anggota-anggota OSIS yang lainnya pun merupakan anak-anak pilihan yang bisa dibilang good looking semua. Namun siapa sih yang masih naksir Aji setelah tahu sifat aslinya?
Banyak perempuan di sekolah ini yang naksir Aji. Mungkin itu juga yang membuatnya menang telak dalam pemilihan ketua OSIS tahun lalu. Pemilihan ketua OSIS di sekolah ini memakai sistem demokrasi. Setiap warga sekolah berhak memberikan suaranya secara langsung untuk calon ketua umum atau yang biasa juga disebut caketum yang dipilihnya. Namun perempuan-perempuan yang sudah mengenal Aji banyak yang mundur karena sifat Aji yang begitu perfeksionis dan disiplin. Namun dari banyaknya perempuan-perempuan yang dekat dengan Aji, hanya Mea lah yang masih suka padanya. Bahkan ia tambah jatuh cinta saat tahu sifat asli Aji yang perfeksionis ini. Baginya ia merupakan sosok yang ia idam-idamkan selama ini. Dewasa, perfeksionis, penyayang, dan baik. Walaupun bisa dibilang Aji itu orang yang ketus dan dingin, tapi dia adalah orang yang sangat baik. Salah satu wanita yang mendapatkan perlakuan baiknya itu adalah Mea. Entah kenapa Aji selalu baik dengan Mea. Mea pun jadi mengharapkan lebih dari Aji.
“Baiklah sekian pidato pembukaan dari saya. Sekarang saya akan mulai memperkenalkan anggota-anggota OSIS yang ada di sekolah ini. Dan sebaiknya kalian mengingat-ingat informasi disini untuk mempermudah kalian untuk meminta tanda tangan kakak-kakak OSIS yang ada disini. Disini telah berdiri kakak-kakak OSIS kalian yang berdiri sesuai jabatannya. Dimulai dari saya selaku ketua umum, nama saya Aji. Untuk pemintaan tanda tangan kami ingin nama lengkap kami. Namun pada kesempatan kali ini kami hanya menyebutkan nama panggilan kami dan itu sudah menjadi tugas kalianlah untuk mencari tahu nama lengkap kami” katanya dingin.
“hallo semuanya. Kakak wakil ketua 1, panggil saja kak Dipta!”
“Hai, namaku Ita, wakil ketua 2”
“hei, nama kakak, kak Ama”
“Saya kak Ani”
Dan tiba saatnya Mea untuk memperkenalkan diri. Namun sempat hening sebentar.
“Mea! Jangan bengong!” seru Risti yang berada disamping Mea.
“Eh, ah, maaf aku bengong ya? Oh iya namaku Mea. Kalian boleh kok panggil Mea aja!”
Dan perkenalan pun berlanjut hingga keduapuluh lima anggota OSIS di sekolah ini memperkenalkan diri. Dan Aji pun mengambil alih aba-aba lagi.
“Baik, kalian sudah mengenal semua anggota OSIS disini. Saya harap diakhir MOS nanti kalian sudah dapat tanda tangan seluruh anggota OSIS, MPK, dan guru serta karyawan yang bekerja disekolah ini. Seperti yang sudah kalian tahu kalian sudah dibagi perkelas. Masing-masing kelas memiliki 3 anggota OSIS sebagai penanggung jawab. Kalau ada yang ingin ditanyakan, kalian bisa menanyakannya pada PJ kelas kalian. Untuk kelas X-1 PJnya kak Ani, kak Hary, dan kak Lida. Untuk kelas X-2 PJnya kak Ama, kak Umam, dan kak Wati. Untuk X-3 PJnya kak Hadi, kak Mea, dan kak Risti. Untuk X-4 PJnya kak Andi, kak Rahman, dan kak Lita. Untuk X-5 PJnya kak Ita, kak Refi, dan kak Indri. Untuk X- 6 PJnya kak Irma, kak Dayus, dan kak Farhan. Untuk X-7 PJnya kak Faris, kak Tia dan kak Bella. Dan terakhir untuk X-8 PJnya kak Ovi, kak Dipta dan kak Diaz. Sekian. Sesudah saya bubarkan saya ingin kalian berkumpul sesuai kelasnya dan menunggu instruksi selanjutnya yang diberikan oleh PJ kalian. Sebelum saya bubarkan ada pertanyaan?” tanya Aji. Hening.
“Baiklah kalau tidak ada pertanyaan, untuk semuanya tanpa penghormatan umum bubar jalan!” seru Aji. Dan semua anak mulai membentuk sesuai kelompok kelasnya. Mea, Hadi dan Risti pun menyatu bersama menunggu barisan kelas X-3 dengan semua atributnya yang berwarna biru untuk rapi berbaris. Saat telah rapi, Hadi sebagai satu-satunya PJ yang laki-laki di kelas itu memulai berteriak-teriak memberi instruksi pada kelas X-3 untuk masuk ke kelas mereka karena akan ada penjelasan mengenai peraturan yang berlaku di sekolah ini yang akan disampaikan oleh Pak Riyadh selaku guru BP disekolah.

“Abis ini acaranya apaan sih? Duh gue nggak nyangka ya ternyata ngeMOSin itu ngebosenin kayak gini!” seru Lita.
Saat ini anak kelas satu baru sedang diberikan penjelasan mengenai peraturan yang berlaku di sekolah baru mereka ini. Kelas X-3 dan kelas X-4 yang berdekatan membuat OSIS-OSIS penanggung jawab kelas tersebut berkumpul di lorong sekolah tepat di depan kelas X-3. Alasan yang mendasarinya adalah mereka –OSIS-OSIS itu– tidak diperkenankan untuk masuk ke kelas mereka dan mengikuti pelajaran yang sudah mulai berlangsung hari ini.
Kata Pak Mukhlis, Pembina OSIS di sekolah ini, anggota OSIS harus bertanggung jawab sepenuhnya pada saat MOS ini. Mereka diberikan keringanan untuk tidak mengikuti pelajaran selama tiga hari ini. Lita, Mea, Hadi, Risti, Andi, dan Rahman menunggu selesainya pengarahan dari guru dengan berkumpul dan mengobrol dengan suara kecil di lorong sekolah.
“aduh, Ta jangan gitu dong! Nanti kalau Pak Mukhlis dengar gimana? Nanti lo bisa kena omel! Kalau menurut jadwal sih abis ini kita yang ngisi buat sesi perkenalan sampai istirahat jam sepuluh nanti” kata Mea. Dan mereka pun mulai menjauhkan diri dari yang lain untuk mengobrol berdua saja. Memang diantara semua anggota OSIS, Mea agak akrab dengan Lita yang menjabat sebagai wakil bendahara kedua. Selain Lita, Mea juga cukup akrab dengan Ita, karena kesamaan kegemarannya dengan komik.
“Mey, gimana? Ada berondong yang oke nggak di kelas lo?”
“Hah? Kelas gue? Yang ada bukan berondong kali! Kan yang ada di kelas gue semuanya seumuran sama elo. Dan lagi pula lo kan udah kenal sama semua anak cowok yang ada di kelas gue!”
“aduh, Mey.. lo jangan lemot gitu deh! Maksud gue tuh di kelas X-3 yang lo PJ-in!”
“Hah?! Oh, belum tahu tuh! Kan belum pada kenalan!”
“Memang lo nggak bisa ngelihat apa? Nggak perlu tahu namanya dulu, yang jelas ada nggak?”
“Yee… kan gue nggak pake kacamata! Lo tahu sendirikan kalau gue nggak pake kacamata gue nggak bisa ngelihat sama sekali. Buta!”
“hffhhhh…. Dasar lo nggak bias diandelin kalau masalah cowok! Pantesan aja dari dulu cinta lo selalu bertepuk sebelah tangan sama Aji!” seru Lita dengan suaranya yang lantang.
“Sssttttt….. Lita! Lo bias nggak sih nggak ngomong kenceng-kenceng?! Lagian belum tentu gue bertepuk sebelah tangan! Gue kan belum nanya perasaan dia ke gue!” seru Mea sambil meletakkan telunjuknya di bibirnya.
“Mey, kapan lo mau ngomong sama Aji? Nanti keburu disamber orang duluan lho!”
“udah ah bawel lo! Di kelas lo sendiri ada berondong yang oke nggak?”
“Nggak. Semuanya muka anak ingusan! Males banget gue! Eh, udah selesai tuh! Yuk masuk! Oya, nanti gue main ke kelas lo ya?!” seru Lita dan langsung memisahkan diri dari Mea masuk ke kelas masing-masing, Mea ke kelas X-3 dan Lita ke kelas X-4. Mea hanya membalas dengan anggukan.
Saat di dalam kelas Mea langsung berjalan menuju ke meja guru dan hanya duduk disana, sedangkan Risti dan Hadi berdiri menyapa murid-murid baru.
“Halo, tadi udah kenalan kan sama kakak? Udah tahu belum yang guru barusan masuk tuh namanya siapa? Kan lumayan kalian bisa minta tanda tangannya nanti saat jam istirahat”
Dan semua anak berteriak koor menjawab semua pertanyaan basa-basi dari Hadi bak sekelompok anak TK. Mea hanya tersenyum-senyum sambil melihat berkeliling. Rencananya sih ingin lihat-lihat stok berondong, namun apa daya tangan tak sampai, ia tak bias melihat dengan jelas wajah-wajah adik-adik kelasnya.
“Kalian udah tahu belum nama kelompok kelas ini?” tanya Mea.
“Udah!” koor seluruh kelas.
“Apa?” tanya Risti.
“Merkurius!!” koor seluruh kelas bersamaan.
“oh, bagus deh!” kata Mea dengan suara pelan. Saat Mea mendekati salah satu meja yang berisi cowok-cowok anak baru itu –Mea menemukan cara yang efektif untuk melihat semua wajah murid baru yaitu dengan mendekati mereka satu persatu– seorang anak baru memanggilnya.
“Maaf kak, aku boleh minta tanda tangan kakak nggak?” tanya seorang cowok anak baru dengan berani. Pandangan mata sangat tajam. Wajahnya agak-agak arab, tapi kulitnya putih bersih. Matanya punya tatapan yang tajam dengan tulang kening yang keras dan agak maju. Rambutnya agak botak karena memang untuk masuk sekolah ini mereka yang laki-laki diharuskan untuk botak, namun hal itu palingan hanya akan bertahan beberapa minggu. Contohnya semua anak laki-laki kelas XII dan XI di sekolah ini rambutnya tidak ada yang botak. Namun walaupun rambutnya botak terlihat kalau warna rambutnya cokelat tua. Bibirnya merah pink segar dan tipis.
Mea terkaget-kaget ia begitu berani meminta tanda tangannya. Saat ia perhatikan anak ini, ia menyadari kalau anak ini good looking banget, daripada semua anak cowok yang ada di kelas X-3. Insting iseng Mea pun menyala. Ia memang cukup iseng diantara semua teman-temannya.
“Mau minta tanda tangan kakak? Emang tahu nama panjang kakak?” tanyanya iseng.
“Nggak, kak!”
“Terus kenapa kamu kok bisa begitu pede untuk minta tanda tangan kakak?”
“Soalnya aku tahu kakak orang baik, jadi aku mau minta tanda tangan kakak, aura kakak kekeluargaan, nggak nyeremin kayak kakak-kakak OSIS yang lain”
“Hmm… boleh aja sih”
“Beneran kak?!” tanyanya exciting.
“Emang nama kamu siapa?”
“Muhammad Luqman ul Hakim. Tapi panggil aja Luqman!”
“Oke, Luqman, gini, kalau kamu mau kakak suruh nyanyi dan memperkenalkan diri di kelas ini dan kelas sebelah, kakak kasih tahu nama panjang kakak” kata Mea membuat janji.
“Bener ya kak?” tanya Luqman meyakinkan. Mea hanya mengangguk yakin. Dan Luqman pun berdiri dan mengikuti Mea ke depan kelas.
“Kak Hadi, ada yang mau kenalan dan nyanyi nih!” seru Mea.
“Oh, lobeh-lobeh, silahkan!” seru Hadi.
“Assalamualaikum warohmatullahi waarokatuh, teman-teman nama saya Muhammad Luqman ul Hakim, panggilannya Luqman. Saya dari SMP Kamelia Jakarta Timur, terima kasih”
“Yak, semuanya, Luqman mau nyanyi nih! Kamu tahu lagu goyang eta goyang kan yang tadi diperagaakan sama kak Hadi? Kakak mau kamu nyanyi itu dengan gayanya ya?”
“Yah, kak! Jangan yang itu dong! Yang lain aja ya?” tanyanya.
“ummm…. Nggak jadi deh kalau yang lain! Kakak maunya yang itu!”seru Mea.
“Ya udah deh!” serunya dan mulai bernyanyi.
“Goyang eta goyang-goyang. Goyang eta kanan kiri. Berhenti sebentar, sambil nyanyi eta goyang-goyang” katanya sambil memperagakan gerakkannnya –untuk gerakkannya silahkan bayangkan sendiri seperti apa goyangannya yang paling memalukan–
“Oke, makasih ya Luqman. Yuk kita ke kelas sebelah” kata Mea dan ia beranjak pergi ke kelas sebelah dengan Luqman di belakangnya.
Saat masuk ke kelas X-4 yang memiliki nama kelas Mars, Mea dengan lantang meneriakan nama Mars dan dibalas dengan jawaban yang sudah dirancang dengan memalukan oleh kakak-kakak OSISnya yang iseng-iseng.
“Mars, dari kelas sebelah ada yang mau kenalan dan nyanyi nih! Boleh nggak?” tanya Mea dan semuanya sama seperti kelas X-3 memberikan koor yang kompak.
“yuk silahkan buat Luqman” kata Mea dan mempersilahkannya mengulangi apa yang tadi telah dilakukkannya di kelasnya. Mea hanya senyum-senyum memandangi Luqman yang berbuat hal yang memalukan berkali-kali. Lita, teman Mea yang menjadi penanggung jawab dikelas itu mendekati Mea untuk mengobrol.
“Stok bagus tuh Mey! Buat gue ya?!”
“Heh! Enak aja lo! Gue yang nemuin juga!”
“Lo kan udah punya Aji! Kan gue udah ngasihin Aji buat lo!”
“Udah buat berdua aja!” seru Mea mengambil jalan tengah. Selera Mea dan Lita soal cowok memang sama. Dulu sebenarnya yang pertama kali suka sama Aji adalah Lita, Mea hanya sebagai mak comblang karena Mea dekat dengan Aji, mereka sekelas dan tempat duduknya berdekatan serta sebagai sekretaris Mea sering menemani Aji. Namun karena keseringan bareng dan bertemu Mea jadi suka dengan Aji. Lita yang sudah bosan dengan Aji dengan seenaknya menyerahkan Aji pada Mea. Lita merupakan tipe cewek yang gampang jatuh cinta dan gampang melupakan, yang berbeda dengan Mea.
“Kak Mea, udah!” kata Luqman memanggil Mea.
“Oh, udah? Balik ke kelas yuk!” dan mereka kembali ke kelas.
Saat sampai di kelas X-3 bel istirahat berbunyi. Dan Luqman dengan sigap mengambil buku tanda tangannya dan menyodorkannya ke Mea sebelum ia pergi untuk istirahat.
“Kak, aku mau nagih janji kakak tadi!” serunya.
“Oh, ya udah. Nama kakak Shivery Mealexa, kelas XII IPA 1. Udah ya? Bye!” kata Mea dengan entengnya dan pergi tanpa tanda tangan di buku tanda tangan milik Luqman.
“Tunggu kak! Tanda tangan dulu dong!” panggil Luqman sambil berlari mengejar Mea yang sekarang sudah bergabung dengan Lita. Saat telah berhasil mengejar Mea dan mengimbangi jalannya, Luqman menyodorkan buku tanda tangan miliknya untuk ditanda tangani oleh Mea. Namun Mea yang sekarang mulai dikerubuti anak-anak baru yang juga ingin minta tanda tangannya tidak melambatkan kecepatan jalannya dan mengacuhkan mereka semua.
Semua mengejarnya hingga mendekati kantin mereka semua pergi untuk meminta tanda tangan yang lainnya, kecuali Luqman yang masih mengejar Mea.
“Kak, ayo dong kak! Kan tadi kakak udah janji!”
“Tadi emang aku janji tanda tangan ya?” tanya Mea dengan ketus yang akhirnya berhenti dengan Lita yang disampingnya berdiri kegirangan karena bisa melihat dari dekat cowok berondong incarannya ini.
“Kan tadi kakak bilang kalau aku mau memperkenalkan diri dan menyanyi di kelas X-3 dan X-4 aku bakal dikasih tanda tangan!”
“Kan tadi aku Cuma bilang aku kasih nama panjang aku. Aku nggak bilang kalau aku bakalan menandatangani buku kamu ini”
“Ayo dong kak! Kakak tinggal tanda tangan aja nih!” katanya merayu sambil menyodorkan bukunya.
“Hmmm…. Kakak mau tanda tangan kalau kak Lita dan kak Aji udah tanda tangan deh!” katanya.
“yah.. oke deh! Kak Lita, minta tanda tangannya ya?” pintanya berpindah dari Mea ke Lita.
“Oh, oke-oke! Sini!” serunya dan ia menandatangani buku tanda tangan milik Luqman dengan senang hati. Mea yang melihatnya melengos tak percaya Lita akan memberikan tanda tangannya dengan semudah itu.
Huh! Pantesan aja si Lita ini mau tanda tangan! Yang minta aja cowok cakep sih! Jadi dia mau tanda tangan! Tapi tenang aja! Si Luqman ini nggak bakalan gampang dapet tanda tangannya Aji! Dia kan ketus banget! Pasti dia bakalan susah minta tanda tangan Aji!
“tuh kak! Kak Lita aja udah kasih tanda tangan! Ayo dong kak tanda tangan!” pintanya.
“Kamu belum dapet tanda tangan kak Aji kan? Ya udah aku belum mau tanda tangan kalau belum ada tanda tangannya kak Aji!” kata Mea dengan ketus dan meninggalkan Luqman yang lemas kecewa.
“kak Lita!” panggil Luqman nggak lama kemudian.
“Iya ada apa?” tanya Lita dengan sok manis.
“tahu kak Aji ada dimana nggak?!”
“Oh, biasanya kalau sekarang dia ada di ruang sekretariatan OSIS! Kamu kesana aja!” jawab Lita dengan lancar. Dan setelah meneriakkan terima kasih ke Lita, Luqman langsung pergi menuju ke ruang sekretariatan OSIS.
Saat Luqman telah menghilang dari pandangan Mea dan Lita mengambil tempat dekat dengan penjual minuman setelah mereka masing-masing memegang segelas es jeruk yang segar di tangan.
“Lo apa-apan sih, Ta? Gampang banget ngasih tahu info dimana Aji! Gampang banget ngasih tanda tangan buat Luqman!”
“Hehe… dia cakep sih jadi gue kasih aja!”
“Dasar lo nggak bisa lihat cowok cakep!”

“oke, dengan ini MOS hari pertama selesai, kami harap kalian langsung pulang ke rumah ya? Jangan mampir-mampir!” kata Hadi menutup MOS di kelas X-3. Dan semuanya keluar kelas berhamburan. Anggota-anggota OSIS keluar dan berkumpul menuju ruang sekretariatan OSIS.
Di ruang sekretariatan OSIS, saat Mea melepas jasnya yang berwarna abu-abu itu, ia bertemu dengan Aji yang kebetulan baru masuk ke ruangan itu untuk memulai rapat eveluasi MOS hari pertama. Semua anggota OSIS telah duduk di kursi masing-masing sesuai jabatannya.
Mea tidak melapaskan pandangannya dari Aji yang sedang berbicara. Setiap perkataan Aji ia tangkap dan didengarkannya baik-baik. Ia benar-benar telah jatuh cinta pada Aji. Aji sangat keren. Kulitnya sawo matang dan rambutnya yang hitam diatur sedemikian rupa dengan gel rambut agar berdiri. Bola matanya cokelat, badannya six pack dan terlihat macho walaupun dalam balutan seragam sekolah.
“oke, sekian rapat evaluasi hari ini. Terima kasih atas kesediaan waktu teman-teman untuk menjadi panitia pelaksana MOS kali ini” kata Aji menutup rapat kali itu. Dan semua anggota OSIS berhamburan keluar. Mea yang sudah siap untuk pulang bergabung dengan Lita dan Ita yang sedang bersiap untuk pulang.
“Ita, gue boleh nebeng mobil lo nggak buat pulang?” tanya Mea.
“Mey, balik bareng yuk!” ajak Aji yang mendekati Mea sebelum Ita memberikan jawaban tebengan yang tadi ditanyakan Mea.
“Eh, tapi kan rumah kamu nggak searah sama aku, Ji”
“Nggak apa-apa. Aku anterin pulang ya?”
“Ehm, ya udah deh!” kata Mea sambil malu-malu dan pergi mengikuti Aji dari belakang. Lita dan Ita tersenyum iseng atas kejadian yang barusan terjadi.
Kalau kayak gini sih ketahuan banget kalau Aji juga ada hati sama Mea. Untung deh, Mey, kayaknya cinta lo kali ini nggak bertepuk sebelah tangan, pikir Lita dan Ita yang memang keduanya tahu kalau Mea menyukai Aji.
“OYA, MEY!! NANTI MALEM GUE TELEPON YAA?? LO KAN BELOM CERITA!!” teriak Ita sebelum Mea menghilang dari pandangan.
“OKE!”

Mea dan Aji sampai di parkiran tempat Aji memarkir sepeda motornya. Mea hanya menunggu Aji mengeluarkan sepeda motornya. Dan kemudian dari belakang ada yang mengagetkan Mea.
“Aduh, Luqman. Ada apa sih kamu kok ngagetin kakak kayak gitu?! Nggak lucu tahu!”
“Hehe… maaf kak! Kakak ngapain disini? Nggak pulang?”
“Kamu sendiri ngapain disini?”
“hah? Kok malah balik nanya? Aku kesini lagi mau nyegat kak Aji. Dia janji kalau aku berpendirian kuat dan mau berusaha untuk dapatin tanda tangannya dia bakal kasih, jadi aku disini mau minta tanda tangannya dia!”
“Man, kamu kok terobsesi banget sih buat dapat tanda tangan! Memangnya apa untungnya coba!?” tanya Mea.
“Aku cuma pengen eksis sih! Hehehe… nggak ding! Habisan seru aja maintain tanda tangan! Buku tanda tanganku udah mulai penuh lho, kak! Yang belum tanda tangan tinggal kakak sama kak Aji aja yang anggota OSIS, semuanya ngasih tanda tangan dengan baiknya. Aku merasa ada kepuasan tersendiri aja kalau aku berhasil mendapatkan tanda tangan kakak-kakak OSIS yang susah, ada perasaan menantang!” katanya sambil menyodorkan buku tanda tangan miliknya. Memang setelah dilihat-lihat oleh Mea, hanya tinggal dirinya dan Aji lah yang belum menandatangani buku milik Luqman tersebut.
Gila nih anak! Psyco! Baru hari pertama aja udah hampir penuh tanda tanganya! Mungkin dia jual tampang kali! Jadi yang lainnya pada mau tanda tangan gara-gara mukanya cakep, sama kayak Lita tadi yang dengan mudah memberikan tanda tangannya.
“Mey, ayo naik!” panggil Aji menyadarkan Mea yang sedang melamun yang sekarang sudah duduk di sepeda motornya yang sedang berhenti tepat disamping Mea.
“Ah, eh, iya” sahut Mea dan ia naik ke boncengan dibelakang Aji.
“Lo ngapain masih disini?” tanya Aji pada Luqman.
“Halo kak Aji! Seperti janji kak Aji, aku mau minta tanda tangan kakak!” seru Luqman dengan riang.
“Ini udah waktunya pulang! Dan gue udah nggak pake jas OSIS yang menandakan gue nggak lagi bertugas jadi OSIS!”
“Aduh, ayo dong kak! Tinggal tanda tangan aja! Disini nih!” pintanya sambil menunjukkan kolom yang masih kosong. Disamping kolom itu sudah tertulis nama lengkap Aji beserta kelasnya.
“Minggir! Sekali nggak tetap nggak!”
“Oh, gitu, kayaknya kak Mea belum tahu nih tentang kak Risa, apa perlu aku kasih tahu ya?” kata Luqman dengan nada mengancam pada Aji.
“Ah, eh, ya udah sini aku tanda tanganin!” kata Aji gelagapan dan menarik buku tanda tangan Luqman beserta pulpennya. Setelah selesai menandatangani, Aji menyerahkan buku tanda tangan Luqman beserta pulpennya dengan kasar.
“Nih! Awas lo kalau ngomong!” seru Aji dan langsung tancap gas pergi meninggalkan Luqman yang tersenyum kegirangan.

Malam harinya Mea masih belum tertidur, padahal waktu telah menunjukkan pukul speuluh malam. Ia hanya tidur-tiduran di kamarnya sambil memikirkan kata-kata yang tadi diucapkan Luqman mengenai Risa. Biasanya kalau jam segini dia belum tidur, Mea masih mengerjakan tugas, namun hari ini dia belum masuk ke kelasnya, jadi dia belum tahu ada tugas apa yang diberikan gurunya. Lagipula selama tiga hari ini dia masih diberi kelonggaran untuk tidak masuk kelas. Jadi dia tidak mengkhawatirkan pelajaran di kelasnya.
Duh, gue jadi kepikiran sama yang tadi dibilangin sama Luqman. Risa itu siapa ya? Kok Aji gelagapan gitu ya? Emang ada hubungan apa ya antara Aji, Risa, dan Luqman. Duh, siapa sih Risa? Apa gue sms Aji aja ya? Tanya langsung siapa Risa itu. Tapi tadi pas Aji nurunin gue di depan rumah dia sih udah ngomong buat melupakan apa yang tadi diucapkan Luqman. Udah ah, gue sms aja!
Ji,kmu udah sampe rumah blm?
Aji membalasnya semenit kemudian
Udh dr tadi
Mea membalas lagi
Ji,aq blh tanya?
Aji membalas
apa?
Mea membalas
Aq msh kpikiran tntng Risa
Nggak lama kemudian ringtone sms masuk di HP Mea berbunyi
Udh lupain aja!
Setelah membacanya Mea membalas
Wlwpn kmu blng lupain aja aq msh tetep kepikiran.Mendingan aq tw lngsng dr kmu kn drpda aq tw dr Luqman?Nti dy ngomong yg mcm2 lg..
Balasan sms dari Aji baru berbunyi setelah lima belas menit lebih Mea menunggu balasan dari Aji dengan pengharapan yang berlebih
Ok,bsk ku ksh tw
Mea agak kecewa membaca sms dari Aji, dia kira akan mendapatkan penjelasan mengenai Risa malam ini. Tapi nggak apa-apa deh! Yang penting besok Aji pengen cerita sama gue! Ada satu lagi rahasia Aji yang gue tahu! Pikirnya. Dan Mea membalas
Bnr ya?
Untuk balasan yang kali ini Aji membalas dengan cepat
mendingan kmu tidur,udh mlm
Agak kecewa juga Mea membaca sms balasan dari Aji ini
Oke deh klo gt.Met mlm
Di balasnya dengan pasrah
Sweet dream,princess of my heart
Untuk balasan terakhir dari Aji ini membuat Mea tersenyum kegirangan karena Aji memanggilnya princess! Apakah benar Aji juga ada hati sama Mea seperti yang di duga oleh semua teman dekat Mea?


21 November 2008

Sekuntum Lili Air Part 1 (by GRC#3)

Orangtuaku menamaiku Lylia Anaderisa. Aku dinamai begitu karena ibuku menyukai bunga lili, bunga yang cantik. Ibuku bilang, aku harus seperti bunga lili yang anggun, berhati putih dan lembut. Bunga ini juga mempunyai kesan yang ramah, yang menandakan persahabatan sejati. Ah, itu terlalu berlebihan sebenarnya..


"Woi, Lyl! Bengong aja.." Tyo dan Saya datang memecahkan lamunanku. Mereka datang membawa bakwan, makanan kantin favoritku.


"Oh! Eh, iya, kalian.., Wah, makasih! Bakwannya buat gue, nih?" Sejenak lamunanku terhapus karena menyadari bakwan yang mereka bawa itu untukku. Sebelum dijawab, kuambil bakwan itu.


"Ngelamunin apalagi, sih, Lyl? Cowok impian lo itu? Ckck.. Udahlah, standar ga usah ketinggian. Ga ada yang sempurna, Lyl.." Saya mengajakku bicara, sambil menyeruput lemon sodanya dan menarik kursi di sebelahku.


"Itu kan menurut lo. Kalo gue sih yakin, ada cowok yang sama persis dengan kriteria gue.." Aku mengutarakan keyakinanku.


"Lyl, Lyl. Lo emang ga berubah dari kelas 6 dulu.." Tyo ikut menyahut, sambil menepuk-nepuk pundakku.


"Yah.. gitulah. Kalian sendiri udah tau gue kaya gimana.. Hehe.." jawabku sambil tersenyum simpul.


"Iya. Lo tuh kalo udah yakin sama sesuatu, apapun gangguannya lo ga bakal goyah.. Dasar lo.. Hehe.." Saya menimpali.


TENG! TERERENG! TERERENG! TERERERERERENG!


Bel tanda pulang sekolah di sekolahku, Magical High School, berbunyi. Lah, berarti harusnya tadi aku belajar dong? Haha.. Iya, aku cabut!



Di mana aku? Aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Padang rumput, ilalang, pegunungan, kelinci-kelinci putih berlarian, serta kabut dan awan menghiasi langit. Sunyi.. hanya ada suara tetesan air di danau berair bening, sejauh mataku memandang.

Aku pun melangkah ke sana, mengecek siapa tahu saja danau itu hanya fatamorgana. Seiring langkah-langkah kaki kecilku, danau itu semakin jelas. Permukaannya berkilauan, seakan mengundangku untuk bercermin di sana. Ternyata danau itu nyata!

Sesampainya di tepi danau, aku bercermin di permukaan air, layaknya Narcissus yang mengagumi wajahnya. Aku melihat, di tengah danau ada sekumpulan lili air. Ingin sekali aku mengambilnya, namun aku tak bisa berenang. Pada akhirnya aku hanya memandangi bunga-bunga itu sambil berharap ada seseorang yang mengambilkannnya untukku.

“Kamu menginginkan bunga ini, kan?” ucap seseorang di belakangku. Aku terkejut, dan spontan menoleh ke belakang. Seorang pria berwajah dingin menatapku tajam, tangannya menggenggam sekuntum lili yang sedari tadi kupandangi.

“Kamu siapa? Aku rasa dari tadi hanya ada aku di sini..” tanyaku bingung sambil menaikkan alis.

“Kamu salah. Sedari dulu aku sudah menunggumu.. dari jauh.” jawabnya sambil menyunggingkan senyum tipis.

“Sedari dulu? Bukankah kita baru bertemu kali ini? Aku bahkan tidak mengenalmu..” tanyaku lagi, meyakinkan siapa orang ini sebenarnya.

“Hei. Bukankah aku yang selama ini kau cari? Bukankah aku yang selama ini kau tunggu?” Ia memberikan lili itu kepadaku sambil tersenyum, namun kemudian ia mundur. Ia balik badan dan berjalan menjauhiku.

“Tunggu! Siapa kamu sebenarnya...?” teriakku.



“AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!” Aku berteriak lepas. Perlahan aku membuka mata. Loh. Kok di kamar? Tadi kan aku di padang rumput.. yang pemandangannya sangat indah. Mana dia? Mana? Mana pria itu? Ah.. Apa maksud perkataan terakhirnya?


“Lylia... Lylia... Ada telepon...” Kudengar suara mama memanggilku.


“Dari siapa, Ma?” kataku, masih mencari-cari sukma untuk berkumpul di ragaku.


“Gatau tuh, angkat aja..” kata Mama.


Akhirnya aku pun turun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Kuraih gagang telepon.


“Halo.. Hoaaahm..” ujarku sambil menutup mulut.


"Aku akan datang ke mimpimu lagi kalau kau mau." sahut suara di seberang sana.



“Hah? Hah? Apa maksudnya?” Mataku terbelalak dan tiba-tiba tidak mengantuk lagi.


“TUT..TUT..TUT..” Telepon dimatikan.


Ya ampun. Mungkinkah dia pria yang kumimpikan tadi malam? Ah, tak mungkin, itu semua hanya mimpi. Pasti telepon itu juga hanya mimpi. Aku masih mimpi, kan? Lagipula, tak mungkin dia tahu kalau dia ada di mimpiku.


Tapi..


POK!


Aku mencoba menampar pipiku, mengecek apa aku mimpi atau tidak sekarang. Sakit, kok! Berarti aku tidak mimpi.. Lalu, apakah itu teror?


Tenang, Lyl, tenang. Selama dia tidak mengganggumu, biarkan saja..



“Karena tak kau lihat.. Terkadang malaikat.. Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan..”


Aku mendengar seseorang menyanyikan lagu itu, seiring dengan permainan biola yang sangat elok. Suara itu terdengar dari kejauhan. Aku mencari-cari asal suara itu, dan aku pun melihat seorang pria, berjas hitam, dan memainkan biola, duduk di atas sebuah batu besar. Ia memunggungiku. Aku berjalan pelan menghampirinya, berjalan sepelan mungkin di atas rumput-rumput, karena aku tak mau dia tahu kalau ada aku. Tapi sebelum aku menegurnya, ia menoleh. Pria itu!


“Aku tahu kau datang, Lylia.” Ia berkata pelan, masih dengan ekspresi dingin dan misteriusnya.


“Ah. Darimana kau tahu namaku?” Aku menghampirinya pelan.


“Kau ini. Aku kan sudah memberitahumu kemarin. Sedari dulu aku memperhatikanmu. Perlu bukti?” Ia menantangku. Raut wajahnya berubah. Sedikit menakutkan memang, tapi aku memberanikan diri. Aku penasaran.


“Ya. Kalau kau memang punya.” jawabku.


“Aku tahu rumahmu, aku tahu nomor teleponmu. Rumahmu di Jl. Dandelion No. 11, Jakarta. Nomor teleponmu 7206538. Jangan bilang aku salah, karena kamu mengangkat teleponku kemarin." Ia masih tetap misterius.


"Ya, kau benar. Tapi, tahu darimana?" Aku bersikeras menanyakan.


"Sudahlah, kau tak perlu tahu. Bukankah pria misterius sepertiku ini idamanmu? Seperti Edward Cullen kesukaanmu itu?" Ya ampun.. sepertinya ia tahu semua tentangku!


"..." Aku diam.


"Ya, aku memang tahu semua tentang kamu. Aku bisa membaca pikiranmu, Lyl. Di saat sadar dan tidak."


Aku tersenyum.


"Kamu sama persis dengan apa yang selama ini kuinginkan.." Kalimat itu yang keluar dari bibirku.


"Ya, memang. Tetapi baru sekarang kau sadar. Hmm.. Tidakkah kau ingin tahu siapa namaku?" tanyanya, membuatku semakin tertantang.


"Tak usah kujawab pun kau tahu bukan, aku ingin tahu namamu atau tidak." jawabku, mencoba untuk tidak kalah menantang dengannya.


"Air."


Angin berhembus pelan di tengkukku.


"Air? Unik sekali namamu." jawabku singkat.


"Itu bukan namaku. Itu arti dari namaku."


"Lalu, siapa namamu? Tolonglah, jangan buat aku penasaran terus.." Aku sudah tidak sabar.


"Banyu."


ZAP!


Ia menghilang lagi.

20 November 2008

prologue

hey all! we are GarÇen! GarÇen means 'Gara-Gara Senam' but we use Ç, because if we are named 'Garsen', it doesn't sound good :D

We are getting closer after we were in the same aerobic group. The members are:

  • GRC#1 afifah a.k.a. ipeccch
  • GRC#2 bayu a.k.a. cabul
  • GRC#3 dita a.k.a. ditong/tongky/ditsoooo
  • GRC#4 gilang a.k.a. afro boy/san chai
  • GRC#5 happy a.k.a. hepeng
  • GRC#6 latifah a.k.a. lala/dongdong

Our purpose of making this blog is:

  • to make an estafet story
  • to express our ability in writing
  • to make us closer
  • etc

besides, we will accept stories from you all and post it too. But before it we will do a selection :)

That's all for our prologue. Hope our project will be success! :)

 
Blogger design by suckmylolly.com