18 December 2008

Part 1, KBbS&AJ

Teeenggg!! Bel sekolah berbunyi. Namun, bunyi itu segera disambut oleh bunyi lainnya, yang segera membuat murid-murid berseru serempak,"Yaah!!" Yup, hujan deras telah melanda kawasan SMA ini. Karena dari pagi sampai siang tadi cuaca begitu cerah, tidak ada yang menyangka bahwa hujan akan turun. Makanya, kebanyakan murid tidak membawa payung, dan yang membawa payung pun segera diserbu oleh teman-temannya untuk nebeng pulang bareng.

Aku juga termasuk dalam salah satu murid-murid yang segera berseru kecewa bagitu hujan turun. Hari ini ada les, lagi! Kalau aku nggak sampai di sana tepat waktu, pasti bakalan dihitung sebagai absen oleh guru lesku yang nyebelin itu. Dan kalau sudah 5 kali absen, aku terancam dikeluarkan dari tempat les yang sekarang

Aku menatap suram jendela kelas yang kabur karena tertutup rintik air. Sebersit ide segera menyelinap masuk ke otakku. Oh, iya! Hari ini kan dia lagi nggak ada kuliah! Minta jemput dia aja, deh!!

Kuambil handphoneku, lalu menelepon nomor yang sudah amat kukenal itu.

"Halo? Assalamualaikum! Eh, lo jemput gue, dong! Ujan nih, gue kan ada les ntar jam empat!" kataku pada seseorang di seberang sana.

"Waalaikumsalam! Yeee...emang gue supir lo apa! Seenaknya aja minta anter jemput kemana-mana!" sungutnya.

"Eh, sekali-kali kan nggak ada salahnya nyenengin adek sendiri! Udah, nggak usah cerewet, buruan dateng!" balasku tak kalah sengit.

" Huuh!! Siapa suruh nggak bawa payung! Ya udah deh, gue jemput, dengan syarat lo mau nraktir gue bakso di ujung gang !" Sial. Masa aku mesti nraktir dia, sih? Yah, tapi nggak apalah, daripada dimarahin sama guru geblek itu. "Ya udah deh, deal!"

Yah, sudahlah, akhirnya aku nungguin dia dateng, sambil baca-baca majalah. Dan kira-kira setengah jam kemudian, dia datang, sambil membawa payung. Dia masuk ke teras sekolahku, dan ketika melihatku, dia tersenyum manis dan memanggilku, "Kayla! Yuk, kita berangkat!"

Begitu melihatnya, aku langsung tercengang. Nggak biasanya dia bersikap semanis ini padaku. Tapi, begitu melihat teman-temanku yang masih ada di sekitar teras takjub menatapnya, aku langsung paham. Dasar! Cari kesempatan buat tebar pesona aja, sih!

Segera saja aku mendekatinya, dan begitu yakin tidak ada orang yang melihat, aku langsung mencubit lengannya keras.

"Aduh!! Sakit tau! Emang gue ada salah apa sih sama lo?" katanya sambil meringis dan melompat menghindar.

"Dasar lebay! Lo tuh ya, ngapain sih pake tp tp segala di sekolah gue?" kataku merengut.

"Lah, ada peraturannya gitu kalo di sekolah lo nggak boleh ada acara tp segala?" katanya bandel.

"Eh, asal lo tau aja ya, gue nggak rela kalo sampe ada temen gue yang jatuh cinta sama lo! Bisa menderita tuh hidupnya!" balasku.

Sejenak ia terdiam, lalu mengeluarkan kunci mobil dan membuka pintu mobil. Aku kaget juga dengan perubahan sikapnya ini. Aku jadi merasa bersalah, mungkin ada kata-kataku yang sedah menyakiti hatinya.

Setelah duduk di kursi penumpang di sebelahnya, aku segera berkata,"Eh, lo nggak papa? Maaf ya, kalo gue kelewatan", kataku lirih.

Tiba tiba saja ia menatapku. Hampir saja aku terkecoh oleh ekspresinya, kalau ujung-ujung bibirnya tidak bergetar menahan tawa, dan matanya tidak bersinar jahil. Langsung saja, aku menimpuk kepalanya dengan tas kecil yang kubawa dari tadi, isinya baju olahraga.

"Aduh! sakit, tau! Lagian emang nggak bau apa!" katanya sebal.

"Bau, bau dari hongkong! ini baju nggak gue pake, tau! Dasar lo nya aja yang lebay!" kataku lebih sebal lagi.

Dia tertawa, dan kali ini dia menyetir mobil dengan perlahan. Sesampainya di jalan raya, ia mulai mengoceh lagi, "Eh, tau nggak sih, tuduhan lo tadi pagi nggak bener!"

Aku bingung. "Hah? yang mana?"

"Yang lo bilang gue nggak punya cewek itu. Yah, seenggaknya tuduhan lo itu nggak bener sejak tiga jam yang lalu. Gue baru aja nembak seorang cewek, dan dia bilang dia mau jadi pacar gue!" katanya sumringah.

"Hah, serius lo? selamet, ya! Eh, ngomong-ngomong, lo nembak cewek dari mana? Oh iya, berarti gue nggak mesti nraktir lo, dong! Kan gue belom dapet pj nya!"

"Hahaha, ya udah deh, karena gue baik, kali ini gue yang nraktir elo!"

"Wah? Kesambet apaan, nih? Makasih, ya!" kataku tulus.

Lagi-lagi, ia menganggukkan kepalanya dan tersenyum menatapku. Aku sempat tersenyum balik juga padanya, kalau saja aku tidak melihat sesuatu di tengah jalan. Ya ampun! Ada anak kecil yang sedang mengejar bolanya yang menggelinding ke tengah jalan!

"Kak, awas!!!" kataku panik. Dia segera membanting setirnya begitu melihat anak itu. Mobil yang kami naiki pun terpental akibat perubahan arah yang tiba-tiba. Aku tidak dapat melihat apapun kecuali pusaran warna-warna karena putaran mobil yang begitu cepat. Setelah itu, semuanya hitam.

Pembukaan KBbS&AJ

“Wooi!! Cepetan dong! Lama banget seeh!!” Aku segera turun dari tangga, dan nyaris terpental begitu sampai di dasar, karena tiba-tiba saja kakakku sudah ada di depan tangga. Untung saja ia segera memegang lenganku, menahanku agar tidak jatuh.

Aku segera menegakkan kembali badanku, namun baru saja aku mau mengucapkan terimakasih, ia sudah berkata lagi,”Jadi cewek tuh lelet banget, ya! Mau sekolah aja persiapannya ribet banget, sih!” Aku merengut, dan membalasnya dengan berkata,”Iya,iya! Gue ngerti kok ucapan orang yang nggak pernah punya cewek”, balasku. Dia menatapku, lalu langsung membalikkan badan dan berkata, “Bodo ah! Cewek satu aja dah ribet banget, apalagi kalo lebih! Mau gue anterin, nggak? Kalo mau cepetan, dong!” Ia berjalan menuju mobilnya dan membuka pintu. Kemudian ia melemparkan sebuah kunci padaku. “Nih! Bukain pagernya ya!”. Aku menangkap kunci itu, dan membuka pagar rumah sambil berteriak pada Mama yang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kami, “Ma! Kita berangkat dulu, ya!” Mama hanya melambaikan tangan sambil berkata, “Hati-hati di jalan, ya!”. Aku segera menutup pagar dan masuk ke dalam mobil yang segera melaju kencang di atas aspal.

08 December 2008

You and You : Tiga

“Mea!” panggil Aji dari kejauhan saat Mea memapah Luqman yang hendak masuk ke dalam taksi yang sudah dipesan.

“Iya, Ji, kenapa?” tanya Mea. Luqman telah masuk ke dalam.

“Kamu mau kemana?”

“Nganterin Luqman pulang, kan dia kasihan kakinya keseleo”

“Aku kan udah bilang sama kamu, Mey, jangan deket-deket dia!” katanya marah dengan berbisik.

“Maaf kak Mea, ayo buruan kita pulang, argonya jalan terus nih!” potong Luqman dari dalam.

“udah dulu ya, Ji! Gue mau nganterin dia pulang dulu. Kalau ada perlu besok aja ngomongnya atau nggak nanti malam lo nelepon gue aja” jawab Mea ketus.

“Mey, tunggu!” katanya menarik lengan Mea sebelum ia masuk, namun tarikkan itu ditepis oleh Mea, Mea masuk dan menutup pintunya dengan keras. Aji hanya bisa diam.

Apa gue udah melakukan hal yang membuatnya marah ya? Tapi gue menolaknya buat kebaikan dia sendiri kan? Dari pada gue nganggep dia Risa. Kenapa Mea berubah? Apa dia nggak bisa terima? Oh, Tuhan… kenapa gue nggak bisa lepas dari bayang-bayang Risa? Ris, lo saking dendamnya sama gue ya? Semuanya akan lebih mudah kalau Mea nggak mirip kamu, Ris. Apa yang harus gue lakuin? Kalau gue terima, gue egois, nggak mikirin perasaan Mea, tapi kalau gue tolak kayak gini, hati gue yang resah melihatnya dekat dengan cowok lain, terlebih-lebih Luqman. Mau ngelarang juga, dia bukan siapa-siapa gue! Ah… gue bingung!

“Ji, lo kenapa sih? Kayak orang gila deh! Bengong aja! Ada masalah apa sih? Kok tadi gue lihat Mea balik bareng Luqman? Biasanya kan bareng lo?” tanya seseorang yang ada di sampingku.

“Eh, lo, Ta. Dari kapan lo ada di samping gue?”

“dari tadi sehabis Mea pergi naik taksi. Memang ada masalah apa sih? Kok tadi kayaknya Mea kasar banget sama elo?”

“Oh, iya, lo kan sahabatnya Mea, lo tahu kalau dia suka sama gue?”

“ya iyalah… Emang ada masalah apa??”

“gue bakalan cerita kalau lo mau janji sama gue buat bantuin gue baikan sama Mea ya?” tanya Aji saat itu juga saat ide gila itu muncul di kepalanya.

“Emang lo berantem sama Mea?”

“Nggak berantem sih, gue cuma nolak dia… tapi menurut lo etis nggak sih kalau gue yang udah nolak dia terus menuntut dia untuk nggak dekat dengan cowok lain, terutama Luqman”

“Oh, jadi Mea udah lo tolak, ya pantes aja dia jadi kasar sama lo! Dia tuh masih kayak anak kecil kali! Jadi kalau lo tolak, dia bakalan mendingin malah cenderung menjauh dari lo! Lo juga seharusnya nggak boleh ngelarang dia dekat sama cowok lain lah! Gue juga bakalan marah kali kalau digituin! Emang kenapa sih lo nolak dia? Apa coba kurangnya dia? Lo sama dia kan udah klop banget dari kelas satu. Yang satu manis, yang satu ganteng”

“Ada lah alesannya tersendiri! Menurut lo mendingan gue jalan sama dia dengan perasaan ragu-ragu kalau gitu?”

“Ya nggak gitu juga sih. Emang kenapa sih? Gue janji deh nggak bakalan bilang siapa-siapa!”

“gue masih belum yakin sama perasaan gue ke dia. Duh, gue bingung banget nih! Apa yang harus gue lakuin sih?”

“gue juga nggak tahu sih, Ji. Gue nggak pernah mangalami yang seperti ini. Yah… saran gue sih lo ikutin aja! Selain itu, yang musti lo inget, awas lo kalau nyampe bikin Mea nangis! Lo berhadapan ama gue! Gue nggak bisa menyarankan yang lebih spesifik seperti seharusnya lo terima dia atau lo tolak dia. Kalau perasaan lo bilang nggak, ya nggak usah lah! Yang jelas kalau sekarang-sekarang gue saranin lo jangan dekat-dekat aja dulu sama Mea, perasaan cinta dia ke lo yang udah dipupuk selama ini, nggak bisa dengan mudah begitu saja dilupakan dalam satu hari, jadi lo harus beri waktu ke dia untuk melupakan rasa cinta itu. Maaf, Ji gue nggak bisa bantu lo. Gue netral!”

“tapi kalau gue nggak mau dia melupakan rasa cintanya ke gue gimana? Seperti yang lo tahu hati gue masih ragu. Dan gue maunya kalau hati gue udah tahu apa yang gue inginkan, dia selalu ada buat gue”

“Kalau kayak gitu mah elonya yang egois! Biarin aja dia melupakan lukanya yang telah lo buat. Biarkan lukanya menutup, kalau emang lo dan dia jodoh, walaupun dia udah melupakan cintanya buat lo, ujung-ujungnya dia bakal jatuh cinta lagi sama lo! Oya, udah dulu ya? Gue udah dijemput tuh! Bye!”

“Bye!”

“Oya, kalau ada perkembangan certain ke gue ya? Soalnya Mea selalu menutup diri sih!”

“Iya, thanks!”

“Tadi kenapa kok kasar banget sama Aji?” tanya Luqman memecah keheningan di dalam taksi.

“ah, eh, rumah lo dimana?”

“Tadi gue udah bilang ama supirnya alamat rumah gue, nggak usah dikhawatirin, yang penting, sekarang lo belum jawab pertanyaan gue, tadi kenapa kasar banget sama Aji? Bukannya lo suka sama dia?”

“Udah lah nggak usah diomongin!”

“Oh, ya udah, gue juga nggak maksa sih, tapi, kalau lo mau cerita ama gue tentang Aji atau nanya-nanya, lo bisa calling gue”

“Ya udah, itu gampang lha…”

Tak terasa perlahan-lahan taksi yang ditumpangi Luqman dan Mea berhenti di sebuah rumah besar dengan halaman yang hijau dan asri dengan pagar putih yang kecil, dan dikejauhan terlihat sebuah rumah kecil putih yang terlihat nyaman.

“Hah? Jadi ini rumah lo?” tanya Mea saat mereka telah turun dari taksi.

“Iya”

“Jadi, rumah ini, rumah lo?” mengulang pertanyaannya tidak percaya.

“Iya, eh, nggak ding! Ini rumah bokap-nyokap gue, gue cuma numpang tinggal sama mereka!”

“Ya itu mah sama aja rumah lo!”

“Ya beda dong, udah lah emang kenapa sih? Mau mampir?” tanya Luqman sembari berjalan menyusuri jalanan beraspal yang mengarah kerumah kecil putih tersebut.

“Mau banget! Lo tahu, rumah gue juga di kompleks perumahan ini lho!”

“Nggak. Nggak tau, baru dikasih tau sih barusan ama lo!”

“Setiap berangkat sekolah atau pulang sekolah, gue selalu nyempet-nyempetin lewat depan rumah ini cuma buat ngelihat rumah ini. Gue suka banget sama rumah lo ini, kelihatan asri! Adem aja gitu kalau melihatnya!”

“Oh, yaudah!” jawab Luqman singkat.

“Ikh! Kok responnya cuma gitu doang sih! Ngomong apa kek! Ngomong ‘lo boleh kok main-main kesini’!” tandas Mea marah.

“Jadi lo berharap gue nyuruh lo main ke rumah gue terus gitu?”

“Ya nggak terus-terusan sih! Ya seenggaknya basa-basi kek! Gue tuh penasaran tahu pengen jalan-jalan di taman ini!”

“Kapan-kapan aja ya jalan-jalannya? Kalau kaki gue udah sembuh. Jadi, biar gue bisa nemenin lo jalan-jalan di taman gue ini”

“Janji ya?” tanya Mea sambil menyodorkan kelingking kanannya.

“Apaan nih maksudnya?”

“Janji kelingking. Masa nggak tahu sih!?”

“Oh, iya deh!” sahut Luqman dan ia menambatkan kelingkingnya di kelingking Mea. Berjanji kelingking.

“Hmph…hahahahahahahahahaha” tawa Luqman setelah ia melepaskan kelingking kanannya dari Mea.

“Kok malah ketawa sih!!??” tanya Mea keki.

“gue ngerasa lo tuh lucu aja! Terkhir gue berjanji jari kelingking tuh pas gue kelas 2 SD tahu! Gue nggak nyangka nyampe sekarang masih ada yang beginian!”

“hih… sebel gue!! Nggak usah ngetawain kek! Udah deh gue pulang aja!” seru Mea keki.

“sori… sori… jangan pulang ya, Mey? Please… gue kan belum berterimakasih sama lo! Gue juga belum menyuguhkan teh buat lo!”

“Hah? Ngapain menyuguhkan teh buat gue?”

“it’s tradition. In my family, you must give someone who was help you, for pay your owe to her or his. Mungkin ini nggak adil, tapi seenggaknya seperti itu, lagipula lo kan juga tamu, dan tamu harus disuguhi teh kalau bertamu”

"Kok teh sih? Apa nggak ada yang lain? Orange juice gitu?"

"Keluarga gue menganut sistem tehisme! Jadi di rumah adanya teh yang biasanya disediain. Kalau mau yang lain musti beli dulu. Dan karena kaki gue lagi sakit, masih mending lo gue kasih teh!"

“Oh, yaudah deh terserah lo aja!”

Pintu rumah Luqman sangat bergaya vintage, warnanya putih dengan ukiran-ukiran jawa. Di samping kiri dan kanannya terdapat sepasang tanaman rambat yang cantik dengan beberapa bunga-bunga yang indah berwarna merah, kuning, oranye, dan pink.

“Yuk, masuk!” panggil Luqman. Aku pun masuk sesuai ajakkan Luqman. Di dalamnya, sangat berbeda dengan tampak depan rumahnya yang bergaya eropa, semuanya khas jawa, ukiran-ukiran di dinding, sofanya yang terbuat dari kayu jati yang sepasang dengan meja dan buffetnya, diatas meja ada beberapa camilan kue-kue kering di dalam stoples yang disediakan dengan gambar-gambar batik, dan lantainya kayu jati yang hangat.

“Duduk dulu, lo mau minum apa?”

“Lho? Tadi katanya mau bikinin gue teh?”

“Oh, maksud gue tuh kalau lo mau teh, mau teh apa? kan ada earl grey, teh hijau, teh hitam, teh oolong, teh poci, teh susi, teh nani, dan teh-teh lainnya” jawabnya dengan lawakkan yang sangat jayus.

“Hahaha” tawa Mea garing.

“Udahlah apa aja yang menurut lo paling maknyus!” sambungnya.

“Oh, terus mau pake es atau panas?” tanya Luqman di pintu ruang tamu sebelum meninggalkan Mea menuju dapur untuk membuat pesanannya.

“Berisik banget sih! Udah buruan! Pake es deh! Udah haus nih!”

“Hehehe maaf… sebentar ya nona manis..” dan detik selanjutnya Luqman sudah menghilang dari pandangan.

Gila nih Luqman! Rumahnya benar-benar rumah impian gue! Rumahnya Aji kayak gimana ya? Calon rumah gue! Hush! Nggak boleh berharap! Lupain Aji! Cari yang lain! Pikirnya menggelengkan kepalanya sendiri.

“Kak Risa?!” panggil seorang gadis dengan kaget pada Mea, mengembalikannya ke dunia nyata dari lamunannya.

“Eh, ah, sori! Kamu siapa ya?” tanya gadis itu yang berumur sekitar 13 atau 14 tahunan yang menatap Mea dengan pandangan aneh.

Gadis itu mengenakan pakaian tennisnya dengan raket tennis yang di sandangnya di dalam tas tennisnya. Tangan kanannya membawa sebuah bungkusan hitam yang berembun. Rambutnya di kuncir ponytail. Wajahnya mirip sekali dengan Luqman, seperti Luqman memakai wig hitam berkilau. Luqman versi cewek.

“Eh, aku? Halo, aku Mea. Temannya Luqman” jawab Mea dengan mengulurkan tangan kanannya pada gadis itu untuk berkenalan.

“Oh, halo, aku Isha, adiknya Kak Luqman. Kakak mau ketemu kak Luqman? Tapi kayaknya kak Luqmannya belum pulang deh kak!” serunya sotoy.

“Apanya yang belum pulang!? Dia bareng gue tauk!” seru Luqman ikut-ikutan. Luqman masuk ke ruang tamu dengan dua gelas es teh di tangannya.

“Eh, kakak…”

“Udah sana gih masuk en mandi! Bau tauk! Nanti bilangin mama nih lo gangguin tamu gue!”

“Iya-iya” jawab Isha dengan menurut dan ia pun naik ke atas tangga yang ada disamping pintu yang tadi menuju ke dapur.

“Diminum, Mey”

“Iya” jawab Mea dan ia menyeruput esnya. Segar…

“Hmm… Man, nggak apa-apa kali, gue nggak merasa terganggu kalau ada Isha”

“Iya, lo kagak keganggu, tapi gue merasa terganggu tauk! Dia tuh biang gossip di rumah ini!”

“emang lo berapa bersaudara?”

“Banyak! Ada sodara dari nyokap, ada sodara dari bokap”

“Bukan… maksud gue yang tinggal disini! Yang sodara kandung lo!”

“Oh, Ada bokap, nyokap, gue, adek gue tuh si Isha yang esempe, ama kakak perempuan gue plus suaminya yang masih ngikut ama bonyok gue”

“oh, kok sekarang sepi ya rumah lo ini??”

“Kalau sore-sore gini iya. Pokoknya dari jam 8 pagi sampe jam 7 malam nanti yang ada palingan cuma gue ama Isha, ama pembantu kalau itu juga diitung. Bonyok gue kerja, kakak perempuan gue, kak Anna, ngajar, kakak ipar gue kak Faridz juga kerja.”

“Rame banget ya keluarga lo”

“Iya. Apa lagi kalau ada arisan keluarga, kan kebetulan bonyok gue emang anak pertama dua-duanya, jadi rumah gue dijadiin pangkalan keluarga mulu kalau ada acara. Makanya bokap nyari rumah yang ada tamannya yang gede, selain buat nyenengin nyokap yang suka berkebun, kalau ada acara kan tinggal gelar tenda tuh di taman. Kagak mahal-mahal!”

“Isha kenal sama Risa ya? Kok tadi manggil gue Risa??”

“Iya. Risa itu sudah seperti saudara kembarnya Isha, kemana-mana maunya berdua mulu. Makanya namanya Isha, katanya mirip-miripin sama namanya Risa, kan Isha-Risa tuh!”

“Hahahaha… ada-ada aja… emang nama aslinya siapa?”

“Itu nama aslinya kali, tapi dulu sebelum ketemu Risa, nama panggilannya bukan Isha, tapi Dee. Nama panjangnya Aulia Dennisha Putri.”

“Hahaha… bener juga ya? Eh, gue pulang dulu ya?? Takut kesorean!”

“Oh, yasu. Lo pulang naik apa? Perlu gue anterin nggak?”

“Nggak, nggak usah, kan tadi gue bilang rumah gue deket dari sini.”

“Thanks ya udah nganterin aku, KAK MEA!!” seru Luqman saat Aku melangkah pergi menuju pagarnya yang putih.

Esok paginya…

“Mey, bisa ngomong bentar nggak?” tanya Aji saat aku dan dua orang temanku yang lain, Lita dan Ita sedang tertawa cekikikan di kantin. Hari ini adalah hari MOS terakhir, besok sudah masuk ke rutinitas yang seperti biasanya.

Aku menanyakan apa aku harus ikut Aji untuk ngomong empat mata dengan kerlingan pada teman-temanku yang dibalas dengan anggukan. Dan aku mengangguk pada Aji dan mengikuti kemana Aji pergi. Aji mengajakku ke belakang sekolah yang sepi yang biasanya dijadikan tempat nongkrong anak-anak yang membolos pelajaran.

“Kenapa, Ji?” tanyaku berusaha sedatar mungkin.

“Eh, emm masalah yang kemarin, aku mau minta maaf”

“buat?”

“Iya, aku minta maaf karena aku sudah menolakmu. Saat itu aku nggak bisa berpikir jernih. Aku seneng banget waktu kamu bilang kamu berharap lebih dari aku. Berarti aku nggak bertepuk sebelah tangan sama kamu. Aku nggak bisa terima kamu karena kamu mirip sama Risa, Mey! Kamu udah tahu kan pastinya dari Luqman. Tapi aku juga suka sama kamu, aku hanya masih belum yakin akan perasaanku”

“Terus intinya?”

“Intinya, aku berharap kamu mau menunggu hingga aku yakin akan perasaanku padamu, aku nggak mau kamu melupakan rasa cintamu padaku. Bisa nggak harapanku itu terkabul?”

“Kita lihat aja nanti. Aku nggak bisa menjanjikan perasaanku ini akan selalu ada untuk mu. Hidup ini selalu berputar, bisa aja suatu hari nanti aku menemukan the another Mr. Right. Rasa cinta ini mungkin sampai hari ini masih ada sama kamu, tapi siapa yang bisa menebak hari esok? Kalau kamu memaksakan agar aku tetap mencintaimu dan menunggumu yakin akan perasaanmu, kamu sangat egois dan aku nggak mau penantianku nanti hasilnya sia-sia belaka. Siapa yang bisa menebak kapan kamu akan yakin dengan perasaanmu? Bisa aja 5 tahun lagi? 10 tahun lagi? Atau 50 tahun lagi? Kalau misalnya benar sampai 50 tahun lagi kamu baru yakin akan perasaanmu padaku, saat itu sudah bagaimana aku? Tua dan keriput! Itupun kalau misalkan umurku bisa sampai segitu. Aku hidup bukan hanya untuk kamu. Aku hidup untuk tuhanku, untuk diriku sendiri, dan untuk orang-orang disekitarku yang menyanyangiku. Aku nggak bisa menjanjikan hal itu, maaf. Toh kalaupun kita memang berjodoh, suatu hari nanti kita akan dipersatukan. Oh iya, jangan lupakan juga, ikan yang telah kamu lepaskan adalah ikan yang besar yang nantinya akan kamu sesali tidak menangkapnya. Permisi, aku harus masuk ke kelas” jawabku bersamaan dengan berbunyinya bel masuk dan aku meninggalkan Aji sendirian.

“Halo, kak Mea!” seru seseorang saat aku sedang bengong di sela ISHOMA. Aku sedang duduk termenung sendirian di kantin sekolah karena Lita dan Ita, partner in crime ku sedang menunaikan salat Dzuhur.

“Oh, lo, Man. Kenapa?”

“Nggak salat?”

“Biasa, cewek kalau tiap bulan nggak salat. Lo sendiri?”

“udah. Lo nggak makan?”

“udah kenyang”

“Ya udah deh, gue boleh makan disini?” tanyanya. Ku lihat ia membawa semangkuk soto ayam dan segelas es jeruk yang terlihat sangat menyegarkan.

“Boleh. Nggak ada yang ngelarang”

“Kali aja ketua lo yang cakep itu nantinya ngomel-ngomel lagi”

“Nggak usah pikirin Aji deh!”

“oh, ya udah. Eh, tadi pas istirahat pertama, gue ngelihat lo ngomong empat mata ama Aji di belakang sekolah, ngomongin apaan?”

“Lo nguping ya?”

“tadinya sih mau nguping, cuman ketahuan ama kak Lita dan kak Ita. Jadinya gue pergi aja en jadi malah mereka yang nguping”

“Dasar tuh anak berdua! Awas aja nanti kalau ketemu gue jadiin dendeng!”

“Hahhahhaa…. Bahaya tuh! Terus lo ngomongin apa ama Aji?”

“Hffhhh… emang penting yang gue cerita ama lo?!” seru Mea dan langsung beranjak dari kantin sambil berlari.

“Duluan ya?! Bye!” teriaknya.

Mea… mea… kenapa sih lo mesti mendem perasaan lo sendiri? Aji emang cowok brengsek yang udah bikin dua orang wanita yang mirip jadi sakit hati… Andai lo tahu, Ji, apa yang terjadi sama Risa dulu…

Malam harinya di kamar Aji…
Mea…
Kenapa nama itu selalu ada dipikiranku?
Aku takut untuk dekat denganmu…
Tetapi aku tak bisa jauh darimu…
Melihatmu bersama pria lain, mambuat monster dalam diriku meraung-raung...
Kenapa kamu mirip sekali dengannya…
Semuanya mungkin akan jauh lebih mudah jika kalian berbeda…

Jika cinta biarkanlah aku jadi cinta…
Jika sayang biarkanlah aku jadi sayang…
Hatiku ini miliknya, tuhan tolong…
Jangan jodohkan, dia dengan yang lain…

“Mey, Pak Har katanya nggak bisa nganterin kamu lagi” kata mama pada malam harinya saat aku sedang tidur-tiduran di rumah sambil membaca novel favoritku dan mendengarkan ipodku yang berisi lagu-lagu favoritku.

“Hah?! Kenapa, Ma?” tanyaku kaget beranjak dari posisi tiduranku dan melepas earphone ipodku.

“Katanya udah nggak mau lagi, udah nggak kuat buat narik ojek! Maklum udah tua!”

“Yah.. terus besok aku gimana, Ma?”

“Naik angkot dulu aja ya? Nggak apa-apa kan??”

“Yah.. Mama…”

“Cuma besok aja kok! Nanti mama carikan penggantinya besok!”

“Bener ya cuma besok aja?”

“Iya… nanti mama tambahkan uang jajanmu besok”

“Okeh deh, Ma!”

Halo, Mey, lagi apa?


Lagi ngapalin biologi! knp, Man?


Oh, gue ganggu?


Gak. Knp?


Lagi pengen sms lo aja!


Oh.. yasu, mau ngomongin apa?


Ada kabar?

Kabar? palingan cuma kebanyakan tugas! Nothing so important!


Oke-oke. Ada yg lain?


Ngapain sih nanya-nanya mulu?


Nggak suka ya?


Iya!


Maaf


Hehehe… bercanda! Kalo mau kabar, gue lagi bt ama tukang ojek yang biasanya langganan nganterin gue! Jadilah besok gue ngangkot!


Knp?


Dia nggak mau ngojekin gue lagi!


Oh, ada kabar baru tentang Aji?


Hfff... ngapain sih ngomongin dia! Bikin gue bete aja!


Maaf


Udah ya, gue ngantuk!


Met tidur!


Iya! Lo juga!

“Ma, aku berangkat dulu ya?”

“Hati-hati di jalan ya, Nak!”

“Iya, ma!”

Hfff… aku dengan berat hati melangkahkan kakiku keluar rumah untuk berangkat sekolah. Aku paling nggak biasa naik angkot untuk berangkat ke sekolah. Alasannya simpel, males hanya bisa duduk didalam mobil yang penuh dan pengap sedangkan diluar macet dan sebentar lagi bel masuk di sekolah berbunyi. Makanya, aku lebih suka untuk naik sepeda motor untuk berangkat sekolah, lebih cepat. Maunya sih bawa motor sendiri, tapi mama dan papa sangat overprotektif sama motornya, perlu ku ulang lagi, MOTORnya! Orang tua apaan tuh! Bukannya khawatir sama anaknya, eh, malah sama motornya! Takut kalau kecelakaan motornya rusaklah, takut aku nggak bisa ngerawat motor terus jadi rusak mesin motornya, takut kalau aku dipalakin anak nakal terus motornya diambil lha, takut aku melanggar peraturan lalu lintas terus motornya di sita lha sama polisi, takut STNKnya diambil lha, hhhfff... dasar orang tua!

Aku keluar dari gerbang rumah dan menutupnya kembali dengan keadaan yang tidak terkunci, bukannya nggak peduli, tapi aku percaya sama keamanan di kompleks rumahku.

“Pagi!”

“Astagfirullah! Allahu laa ilaha ila huwal hayyul qayyum!”

“Heh! Enak aja! Emangnya gue setan?!”

“hehehe... maap..maap.. habisan lo ngagetin gue ajah!”

“Iya deh… bareng yuk!” ajak Luqman dari atas motornya.

“Naik itu?!” tanyaku aneh menunjuk pada motornya. Motornya adalah motor Honda Scorpion yang pastinya nggak pewe banget kalau ngebonceng dengan pakai rok panjang.

“Iya lah! Naik apa lagi? Udah mending gue jemput!”

“Bentar ya? Gue ke dalam dulu!” kataku dan langsung ngibrit ke dalam rumah.


“Maaf lama!” kataku terengah-engah saat tiba lagi di hadapan Luqman.

“Iya! Lama banget! Ngapain sih?”

“tada! Lihat deh!” kataku sambil mengangkat rokku tinggi-tinggi.

“Woi!! Aurat!!” teriak Luqman sambil menutup matanya sendiri.

“Yee… lihat dulu dong!!”

“Nggak! Gue masih suci!!”

“Siapa yang mau kasih lihat badan gue ama lo?! Dasar mesum! Gue cuma mau kasih lihat kalau gue pakai legging buat mengakali naik ke motor lo!”

“Eh, iya..iya...” katanya membuka matanya dan melihatku.

Aku ngengir jahil. Dia tersenyum manis. Kami tertawa terbahak-bahak bersama.

“Ayuk lha!!! Naik! Nanti telat!” katanya.

“Oke” aku pun naik dengan mudah karena sudah memakai legging.

“Cie… yang bareng sama Luqman….” goda Lita saat aku sampai di kelasku. Aku mengacuhkannya dan langsung mencari tempat dudukku di samping Ita. Lita mengikutiku dari belakang.

“Yaahh... kok diam aja? Cerita dong!” rayu Lita.

“Eh, ada berita apaan?” tanya Ita yang sedang membaca komik langsung mengalihkan padangannya ke Lita.

“Hehehe..... gue nggak berani ngomong! Takut nona ini marah!” jawab Lita. Aku hanya merengut memandang mereka berdua yang tersenyum-senyum najis.

“Apaan sih? Nggak ada yang lebih!” jawabku akhirnya.

“Bohong! Tadi gue lihat lo datang bareng Luqman!!” seru Lita.

“Ya terus kenapa?” tanyaku.

“Ya pasti ada sesuatu!” jawa Ita.

“Eh, itu An Ancient Love Story yang baru ya? Pinjem dong!” seruku menunjuk komik yang dipegang Ita untuk mengalihkan pembicaraan.

“Udah nggak usah mengalihkan pembicaraan!”

“Iya-iya! Tadi pagi memang gue bareng Luqman!”

“Terus?”

“Terus apaan lagi? Ya memang hanya itu aja!”

“Masa? Lo nggak merasa berdebar-debar?”

“Ya iyalah jantung gue berdebar!”

“Ciee...” seru mereka serempak.

“Ya kalau nggak berdebar berarti gue mati dong! Nggak pernah belajar biologi ya bu? Dua tahun ini ngapain aja??” sambungku.

“Nggak-nggak-nggak, Mey, lo lebay-lo lebay!” jawab Lita.

“hehehe…”

“Ayo dong, Mey, cerita…”

“Udah cuma itu ajah memang mau apa lagi!?”

“Yah.. Mea nggak asik nih!!” seru mereka kompak.

“Cie… yang bareng sama Luqman….” goda Lita pada Mea yang baru tiba di kelas.
Itulah kalimat yang mengagetkanku pagi ini. Hah? Mea bareng sama Luqman? Kenapa? Aku berusaha untuk mencuri dengar pembicaraan Mea, Lita, dan Ita yang kebetulan duduk di belakangku. Namun apa boleh buat, mereka membicarakannya dengan berbisik, maka aku tidak dapat mendengarnya.

Monster dalam diriku meraung-raung terbakar api kecemburuan. Ingin rasanya aku berteriak, memaki, dan membanting barang-barang di sekitarku. Apakah secepat itu Mea melupakan rasa cintanya padaku? Apa yang membuat Mea dapat melupakanku? Apakah ini balasan dari Tuhan atas semua yang telah kulakukan? Inikah balasan atas kesalahanku menolak Mea?

Ya, aku hanyalah orang nista yang penuh dengan dosa dan api cemburu. Kesalahanku pada Risa tidak dapat semudah itu termaafkan, lalu aku menambah daftar kesalahanku lagi dengan menolak Mea. Apakah tidak ada balasan lainnya dari Tuhan yang lebih mudah dari hal ini? Kenapa selalu Luqman yang dapat menarik perhatian kedua wanita yang bertengger di singgasana hatiku? Apakah yang dimilikinya sementara aku tidak memiliki?

Laporan pertanggung jawaban yang diberikan Ama yang harus kuperiksa sedari tadi hanya kupandang dengan tatapan yang kosong. Ketua OSIS macam apa aku ini?! Aku tidak dapat berlaku professional dengan tidak melibatkan urusan pribadi dengan urusan OSIS. Padahal aku selalu berpesan pada rekan-rekan OSIS ku pada setiap akhir rapat untuk tidak melibatkan urusan pribadi dalam organisasi. Kini kalimat itu bagaikan harimau yang menerkamku sendiri. Hhhhffffff…….

Jarkom: bwt smw anggota OSIS, pulang sklh nanti ada rapat dngn pokok pembicaraan lpj yg akan dipertanggungjawabkan dihadapan mpk sabtu nanti

Ting tung ting tung…

“Mea!!!” panggil seseorang saat aku sedang berlari menuju ruang kesekretariatan OSIS.

“Kenapa, Luqman??” jawabku menghentikan langkah dan berbalik menghadapnya.

“Pulang bareng yuk!”

“Duh, maaf, gue masih ada rapat! Baru selesai nanti sore, lo balik duluan aja!”

“Oh, ya udah! Good luck ya dengan rapatnya!” serunya dan dia langsung berlari menghilang di tikungan menuju kantin sekolah.

“demikianlah rapat kali ini kita tutup, berdoa dipersilahkan. Berdoa selesai” kata Aji menutup rapat yang berlangsung hampir 3 jam ini.

Saat ini waktu menunjukan pukul 17.30. Semua anggota OSIS dengan tas mereka masing-masing berhamburan keluar dari ruangan kesekretariatan OSIS. Namun dihadapan mereka menyambutlah awan kelabu dengan halilintar menyambar-nyambar, hujan belum turun, namun cuaca menunjukkan kalau akan turun hujan yang sangat deras.

“Duh, Lit, lo balik gimana?” tanyaku pada Lita.

“Gue nungguin cowok gue jemput!” jawabnya singkat, pada detik berikutnya dia pergi setelah membaca sms yang masuk di ponselnya.

“Kalau elo, Ta?” tanyaku pada Ita.

“Lo mau nebeng? Duh maaf, mobil gue lagi di bengkel, jadi mungkin nanti supir gue jemput pakai motor”

“Duh.. gimana nih? Masa gue naik angkot?!”

“Mey!” panggil seseorang.

“Eh, kenapa, Ji?”

“Kebetulan hari ini gue bawa mobil, soalnya tadi pagi di rumah gue hujan, gue anterin lo pulang ya?”

“Eh, ah, nggak usah, Ji, gue… gue… gue…”

“Dia bareng gue, Ji!” potong Luqman menyelamatkanku.

“Bareng lo?” tanya Aji memastikan.

“I.. iya! Gue bareng Luqman! Duluan ya, Ji!” kataku dan langsung menarik lengan Luqman menjauh dari Aji.

“Makasih ya tadi udah nyelametin gue! Gue nggak tahu harus bagaimana bersikap kepada Aji kalau nantinya memang gue satu mobil sama dia!” kataku memulai pembicaraan saat Luqman mengeluarkan Honda Scorpionnya dari tempat parkir.

“Nggak apa kok!” jawabnya singkat.

“Lo dari tadi belum pulang? Memang ada acara apaan?”

“Nggak ada apa-apa, gue nungguin lo”

“Makasih ya?” kataku, dan Luqman hanya mengangguk dibalik helm hitamnya. Aku naik ke kursi penumpang di belakang Luqman dan memegang pinggang Luqman erat-erat saat Luqman menancapkan gas.

Shit!! Kenapa gue kalah lagi dari Luqman!? Sikapnya barusan fuck banget! Barusan Luqman dan Mea lewat di depanku yang sedang mengeluarkan mobilku di tempat parkir. Apa-apaan dia?! Kalau memang dia sayang sama Mea, harusnya Mea yang menggunakan helmnya! Kan bahaya sekali tidak memakai helm! Selain itu seharusnya kalau naik motor, Mea mengenakan jaket kulit yang dipakai Luqman! Bukannya sweater merah mudanya yang tipis itu! Dasar Luqman! Awas aja kalau Mea sampai sakit!

Aku mengemudikan mobilku keluar dari lingkungan sekolah, namun saat mobilku berada di depan kompleks sekolah, hujan turun mengguyur Jakarta dengan derasnya, angin bertiup sangat kencang dan suara air-air hujan berjatuhan dengan deras di atas ford escape kesayanganku bak bebatuan yang dijatuhkan secara membabi buta. Untung hari ini aku membawa mobil. Apa Mea baik-baik saja ya? Apa Luqman membawa mantel hujan untuknya?

Jawaban atas pertanyaan gue terjawab saat mobil ini melewati salah satu halte bus yang ada di dekat sekolah. Bersama dengan pengendara motor dan pejalan kaki lainnya, Mea dan Luqman berlindung dari hujan di bawah naungan atap halte bus, walau begitu, tidak cukupnya tempat untuk berbagi dengan orang yang berteduh disana membuat badan mereka ikut basah kuyup walaupun mereka berada dibawah naungan atap halte bus. Perlahan ku tepikan mobilku ini ke halte bus, dan kubuka jendela di sisi kiri untuk berbicara dengan Mea.

“Mey, ayo naik!” teriakku. Mea hanya menggeleng.

“Ayo, Mey!” bujukku. Dia tetap menggeleng.

“Ji, kalau dia nggak mau jangan maksa dong! Udah jalan sana! Macet tuh!” kata Luqman membela Mea saat aku membujuk untuk ketiga kalinya.

“Lo harusnya nggak ngomong gitu! Lo nggak kasihan apa sama Mea yang basah kuyup kedinginan kayak gitu?! Lo harusnya bantuin gue buat ngebujuk Mea, kan kalau gue yang anterin, dia nggak bakalan kehujanan! Di dalam mobil gue cukup hangat dan disini ada handuk!”

Hening sesaat. Tak ada yang berbicara, yang terdengar hanyalah suara hujan yang semakin deras dan bunyi klakson kendaraan bermotor yang berada di belakang mobilku.

“Mey, udah sana gih lo ikut Aji! Apa yang dibilang Aji bener, Mey. Lo nggak usah menghawatirkan gue, gue bisa pulang sendiri”

“Nggak! Gue nggak mau biarin lo sakit sendiri!” jawab Mea kukuh.

“Mey, gue janji, gue nggak akan sakit, sana naik ke mobilnya Aji. Oh iya, pakai jaket gue, nih! Ini jaket kulit, jadi lo nggak akan kebasahan saat menerjang hujan” kata Luqman seraya menyerahkan jaket kulitnya pada Mea. Mea menurut, memakai jaket Luqman dan masuk ke mobil Aji.

“Man, hati-hati ya? Jangan sakit, nanti kalau sudah sampai rumah sms gue ya?” pesan Mea sebelum mobil menjauh.

“Oke! Aji! Hati-hati nyupirnya!” teriak Luqman. Aku hanya mengangguk dan pergi dengan menutup jendela di sisi kiri.

Aduh.. gue harus ngobrol apa sama Aji? Masa hening gini. Dari tadi yang bersuara hanyalah suara mp3 yang disetel Aji dan beberapa senandungan Aji, sedangkan gue, cengok, berusaha membuang muka dengan melihat hujan atau suasana di luar mobil.

Yahoo…! Seneng gue akhirnya bisa menang dari Luqman, yah walaupun gue menang, dari tadi Mea hanya memandang ke luar jendela, nggak berusaha buat ngobrol sama gue. Apa emang harus gue ya yang mulai obrolan?

Akhirnya hingga di rumahku pun tetap hening, hujan, musik dari music player, dan suara mesin mobil Aji yang suaranya halus pun tidak lagi mengisi keheningan ini.

“Ehm, Ji, makasih ya?”

“Iya, sama-sama”

“aku… masuk ya?”

“Oke” katanya tersenyum lembut.

“Oya, nanti kalau kamu udah sampai di rumah, jangan lupa telepon aku ya?” pesanku.

“Oke”

Aku pun turun dan Aji mengeluarkan mobilnya dari garasi rumahku. Sembil terus tersenyum memandangku yang mau nggak mau aku ikut tersenyum hingga mobilnya menghilang di balik pertigaan dekat rumahku. Aku pun melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah, saat aku menutup pintu, kak Mei menunggu dengan muka tersenyum-senyum sumringah.

“Kenapa lo? Senyum-senyum sendiri! Gila ya?”

“Cie.. tadi pagi dijemput pakai motor, pulangnya dianterin mobil! Sama siapa tuh?”

“Hmm... sama siapa yaa?? Ada aja! Daripada lo ngurusin gue mendingan sono gih lo urusin tugas lo! Gue nggak mau lagi ya disuruh begadang cuma buat ngetikkin skripsi lo!”

“Okeh, gitu ya? Ya kalau gitu, siap-siap aja gih menghadap pengadilan Papa sendiri!”
Deg. Kalimat sakti terakhir yang diucapkan kak Mei membuatku terpaku dan berbalik memandangnya lagi.

“Papa udah pulang?”

“Yup!”

“Kapan?”

“Hmm... kira-kira sejam yang lalu”

“Mati gue!”

“Siapa yang mati Mea!?” sahut seseorang dari balik punggungku. Mampus. Papa pulang duluan. Mati gue. Mati gue. Mati gue. Sedangkan kak Mei hanya tersenyum dengan senyuman kemenangan yang paling licik.

“Eh, Papa, sore, eh, malam, eh Assalamualaikum, Pa…” kataku sambil berbalik sambil cengir-cengir mesam-mesem.

“Kamu tahu kan apa perjanjiannya?”

“Tahu, Pa”

“Coba sebutkan!”

“Semua anak Pak Hardi Wijoyokusumo yang belum memiliki suami, harus pulang ke rumah sebelum Pak Hardi Wijoyokusumo itu pulang kantor, lebih dari itu, akan diceramahi selama 2 kali jam telatnya”

“Dan selisih kamu dengan Papa pulang?”

“Satu jam?”

“Jadi berapa jam hukuman kamu?”

“Dua jam”

“Bagus deh kalau kamu menyadari kesalahanmu”

“Tapi, Pa. Ceramahnya satu jam aja ya? Masih banyak pe er sama tugas OSIS nih!”

“Kamu mau jadi 3 jam?”

“Eh, nggak!”

“Ya udah kalau gitu kamu mandi, salat, dan makan dulu, setelah itu temui Papa di ruang kerja Papa”

“Baik, Pa”

29 November 2008

You and You : Dua

Hari ini seperti pagi yang biasanya ku lewatkan. Just my ordinary life. Tapi panggilan mama yang mendadak saat aku sarapan mungkin salah satu indikasi kalau ini bukan pagi seperti biasanya. Tak biasanya mama memanggilku saat aku sarapan, kalau pun jemputan ku, pak Har sudah datang menjemput, biasanya mama menyuruhnya menunggu sebentar sampai aku selesai sarapan.
“Kenapa sih, ma? Pak Har udah dateng?”
“Nggak. Bukan pak Har” teriak mama dari lantai satu. Aku sedang menghabiskan sendok terakhir dari nasi goreng buatan mama saat mama memanggilku. Dengan sigap aku langsung menghabiskan susu murni kesukaanku dan pergi ke lantai dasar untuk menemui mama.
Seperti biasa aku memakai sepatu keds kesayanganku. Dan saat aku masih memakai kaos kaki ku, mama mendesakku untuk menemui siapa yang sudah dateng menjemputku.
“Aduh, kamu nanti aja pake sepatunya. Yang penting sekarang kamu temuin dulu deh tamu kamu itu, nak!” seru mama. Kegemparan mama di pagi ini sampai membangunkan kak Mei yang super kebo untuk bangun. Padahal dia baru kuliah siang nanti. Dia dengan rasa penasaran yang besar ikut aku ke teras rumah yang sedang ada tamu yang mama bilang. Tapi kak Mei hanya mengintip dari ruang tamu.
Saat aku keluar untuk menemui tamu yang mama bilang, telah menunggu seseorang yang kata mama super cakep, yaitu Aji. Aji datang dengan seragam sekolah yang lengkap seperti biasanya saat kami bertemu di sekolah. Ku lihat sepeda motornya telah terparkir dengan rapi di depan rumahku.
“Eh, kamu, Ji. Ada apa pagi-pagi begini dateng?” tanya ku dan aku duduk disampingnya.
“Hmm.. kamu udah siap berangkat sekolah?”
“Udah sih, tinggal pakai sepatu, emang kenapa?” tanyaku kalem.
“berangkat bareng yuk! Aku sengaja jemput kamu pagi ini buat berangkat bareng”
“Oh, ya udah, tungguin aku sebentar ya? Aku pakai sepatuku dulu” kataku dan Aji hanya membalas dengan anggukannya. Aku cepat-cepat masuk ke dalam dan memakai sepatuku secepat yang ku bisa.
“Cie.. di jemput cowok lo ya, Mey? Kenalin ke gue dong! Kayaknya cakep tuh! Cie.. mama! Mea dijemput cowoknya!” kata kak Mei yang tiba-tiba menggodaku.
“Udah, ah! Bawel lo! Ma, aku berangkat ya?” pamitku pada mama dan mencium punggung tangan kanannya seperti biasa dan mengacuhkan godaan dari kak Mei.
Aku keluar menghampiri Aji dan naik ke bangku penumpang di belakang Aji pada motornya. Dan Aji menyetirkan motornya dengan cepat tidak seperti biasanya, kali ini dia mengendarai motornya seperti Valentino Rossi, berbelok dengan manuver-manuver yang lincah dan menyelip dengan cekatan diantara macetnya jalanan di Jakarta yang seperti biasa macet.

Seperti biasanya, sebelum acara MOS dilanjutkan, setiap pagi diadakan apel pagi. Sama seperti biasanya juga Aji yang memimpin upacara pembukaannya. Namun mungkin hanya aku saja yang hari ini merasa ada yang aneh dengan Aji. Apa mungkin ada hubungannya dengan pertanyaan ku semalam padanya? Tentang Risa? Siapakah Risa?
Saat tiba di sekolah, sebelum kami sampai di ruang sekretariatan OSIS, Aji berpesan padaku kalau nanti pulang sekolah jangan pulang dulu, dia kan menceritakan mengenai Risa, Dan dia juga berpesan kalau bisa hari ini aku menghindar dari Luqman. Memang ada apa ya? Kenapa Aji terlihat bagitu resah?
“Kak Mea,” panggil seseorang menyadarkan lamunanku.
“ah, eh iya” sahutku pada si pemanggil yang ternyata Luqman. Duh, nih anak kok malah nyamperin gue sih! Sono gih jauh-jauh dari gue! Kan gue udah janji sama Aji untuk menjauhi nih makhluk!
“Apa?!” tanyaku dengan ketus padanya.
“Dih, galak amat sih! Aku cuma pengen nagihin janji kakak buat tanda tangan”
“Ya udah sini! Tapi lo harus janji nggak bakalan deket-deket gue seharian ini ya?”
“Ih, kok gitu? Kan kakak PJ aku. Nanti kulaporin sama ketua kakak itu lho!” ancamnya.
“Lo tuh kayak anak kecil banget sih! Terserah deh lo mau ngadu sama siapa! Mau ngadu sama presiden juga boleh! Yang jelas seharian ini lo harus jauh-jauh dari gue!” seruku.
“Oke” jawabnya singkat. Dan aku pun menandatangani bukunya.
“Ini pasti ada hubungannya sama Aji, ya Mey?” tanyanya saat aku menyerahkan buku tanda tangannya. Eh, kok dia bisa menebaknya sih! Duh, gue harus jawab apa ya? Duh.. duh..
“Kamu jangan sembarangan panggil nama kakak kelas doang tanpa pakai embel-embel ‘kak’ ya, Luqman!” seru seseorang menyelamatkanku. Saat ku menoleh, orang itu adalah Aji.
“maafkan aku ‘kak’ Aji” katanya memberi penekanan pada kata ‘kak’ dan dia langsung pergi bergabung dengan teman-temannya.
“Mey, kan aku udah bilang sama kamu buat menjauhi Luqman kan? Terus kenapa tadi kamu malahan mengobrol dengannya?”
“Maaf, Ji. Bukan aku yang mendekati duluan, tapi Luqman. Tadi sih aku udah bilang sama dia untuk menjauhiku hari ini”
“Bukan hari ini aja! Kamu nggak boleh dekat-dekat dengannya selamanya!” seru Aji dengan suara yang keras dan mengambil perhatian semua orang.
“Kayaknya kita nggak bisa ngomong disini deh, Ji. Cari tempat yang aman yuk!”ajakku dan aku menariknya ke ruangan laboratorium kimia yang ada di dekat ruang sekretariatan OSIS.

“Maaf ya, Mey? Nggak seharusnya tadi aku ngebentak kamu” katanya pertama kali saat kami telah masuk ke dalam lab kimia. Kami duduk di salah satu meja yang ada di lab kimia. Situasi lab kimia sepi. Hanya ada kami berdua. Aku hanya menunggunya untuk berbicara. Nggak enak kalau aku memaksakannya.
“Nggak apa-apa kok! Kalau kamu ada masalah, aku siap jadi teman curhat kamu” kataku menenangkan.
Hening kembali. Aji memandangku dalam. Aku balas memandangnya, tapi nggak bertahan lama. Kalau aku lama-lama memandang Aji, aku nggak kuat, takutnya aku bakalan bilang semua perasaan aku ke dia. Aku nggak berani untuk tahu perasaan Aji ke aku, aku terlalu takut kalau ternyata dia nggak punya perasaan apa-apa ke aku, bagaimana nantinya sikap ku ke dia kalau dia nggak punya perasaan yang sama seperti perasaanku padanya. Aku menunduk. Hanya melihat sepatuku. Saat tiba-tiba dia memelukku. Berada dalam dekapannya membuatku nyaman. Harum shampoo yang dipakainya, dan parfumnya yang lembut akan selalu ada dalam ingatanku. Apakah aku boleh berharap padamu, Ji?
Nggak lama kemudian dia melepaskan pelukkannya dengan perlahan. Dan kulihat wajahnya kuyu, resah, dan tidak seperti wajahnya yang biasanya dipenuhi dengan rasa percaya diri. Kini yang ada dihadapanku adalah sisi Aji yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
“maaf ya, Mey? Aku tiba-tiba memelukmu” katanya memecah keheningan diantara kami. Aku hanya bisa mengangguk, aku takut kalau aku berbicara, aku akan berbicara yang aneh-aneh seperti menyatakan perasaanku padanya.
“kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita ke aku, Ji. Mungkin aku nggak bisa membantu banyak, tapi aku bisa membantumu dengan memberimu dukungan”
“ini tentang Risa” katanya dan dia menghela napas panjang. Dan aku hanya terdiam menunggunya melanjutkan ceritanya.
“Risa merupakan tetanggaku dulu. Kamu tahu kan kalau dulu aku pernah tinggal di Yogyakarta?”
“Iya”
“iya. Dan aku baru pindah ke Jakarta 5 tahun yang lalu. Sebelumnya masa kecilku ku lewatkan di Yogya juga dengan Luqman. Iya. Dia ada hubungannya dengan Risa” sambungnya saat aku mengerutkan kening saat Aji menyebut nama Luqman.
“Luqman adalah sepupu jauhku. Dulu kami tinggal bersama nenekku di Yogya. Kami melewatkan masa kecil yang bahagia. Aku, Luqman, dan Risa. Kami merupakan jagoan cilik di desa. Namun seiring berjalannya waktu, saat Risa masuk SMP, aku menyadari kalau aku menyukainya. Dia merupakan gadis tercantik yang pernah kulihat” katanya. Saat Aji mengatakan kalau dia menyukai Risa dan Risa merupakan gadis tercantik yang pernah dilihatnya, terbesit rasa cemburu dalam hatiku.
“Namun Risa menyukai pria lain. Aku nggak mungkin salah akan hal ini karena Risa cerita sendiri ke aku. Dan pria itu adalah Luqman”
“Mendengar hal itu aku sangat cemburu. Nggak lama kemudian Risa datang menemuiku dengan membawa kabar kalau mereka telah jadian. Aku marah dan merasa dikhianati oleh Luqman, karena Luqman tahu perasaanku pada Risa, dan dia berjanji akan membantuku membuat Risa berpaling padaku, namun dia bisa-bisanya melupakan hal itu”
“Setiap aku melihat mereka berdua, monster dalam diriku memberontak marah. Aku yang saat itu kalap berusaha menyelakakan Luqman. Aku membuat rem sepeda motornya tidak berfungsi. Akibatnya saat Luqman dan Risa mengendarai sepeda motor itu, mereka kecelakaan seperti yang ku rencanakan” katanya dengan wajah yang mulai sedih dan suara yang sedih.
“Iya Luqman celaka seperti rencanaku, namun Risa meninggal karena kecelakaan itu. Itu merupakan salah satu kesalahan terbesarku. Luqman mengalami koma selama dua tahun. Seharusnya kini dia setingkat dengan kita. Rencana itu berjalan mulus, sangat mulus, andai saja Risa tidak ikut membonceng di belakang Luqman” katanya dan ia mulai menangis.
Aku merasa kalau Aji sangat mencintai Risa dan merasa sangat bersalah atas kematiannya. Duh, apa yang harus ku lakukan kalau ada seorang pria menangis di depanku. Aku merasa kasihan sekali pada Aji. Jadi ini yang membuatnya resah jika melihat Luqman. Apa yang harus ku lakukan? Aku mengeluarkan tissue yang ada di saku seragamku dan menghapus air matanya.
“Maaf, Mey. Aku jadi membuatmu khawatir. Dan alasan kenapa aku melarangmu dekat-dekat dengan Luqman, karena aku takut kamu akan direbutnya seperti dia merebut Risaku. Kamu nggak akan memilihnya kan, Mey?” tanyanya. Matanya menyiratkan seperti mata anak kecil yang ketakutan mainan kesayangannya akan direbut.
“Ehem.. begini, Ji. Aku mau tanya satu hal padamu, sebenarnya kamu menganggapku apa? Maaf bukannya aku mengira kamu menganggapku barang atau sesuatu, tapi aku cuma mau tanya, sebenarnya aku dimatamu itu apa? Aku nggak bisa mengiyakan saja tanpa tahu jawaban dari hal ini. Karena sebenarnya aku berharap kita lebih dari teman dan sekedar sahabat. Bolehkah aku tahu harapanku itu terkabul atau nggak? Karena kalau kamu hanya memberiku harapan tanpa jawaban yang jelas membuatku resah” tanyaku takut. Hah.. akhirnya aku menanyakannya.. aku nggak tahu kenapa kok bisa-bisa aku bertanya seperti itu padanya.
Hening. Aku tak berani memandangnya. Aku hanya terdiam menunggu jawabannya. Dan matanya hanya memandangku. Saat Aji berusaha untuk berbicara,
“Aji! Lo dipanggil wakil kepala sekolah tuh!” panggil Dipta dari pintu lab kimia, dia memecah keheningan dan juga memotong pembicaraan kami disaat yang tidak tepat.
“Iya, Ta! Makasih ya?” kata Aji yang raut wajahnya sudah berubah seperti biasa lagi. Dan Aji pergi bersama Dipta. Hanya aku yang ditinggal sendiri di lab kimia.
Hhhfffhhh…. Inikah nasibku yang tidak akan pernah mengetahui apa yang akan dikatakan Aji? Gimana nanti kalau aku ketemu Aji? Gimana kalau nanti aku ketemu Luqman? Harus seperti apakah aku bersikap?

Aku kembali ke kelas X-3, tempatku bertugas. Hadi dan Risti marah-marah karena aku telat datang. Kini kelas sedang diisi oleh guru yang akan menjelaskan mengenai visi dan misi sekolah. Seperti biasa anak-anak OSIS hanya duduk dilorong sekolah tak ada kerjaan. Aku langsung menarik lengan Lita dan pergi mencari Ita juga untuk menceritakan mengenai kebodohan yang telah kuperbuat.

“beneran, Mey? Lo udah nembak dia?! Terus dia bilang apa?” tanya Lita exciting saat aku, dia dan Ita duduk di kantin mendengar ceritaku. Aku menceritakan semua yang terjadi pada sahabat-sahabatku, dengan pengecualian aku nggak menceritakan curhatannya Aji, dan tangisannya Aji.
“Gue nggak tahu dia bakal bilang apa. Dipta dateng dan manggil Aji, dan Aji pergi. Apa gue salah ya nanya gitu? Gue bikin Aji jadi bingung mau jawab apa. Atau dia bingung gimana cara nolak gue dengan halus ya?” tanyaku dengan pesimis.
“Kita nggak bisa jawab pertanyaan lo itu juga, Mey. Semua keputusan ada ditangan Aji” kata Ita
“Terus kalau gue ketemu dia, gue harus bilang apa? Apa gue harus nuntut jawaban dari dia?”
“Nggak!” jawab mereka serempak.
“Lo jangan nuntut jawaban sama dia. Tungguin aja. Kalau semakin lo nuntut, nanti dia bisa ilfeel sama lo. Mendingan lo biarin dia yang bilang sendiri sama lo. Biarkan dia berpikir dahulu. Biarkan dia menimbang-nimbang untuk menerima lo atau menolak.” kata Lita.
“oke, gue bakalan nungguin jawaban dari dia. Tapi selama jawaban itu belum keluar dari mulutnya, apa yang harus gue lakukan?”
“Lo berlaku aja seperti biasanya. Seperti belum terjadi apa-apa” saran Lita
“tapi kalau terlalu lama dia diam gimana?”
“satu bulan” kata Ita.
“Hah? Satu bulan? Apaan yang satu bulan?”
“Lo tungguin dia satu bulan. Kalau dalam satu bulan dia belum ngomong apa-apa, lo bisa tanyakan ulang padanya” jelas Ita sok mengerti.
“Oke. Satu bulan”
“Oh ya. Lo kan belum cerita sama kami tentang mimpi lo ketemu Aji. Memang lo memimpikan apa?” tanya Ita.
“Oh, itu, entah sampai sekarang gue juga belum tahu maksud dari semua itu, tapi yang gue tahu, gue dan Aji ada di sebuah kebun bunga yang indah yang disebut sebagai kebun kupu-kupu. Dan kami tidak hanya berdua di tempat itu, ada seseorang disana”
“Siapa?” tanya Lita penasaran.
“I have no idea. Gue nggak lihat wajahnya. Dia ada di belakang gue, Aji menunjuknya, saat gue berbalik, nyokap gue bangunin gue!”
“Ahhhh....... nggak seru!!!” desah keduanya.
“Biarin! Yang penting gue ketemu Aji!”
“Nggak penting!! Aji doang! Setiap hari ketemu di sekolah kali!!” seru Lita.
“hehehe…. Namanya juga sedang jatuh cinta!” belaku.


Aku wanita yang sedang jatuh cinta…


“kak Mea..” panggil Luqman.
Saat ini waktunya istirahat siang, dan kacaunya, sekarang aku ketemu sama dia di tangga sekolah dekat kelas X-3. Ih nih anak nggak ngerti apa ya? Kan tadi gue udah jelas-jelas bilang buat nggak mengganggu gue. Padahal gue seharian ini udah berusaha biar nggak ketemu dia.
“apaan? Jauh-jauh dari gue!” jawabku ketus
“ketus amat sih! Padahal kan aku cuma mau lebih dekat sama kakak”
“Gue nggak mau deket-deket sama elo!” kata ku dan aku buru-buru untuk turun dan bodohnya aku, aku terpeleset karena tidak konsentrasi. Duh, kepala gue bakalan kejedot keras nih! Apa gue bakalan amnesia ya?
Aku memejamkan mataku saat aku jatuh, aku takut kalau aku jatuh. Namun kutunggu-tunggu, aku tidak kunjung jua kejedot. “Apa gue udah mati ya? Jadi nggak kerasa apa-apa?” pikirku. Alih-alih kejedot, aku mencium bau parfum yang kukenal. “Apa di surga baunya seperti ini ya?” pikirku bodoh. Perlahan tapi pasti, aku membuka mataku. Dan aku menyadari sedang ada dalam pelukan seseorang. Siapa ya? Oh, my gosh! Saat aku sudah membuka mataku lebar-lebar, aku melihat Luqman sedang mendekapku erat. Deg. Cepat-cepat ku hempaskan dia. Aku melihat keadaan sekitar, kami berdua terjatuh hingga anak tangga terakhir. Dan Luqman menjadikan dirinya sebagai bantalanku.
“Ma..maaf, Man!” seruku. Saat aku mengempaskan dirinya, dia meringis kesakitan.
“ah, nggak apa-apa” katanya sambil tersenyum. Deg.
“Ada yang luka nggak?” tanyaku khawatir sambil menyentuh pundaknya membantunya bangun. Deg. Saat dia berusaha untuk berdiri dengan bantuan ku dia langsung terjatuh lagi.
“Eh, kenapa?!” tanyaku panik.
“Kayaknya gue keseleo deh! Kaki gue sakit banget buat jalan” jawabnya sambil meringis kesakitan dan mencoba mengurut kakinya.
“Eh, jangan dipegang dulu! Takutnya kenapa-kenapa terus jadi salah urat lho!” seruku saat dia mulai mengurut sendiri kaki kanannya. Sebagai anggota tim kesehatan sekolah, atau PMR, hal pertama yang harus kulakukan adalah memapahnya menuju ke uks. Aku langsung meraih lengan kanannya dan meletakkannya dipundakku. Aku memapahnya. Berat bo!
“Eh, kamu mau ngapain?” tanyanya bingung.
“Mau ngapain? Ya bawa kamu ke uks lha! Biar dirawat disana”
“Udah nggak usah. Gue kan berat”
“Orang sakit diem aja deh! Kalau nggak cepet dirawat nanti bisa tambah parah!” seruku. Dan dia hanya diam dan menurut.
Aku berusaha untuk membawanya ke uks. Sepanjang perjalanan ke uks, semua orang melihat kami. Ada beberapa teman sekelasku yang meledek ku. Ih nih orang-orang udah tahu ngelihat gue kesusahan bawa Luqman malah nggak bantuin. Aduh, gue udah nggak kuat nih, padahal kami masih di lantai dua, duh, kenapa uksnya ada dibawah sih! Saat aku limbung dan terjatuh, entah kenapa Luqman nggak terjatuh. Hah? Nggak ikut jatuh? Saat aku berdiri aku mengetahui kenapa itu terjadi, Aji dengan sigap sedang memapahnya disisi seberangnnya.
“Kamu nggak apa-apa, Mey?” tanya Aji dan Luqman bersamaan.
“Nggak, nggak apa-apa”
“Luqman kenapa sih, Mey? Mau kamu bawa kemana?” tanya Aji.
“Maaf, Ji. Luqman keseleo, mau aku bawa ke uks”
“Ya udah ayo ke uks!” seru Aji dan dia gantian memapah Luqman. Aku hanya berjalan disamping Luqman mengikuti langkah kaki mereka berdua.

“Mey, aku perlu penjelasan kenapa kamu tadi memapah Luqman? Kenapa dia bisa keseleo?” tanya Aji saat Luqman sudah kami serahkan pada dokter uks untuk dirawat. Kini aku dan Aji sedang berada di ruang sekretariatan OSIS yang berada dekat dengan uks. Untungnya saja saat ini ruang OSIS sedang kosong. Lalu aku menjelaskan semuanya pada Aji.
“Maaf, Ji” kataku dan aku memeluknya.
“Maaf untuk apa? Kalau begitu kejadiannya, aku bisa maklum kok! Asalkan kamu jangan dekat-dekat dengannya” tanya Aji pelan masih dalam pelukan. Suara Aji yang tepat berada di telingaku menggema hingga dalam hati. Aku hanya terdiam menikmati pelukannya yang erat. Aku nggak mungkin dong kalau aku bilang pada Aji kalau saat aku berada didekat Luqman, jantungku berdebar cepat! Iya. Itulah yang terjadi padaku saat aku berada didekat Luqman. Saat itu aku merasa sangat menghianati Aji, karena dalam sesaat, aku melupakannya.
“Mea” panggilnya dan melepaskan pelukan ini. Kini tangannya memegang kedua pundakku. Aku memandangnya. Dia memandangku selama beberapa detik. Apakah ini saatnya aku tahu jawaban atas pertanyaanku tadi pagi?
“Kenapa, Ji?”
“Untuk pertanyaan kamu tadi pagi..” katanya mengawali. Yup! Inilah saatnya! Aku hanya diam menunggu jawabannya.
“maaf telah memberi harapan yang berlebih, aku nggak bisa menganggapmu lebih dari teman atau pun partner dalam OSIS” katanya sedih.
“maaf, aku masih ada urusan” katanya dan meninggalkan aku sendiri di ruang OSIS. Aku hanya terdiam. Bagiku dunia sudah kiamat saat tadi dia mengatakan penolakkannya padaku. Kaki ku lemas dan aku terduduk dilantai ruang OSIS yang dingin. Menangis sendiri dalam sunyi.

Apa ini? Kenapa saat tadi gue bersama Mea, gue merasakan debaran yang sama saat gue bersama Risa? Kenapa tadi gue refleks memeluk Mea untuk menyelamatkannya.
“a.. aduh!” seruku saat dokter uks memijat kakiku.
“Sementara sih udah nggak apa-apa. Kamu istirahat aja disini!” kata dokter itu dan pergi meninggalkan ku sendiri dalam ruang uks.
Gue bingung, kenapa gue bisa deg-degan didekat Mea? Apa karena dia sama kayak kamu, Ris? Kenapa bisa ya di dunia ini ada dua orang yang sama persis sepertimu, Ris? Apa aku jatuh cinta dengannya, Ris? Tapi aku nggak boleh sampai mencintainya. Aku datang kesini, dan mendekatinya karena gue mau balas dendam sama Aji. Kalau aku sampai mencintainya aku bisa susah untuk membalas seperti apa yang telah dilakukan Aji kepadaku dengan memisahkan kita berdua, Ris!
“Assalamualaikum” salam Mea masuk ke uks. Dia mendekati ranjangku.
“Waalaikum salam”
“kamu udah baikan, Man?” tanyanya. Suaranya bergetar, seperti saat Risa biasanya sedang menyimpan sesuatu yang membuatnya sedih. Apa benar akan sama antara kebiasaannya dan kebiasaan Risa ini?
“Udah sih, cuma nggak boleh jalan dulu. Kamu kenapa, Mey? Kamu habis menangis ya?” tanyaku perlahan.
“Ah, enggak.. aku.. aku..” kata-katanya terputus dan dia menangis.
“Sini, Mey” panggilku untuk menyuruhnya duduk disamping ranjangku. Dia menurut. Aku memeluknya untuk menenangkannya. Aku juga merasa sedih melihatnya menangis. Aku nggak mau melihatnya menangis, sama seperti saat aku nggak mau melihat Risa menangis. Apa aku menganggap Mea seperti Risa?
“kamu kenapa?” tanyaku pelan saat aku melepaskan pelukanku dan menghapus air mata yang jatuh dipipinya. Dia tidak menjawab, hanya menangis. Saat seperti ini aku nggak tahu apa yang bisa ku lakukan untuknya. Aku hanya menemaninya menangis. Berada dismpingnya sampai dia mau memberitahukan alasannya menangis.

“Ji, lo liat Mea nggak?” tanya seseorang padaku saat aku sedang berjalan menuju ruang wakil kepala sekolah untuk melaporkan kalau MOS sudah hampir usai dan meminta kesediannya untuk menutup MOS hari kedua pada apel penutupan nanti.
“Terakhir gue ngelihat sih tadi pas istirahat siang, dia ada di ruang OSIS. Kenapa, Ris?” tanyaku balik. Aku khawatir. Apa Mea baik-baik saja ya setelah apa yang terjadi tadi?
“Gue dari tadi nggak ngelihat dia. Emang semenjak istirahat tadi gue juga nggak ngelihat. Tadi gue udah cek ke ruang OSIS, tapi nggak ada orang disana. Ya udah deh, makasih ya, Ji!” serunya dan beranjak pergi.
“Risti! Bilangin ya sama semua anak OSIS, suruh kumpulin semua anak kelas satu di lapangan! Mau ada apel penutupan!” pesanku pada Risti. Dia hanya mengangguk.
Mea nggak ada di ruang OSIS? Dia kemana ya? Apa dia nggak apa-apa setelah tadi gue menolaknya. Kalau nanti terjadi apa-apa sama Mea gimana ya? Sebenarnya aku mencintainya. Tapi aku nggak tahu apakah aku menyukainya karena memang dia adalah Mea atau karena aku menganggapnya sebagai pengganti Risa. Hati kecilku nggak membolehkan aku untuk menyakiti Mea, dan aku belum yakin pada perasaan ku. Mea, aku nggak bisa menerimamu, tapi aku juga nggak mau kamu pergi dariku. Aku tahu kalau aku egois. Tapi aku nggak bisa melihat kamu pergi dengan cowok lain apa lagi kalau sampai cowok itu Luqman. Iya, Luqman! Saat aku melewati uks, aku yang awalnya berniat menjenguk Luqman, dan menawarinya untuk ku antar pulang karena kakinya yang keseleo nggak mungkin untuk berjalan jauh, saat aku masuk, dan mengintip dibalik tirai uks yang memisahkan dari satu ranjang ke ranjang lainnya, aku mendengar suara Mea yang sesengukan menangis, aku mengintip di celah-celah dan mendapati Mea sedang menangis di depan Luqman, dan Luqman sedang berusaha untuk menghiburnya.
“aku rasa aku tahu alasan Aji nolak kamu, Mey”
“Apa?” tanyanya sambil sesengukan.
“Risa”
“Risa? Apa Aji belum bisa melupakan Risa?”
“Hahaha… kalau melihatmu, dia nggak mungkin bisa melupakan Risa”
“Maksud kamu?”
“Aji belum memberitahukan hal ini padamu?”
“Kasih tahu apa? Dia cuma kasih tahu apa yang tadi aku ceritakan”
“Ini” katanya dan memberikan selembar foto dari dompetnya. Mea yang melihat foto itu berhenti menangis karena terkaget melihat foto tersebut. Bagai pinang dibelah dua, Risa sangat mirip dengannya.
“Hah?! Ini Risa?”
“Iya. Kamu dan dia bagai pinang dibelah dua. Sangat mirip”
“Nggak mungkin! Kan yang seperti ini cuma ada di sinetron-sinetron!”
“Hahahaha… tapi itulah yang terjadi. Aku rasa Aji masih bingung atas perasaannya padamu. I think he loves you, but he doesn’t know his true feeling to you. Does he loves you because of you? Or because of Risa? Tapi dia bodoh”
“Bodoh? Bodoh kenapa?”
“nggak. Lupain aja!”
Itulah pembicaraan mereka yang terdengar oleh ku sebelum aku pergi meninggalkan uks karena aku nggak mau mencuri dengar lebih banyak lagi. Risa. Mea. Kenapa kalian bisa sama persis? Kalau saja Mea berbeda dari Risa, mungkin ini akan jauh lebih mudah bagiku untuk membuka lembaran baru. Ris, kenapa kamu selalu ada dalam hidupku? Apa kamu marah padaku sehingga membuatku tidak bisa melupakanmu?

“Ris, eh, Mey” panggilku saat Mea bersiap untuk pulang dan sedang membantuku jalan. Dia bersikeras untuk mengantarkanku pulang.
“Apa, Man?”
“Apakah kamu akan mengikuti kemauan Aji yang menyuruhmu untuk menjauh dariku?”
“Buat apa? Lagian dia juga bukan siapa-siapaku! Mungkin rasa cintaku pada Aji belum bisa ku lupakan, tapi aku berusaha untuk bangkit kembali, seperti katamu, kalau aku nggak ambil resiko, nggak akan ada yang namanya masa depan” katanya tegar dan membantuku berdiri.
“Kayaknya kamu sudah mulai tegar, Mey!”
“Harus. Aku selalu bilang pada temanku yang sedang patah hati, dia boleh menangis sepuasnya, tapi setelah dia berhenti menangis, dia harus tegar dan bangkit kembali untuk melangkah ke depan, membuat masa depannya yang lebih baik lagi, kita nggak boleh menyesali apa yang sudah terjadi, setiap masalah pasti ada hikmahnya, seperti kata Stuart Litte, every problem have a silver line” katanya mantap dan memapahku menuju taksi yang sudah dipesan.
Walaupun dia bilang begitu padaku, namun mata dan senyumannya tidak bisa berbohong. Pada matanya terlihat kalau dia sangat sedih, senyumannya tidak seperti senyumannya yang tulus dan manis seperti saat pertama kali kami bertemu, dia sangat terlihat memaksakan senyumannya. Yah.. mungkin saat ini aku hanya bisa menunggunya… menunggunya untuk melupakan Aji. Menunggu lukanya sembuh dan menutup.


26 November 2008

Miris

Sudah lama aku ada di sini. Yah, kurang lebih dua puluh tahun. Sudah tua, ya? Ah, tidak kok, menurutku aku masih tergolong muda.


Oh, ya, namaku Poli! Aku tidak sendirian di sini. Bersamaku ada Pola, sahabatku sejak aku muncul di dunia.


Kami diberi nama oleh seorang anak kecil yang lucu, penghuni rumah besar ini. Sebelum ia tinggal di sini, kami sudah lebih dulu ada.


Kami ingat saat pertama kali ia datang bersama kedua orangtuanya. Suaranya yang melengking-lengking mengagetkan kami dari ketenangan. Tapi ketika melihat sumber suaranya, kami langsung berpikir, ialah teman yang baik untuk kami.


Selama ini kami ditelantarkan, tapi tidak dengannya. Ia menganggap kami sebagai teman bermainnya. Ia anak tunggal, ia kesepian. Kasihan. Maka dari itu, kami membiarkan dia untuk melakukan apapun terhadap kami.


Sering ia membawa teman-temannya kemari dan bermain di bawah pengawasan kami. Berlarian, berteriak, bersahut-sahutan, berbisik, berlompatan, dan juga menggoreskan nama mereka di tubuh kami. Sakit, memang. Tapi, biarlah, apapun kami relakan asal dia senang.


Dari goresan itu, kami tahu, namanya Rani. Rani Minavertira.


Tahun berganti, Rani pun berubah menjadi seorang remaja manis, tak beda jauh dengan masa kecilnya dulu. Ia mulai jarang membawa teman-teman sejenisnya ke rumah. Sekarang ia sering membawa seorang lelaki ke rumah. Lelaki tampan.


Rani membawa lelaki yang kemudian kami ketahui adalah kekasihnya ke rumah, hanya ketika orangtuanya tidak ada. Hanya ada kami. Kenapa, ya? Ah, mungkin, ia sudah percaya pada kami.


Kami tidak merasa curiga sampai ketika.. Kami memergoki mereka sedang melakukan hal yang tidak sepantasnya mereka lakukan. (Tidak sampai separah itu, tenang saja)


Kami sudah berusaha mengingatkannya berkali-kali. Tapi apa daya, Rani sekarang telah berubah. Ia tidak peduli lagi pada kami. Semakin lama, tingkahnya dan kekasihnya semakin menjadi. Kami rasa, Rani telah terpengaruh.


Ah, Rani, andai saja kami curiga dari dulu, ingin sekali kami larang kamu untuk dekat dengan lelaki itu.


Kami hanya bisa diam. Rani mengancam kami untuk tidak memberitahukan apapun kepada orangtuanya. Yah, apa mau dikata.


Hal itu terus berlangsung mulus bagi Rani, sampai ketika orangtuanya pulang lebih cepat dari biasanya. Jelas, Rani tidak memperhitungkan itu, terlihatlah apa yang mereka lakukan oleh orangtuanya.


Yang kami dengar pertama kali adalah suara sesuatu yang jatuh. Oh, ibu Rani pingsan. Yang kedua, tangisan. Tangisan Rani, menyadari ibunya pingsan karena perbuatan terlarangnya. Yang ketiga, teriakan menggelegar. Suara ayah Rani yang penuh dengan amarah. Yang keempat, suara langkah kaki. Ah, tidak, lelaki itu kabur!


Sejak saat itu, orangtua Rani jadi super protektif. Rani tidak sekolah di sekolah umum lagi, ia homeschooling. Rani jadi pemurung, Rani semakin kesepian, Rani sedih. Rani menanggung beban berat.


Ia sering sekali menangis di hadapan kami. Ia juga bercerita bahwa saat ini ia sedang mengandung hasil perbuatan terlarangnya dulu. Orangtuanya malu dan memutuskan untuk pindah ke luar negeri sekalian. Ke Jerman. Toh di sana tidak ada yang mereka kenal, jadi akan aman-aman saja.


Tidak.. Jangan pergi, Rani. Dengan siapa nanti kami di sini?


Sekarang sudah tiga tahun berlalu. Rumah ini kini ditempati oleh keluarga besar, sepasang orangtua dan empat orang anak. Keempatnya laki-laki. Kami harap, kejadianmu dulu tidak terulang, Ran..


Apa kabar kamu di sana sekarang, Ran? Apa kamu sudah melahirkan? Perempuan atau laki-laki? Sudahkah kamu memiliki pasangan hidup?


Ran, kami rindu sekali padamu.


Kami menyesal, andai saja sedari dulu kami mengingatkanmu, tentu tidak akan begini jadinya.


Tapi, kami memang tidak pernah bisa mengingatkanmu.


Kami hanya saksi bisu.







Kami hanyalah pohon.

you and you : satu

“Halo!”

“Aji? Ini dimana?”

“Masa kamu lupa? Ini kan kebun kupu-kupu!”

“Kebun kupu-kupu?” tanyaku.

Sekelilingku memang terhampar padang rumput dengan bunga-bunga indah dengan warna-warni yang menarik hati. Di belakang Aji, terdapat sebuah tebing besar menganga dengan ketinggian yang tidak kuketahui kedalamannya, aku tidak dapat melihat ujungnya.

“hey? Kenapa bengong?” tanya Aji membuyarkan lamunanku.

“Eh, maaf. Tadi kamu bilang apa?”

“Iya ini kebun kupu-kupu. Kita kan sering bermain bersama disini!”

“Bermain?” tanyaku memastikan.
Bagaimana bisa aku sering bermain bersama dengan Aji disini? Aku baru kenal Aji sejak aku masuk SMA! Apa Aji salah ya?”

“duh, bengong lagi!”

“Eh, iya. Maaf... tapi apa kamu nggak salah, Ji?”

“Salah? Apa yang salah?”

“Aku baru kenal kamu sejak aku masuk SMA, bagaimana bisa ini menjadi tempat bermain kita? Aku juga baru pertama kali kesini”

“Kamu bercanda! Ayo! Dia sudah menunggu kita sedari tadi!”

“Dia? Dia siapa?”

“Dia teman kita! Dia menunggu di ujung sana!” katanya menunjuk ke arah belakang kepalaku.

“Siapa?!”

“Mea, bangun. Ini sudah jam setengah enam. Nanti kamu terlambat lho!”
“Hmm” sahut Mea dalam selimutnya yang hangat.
“Eh, nih anak malah tidur lagi!” kata mamanya Mea keki melihat tingkah putri bungsunya masuk lagi ke dalam selimut sehabis salat subuh berjamaah sekeluarga.
“Mey, kamu kan hari ini harus ngeMOSin anak-anak baru di sekolah kamu. Kamu kan udah excited dari kemarin. Ayo dong, bangun!”
“Iya. Iya, mama!” seru Mea akhirnya terbangun. Dalam hatinya dia mengrutu kenapa sih liburannya nggak di lamain?! Kayak di luar negeri gitu kek! Liburannya sampai dua bulan!
Saat pertama kali membuka matanya yang terlihat dari sudut pandang Mea adalah tembok kamar yang berwarna biru laut. Agak kekanan ada lemari kayu jati tua yang sekarang memuat pakaiannya. Di sebelah kanan kasurnya ada meja belajarnya dengan komputer tua yang usang kesayangannya. Di dinding dekat pintu keluar menggantung cermin separuh badan yang juga sudah tua lungsuran dari kakaknya. Di pintu kamarnya tergantung beberapa pakaian, seperti jeansnya yang masih sekali dipakai, itu pun cuma dipakai kondangan dua hari yang lalu, dan juga tergantung pakaian seragam sekolah putih abu-abu yang telah disiapkannya semalam.
Tadi gue ngimpi apa ya? Aneh banget! Gue jadi penasaran, siapa sih orang yang tadi ditunjuk Aji? Huh! Mama kenapa bangunin aku di saat yang amat sangat tidak tepat?! Hm... tak apa deh! Yang penting gue bisa ngimpiin Aji! Hehehe...
Setelah nyawanya yang masih melayang-layang telah terkumpul kembali di badannya yang mungil itu, Mea melangkahkan kakinya ke kamar mandi dengan handuk warna pink menggantung di lengannya. Namun naas, di kamar mandi sudah ada yang menempati (bukan! Bukan makhluk halus! Manusia kok!). Kakak keduanya telah stand by di kamar mandi sedang mandi sambil menyanyikan lagunya Afgan yang sadis dengan suaranya yang pas-pasan.
Ngapain ya nih kacrut pagi-pagi mandi? Kan biasanya dia kuliah siang! Pikir Mea
“Siapa?!” seru orang dalam kamar mandi saat Mea menggedor pintunya.
“gue! Crut, lo ngapain pagi-pagi mandi? Ada angin apa? Lo kerasukan atau kesambet, Crut?”
“ye.. gue ada kuliah pagi ini, nyet! Lo mau mandi?”
“Kagak! Gue mau berenang! Ya iyalah gue mau mandi! Buruan, Crut! Gue udah telat nih!”
“Ya elah! Mandi di bawah aja sih! Kan kamar mandi bukan cuma ini!”
“ogah! Males gue turun tangganya! Buruan!”
“iye, iye tunggu!”

“Mea! Buruan! Pak Har udah jemput nih!” panggil mamanya dari lantai bawah.
“Iya bentar” kata Mea sambil memoleskan lip balm pada bibirnya yang tipis dengan terburu-buru.
Mea langsung kedubrak-kedubruk turun dari tangga. Di anak tangga terakhir ia langsung menyambar sepatu keds kesayangannya dari rak sepatu yang berada tepat di samping tangga. Dan sambil duduk ditangga, ia memakai sepatunya itu.
“Ma, Mea berangkat dulu ya?!” pamitnya dan mencium punggung tangan mamanya.
“hati-hati ya nak! Nanti kalau sudah mau pulang telepon ke rumah ya?”
“Iya, Ma” kata Mea sambil berusaha naik ke sepeda motornya Pak Har dengan susah payah karena roknya yang panjang.
Mea berangkat dengan semua atribut sekolahnya yang kebanyakan berwarna pink, mulai dari sepatu, kaos kaki, jepitan kupu-kupu di rambutnya yang sebahu dengan model shaggy panjang, dan tas selempangnya.

Mea merupakan siswi berumur enam belas tahun biasa. An ordinary sixteen girl. Hari ini merupakan hari pertama masuk sekolah lagi setelah liburan dua minggu kemarin. Mea bersekolah di sekolah negeri yang bisa dibilang favorit di daerahnya. Tahun ini Mea duduk dikelas XII. Tahun-tahun yang sulit karena tahunnya ujian-ujian. UAN lah, UAS lah, SPMB lah, pokoknya banyak banget deh!
Mea juga merupakan pengurus OSIS yang harusnya tahun ajaran ini lepas jabatan. Dia memegang peranan sebagai wakil sekretaris kedua. Namun hari ini dia harus memeberikan pembelajaran bagi murid baru yang masuk kesekolahnya atau yang biasa kita sebut sebagai MOS.
Mea merupakan gadis mungil yang belum menginjak umur tujuh belas tahun. Rambutnya hitam lurus sebahu. Kulitnya sawo matang. Bola matanya cokelat. Tingginya sekitar 170an. Yah, kalau segitu memang bukan dibilang mungil sih, tapi di antara kakak-kakaknya dia pendek. Kalau di sekolah dia terlihat normal-normal saja.
Kesukaannya dengan warna pink membuatnya jadi lebih manis. By the way about pink, sebenarnya kamarnya yang sekarang adalah lungsuran dari kakak-kakaknya. Bukan hanya kamar, tetapi juga beberapa barang-barangnya, contohnya lemari pakaiannya, komputernya dan beberapa pakaiannya.
Kakaknya yang dulu memiliki kamar itu sangat menyukai warna biru, maka dari itu kamar yang di tempatinya sekarang dominan berwarna biru.
Mea merupakan bungsu dari tiga bersaudari. Kenapa dibilang bersaudari? Karena Orang tua Mea memiliki tiga putri yang manis-manis dan tak punya seorang pun putra. Kakaknya yang pertama bernama Mia, dia sudah menikah dan sudah pindah kerumahnya yang baru. Maka dari itu kamarnya dilungsurkan pada kakaknya yang kedua, yang bernama Mei. Dan kamar kak Mei dilungsurkan pula padanya.
Budaya lusur melungsur memang sudah turun temurun ada di keluarganya. Mamanya pernah bercerita, kala dulu sewaktu masih muda barang-barang mamanya pun lungsuran dari kakak-kakaknya. Mea pernah memprotes atas ketidakadilan ini. Dia ingin memiliki sesuatu barang yang berharga yang bukan lungsuran dari kakaknya. Namun ia hanya dimarahi oleh Kak Mei.
Diantara kedua kakaknya, memang yang hyperactive, yang paling bawel, yang paling nggak manis, dan yang paling sering rebut dengan Mea adalah Kak Mei. Beda umurnya dengan Mea adalah enam tahun. Dia sering sekali rebut dengan Mea. Kalau Mea putih, kak Mei pasti hitam. Kalau Mea bilang manis, kak Mei pasti bilang pahit. Semua pikiran mereka berdua sangat bertolak belakang. Namun dalam setiap keributan selalu Mea yang kalah karena perbedaan besar tubuh yang tidak seimbang. Kak Mei berbadan besar. Dia agak gendut sehingga membuat Mea takut. Setiap kalah, Mea yang punya sifat nggak mau kalah ini pasti membalas dendam, contohnya seperti menggunting foto pacar kakaknya itu, merusak koleksi kartu “Taz Mania” kakaknya, merusak buku kuliah kakaknya, bahkan Mea sempat berpikir untuk melakukan pembunuhan berencana untuk membunuh kakaknya itu karena kebanyakan nonton DVD detective conan.
Namun walaupun sampai begitu sebenarnya Mea dan Mei lah yang paling dekat hubungannya dibandingkan dengan kak Mia.

Saat tiba di sekolah, benar saja dia telat. Ditengah lapangan berdiri beberapa orang dan ddari kejauhan di lobby sekolah, Mea mencari-cari teman-temannya. Untung saja ini masih hari pertama masuk sekolah, jadinya dia masih diberi toleransi telat sekolah. Setelah itu buru-buru ia berlari menuju ruangan kesekretariatan OSIS dan segera memakai baju kebesaran OSISnya. Lalu ia dengan sigap langsung berlari menghampiri kerumunan orang dengan jas abu-abu yang berada di tengah lapangan.
“hhahh…hhhaahhhh…hhhhaaahhh….”.
“duh, Mey, jam ngaretnya jangan dipiara dong!” seru salah satu rekan OSISnya yang bernama Ita yang kebetulan menjabat sebagai wakil ketua OSIS kedua yang sudah stand by di lapangan yang terik. Beberapa anak OSIS sedang memberikan pengarahan pada murid-murid kelas satu yang baru masuk, dan beberapa OSIS yang lainnya hanya melihat-lihat, kali aja mereka dapat stok cewek atau cowok pilihan yang oke punya.
“Maaf. Tadi pagi gue rebutan kamar mandi dulu sama kakak gue! Jadinya gue telat deh! Udah gitu tadi gue ngimpiin Aji!” seru Mea.
“Heh? Beneran?!” tanya Ita histeris.
“Mea! Ita! Harap diam!” perintah Aji. Mea dan Ita hanya bisa terdiam menunduk. Takut kalau Aji marah menyeramkan!
“OSIS! Harap berbaris sesuai urutan jabatan!” lanjut Aji, memalingkan pandangannya dari Mea dan Ita ke murid-murid baru. Aji adalah ketua OSIS di sekolah Mea, orang yang muncul dalam mimpinya semalam. Murid-murid kelas XI dan XII lainnya telah masuk kekelas memulai pelajaran baru mereka.
Dengan sigap Mea mengambil tempat tepat di samping kiri Ani sebagai wakil sekretaris pertama dan di sebelah kanan Risti sebagai bendahara umum.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Selamat pagi semuanya” sapa Aji pada semuanya membuka sesi perkenalan MOS hari pertama.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh” koor semua orang yang mendengar salam Aji tadi.
“Pagi ini adalah hari pertama kalian masuk SMA. Ingat, di SMA tidak sama dengan di SMP. Jangan bawa-bawa kebiasaan buruk kalian di SMP ke SMA. Kalian sudah bisa dibilang dewasa. Di masa SMA kalian harus bisa mandiri dan jangan manja. Apa lagi kalau kalian masuk ke SMA 357 ini, disini pembelajarannya sangat ketat. Yang masuk kesini adalah anak-anak pintar dari seantero Jakarta. Kalau kalian malas-malasan bisa-bisa tidak naik kelas” kata Aji memberi wejangan pada murid baru.
Semua hanya terdiam mendengarkan wejangan panjang lebar Aji. Beberapa murid baru yang perempuan tersenyum girang karena di sekolah yang baru ini mereka dapat bertemu dengan cowok yang merupakan kakak kelasnya nanti yang kerennya bukan main seperti Aji. Di hadapan mereka yang berjejer anggota-anggota OSIS yang lainnya pun merupakan anak-anak pilihan yang bisa dibilang good looking semua. Namun siapa sih yang masih naksir Aji setelah tahu sifat aslinya?
Banyak perempuan di sekolah ini yang naksir Aji. Mungkin itu juga yang membuatnya menang telak dalam pemilihan ketua OSIS tahun lalu. Pemilihan ketua OSIS di sekolah ini memakai sistem demokrasi. Setiap warga sekolah berhak memberikan suaranya secara langsung untuk calon ketua umum atau yang biasa juga disebut caketum yang dipilihnya. Namun perempuan-perempuan yang sudah mengenal Aji banyak yang mundur karena sifat Aji yang begitu perfeksionis dan disiplin. Namun dari banyaknya perempuan-perempuan yang dekat dengan Aji, hanya Mea lah yang masih suka padanya. Bahkan ia tambah jatuh cinta saat tahu sifat asli Aji yang perfeksionis ini. Baginya ia merupakan sosok yang ia idam-idamkan selama ini. Dewasa, perfeksionis, penyayang, dan baik. Walaupun bisa dibilang Aji itu orang yang ketus dan dingin, tapi dia adalah orang yang sangat baik. Salah satu wanita yang mendapatkan perlakuan baiknya itu adalah Mea. Entah kenapa Aji selalu baik dengan Mea. Mea pun jadi mengharapkan lebih dari Aji.
“Baiklah sekian pidato pembukaan dari saya. Sekarang saya akan mulai memperkenalkan anggota-anggota OSIS yang ada di sekolah ini. Dan sebaiknya kalian mengingat-ingat informasi disini untuk mempermudah kalian untuk meminta tanda tangan kakak-kakak OSIS yang ada disini. Disini telah berdiri kakak-kakak OSIS kalian yang berdiri sesuai jabatannya. Dimulai dari saya selaku ketua umum, nama saya Aji. Untuk pemintaan tanda tangan kami ingin nama lengkap kami. Namun pada kesempatan kali ini kami hanya menyebutkan nama panggilan kami dan itu sudah menjadi tugas kalianlah untuk mencari tahu nama lengkap kami” katanya dingin.
“hallo semuanya. Kakak wakil ketua 1, panggil saja kak Dipta!”
“Hai, namaku Ita, wakil ketua 2”
“hei, nama kakak, kak Ama”
“Saya kak Ani”
Dan tiba saatnya Mea untuk memperkenalkan diri. Namun sempat hening sebentar.
“Mea! Jangan bengong!” seru Risti yang berada disamping Mea.
“Eh, ah, maaf aku bengong ya? Oh iya namaku Mea. Kalian boleh kok panggil Mea aja!”
Dan perkenalan pun berlanjut hingga keduapuluh lima anggota OSIS di sekolah ini memperkenalkan diri. Dan Aji pun mengambil alih aba-aba lagi.
“Baik, kalian sudah mengenal semua anggota OSIS disini. Saya harap diakhir MOS nanti kalian sudah dapat tanda tangan seluruh anggota OSIS, MPK, dan guru serta karyawan yang bekerja disekolah ini. Seperti yang sudah kalian tahu kalian sudah dibagi perkelas. Masing-masing kelas memiliki 3 anggota OSIS sebagai penanggung jawab. Kalau ada yang ingin ditanyakan, kalian bisa menanyakannya pada PJ kelas kalian. Untuk kelas X-1 PJnya kak Ani, kak Hary, dan kak Lida. Untuk kelas X-2 PJnya kak Ama, kak Umam, dan kak Wati. Untuk X-3 PJnya kak Hadi, kak Mea, dan kak Risti. Untuk X-4 PJnya kak Andi, kak Rahman, dan kak Lita. Untuk X-5 PJnya kak Ita, kak Refi, dan kak Indri. Untuk X- 6 PJnya kak Irma, kak Dayus, dan kak Farhan. Untuk X-7 PJnya kak Faris, kak Tia dan kak Bella. Dan terakhir untuk X-8 PJnya kak Ovi, kak Dipta dan kak Diaz. Sekian. Sesudah saya bubarkan saya ingin kalian berkumpul sesuai kelasnya dan menunggu instruksi selanjutnya yang diberikan oleh PJ kalian. Sebelum saya bubarkan ada pertanyaan?” tanya Aji. Hening.
“Baiklah kalau tidak ada pertanyaan, untuk semuanya tanpa penghormatan umum bubar jalan!” seru Aji. Dan semua anak mulai membentuk sesuai kelompok kelasnya. Mea, Hadi dan Risti pun menyatu bersama menunggu barisan kelas X-3 dengan semua atributnya yang berwarna biru untuk rapi berbaris. Saat telah rapi, Hadi sebagai satu-satunya PJ yang laki-laki di kelas itu memulai berteriak-teriak memberi instruksi pada kelas X-3 untuk masuk ke kelas mereka karena akan ada penjelasan mengenai peraturan yang berlaku di sekolah ini yang akan disampaikan oleh Pak Riyadh selaku guru BP disekolah.

“Abis ini acaranya apaan sih? Duh gue nggak nyangka ya ternyata ngeMOSin itu ngebosenin kayak gini!” seru Lita.
Saat ini anak kelas satu baru sedang diberikan penjelasan mengenai peraturan yang berlaku di sekolah baru mereka ini. Kelas X-3 dan kelas X-4 yang berdekatan membuat OSIS-OSIS penanggung jawab kelas tersebut berkumpul di lorong sekolah tepat di depan kelas X-3. Alasan yang mendasarinya adalah mereka –OSIS-OSIS itu– tidak diperkenankan untuk masuk ke kelas mereka dan mengikuti pelajaran yang sudah mulai berlangsung hari ini.
Kata Pak Mukhlis, Pembina OSIS di sekolah ini, anggota OSIS harus bertanggung jawab sepenuhnya pada saat MOS ini. Mereka diberikan keringanan untuk tidak mengikuti pelajaran selama tiga hari ini. Lita, Mea, Hadi, Risti, Andi, dan Rahman menunggu selesainya pengarahan dari guru dengan berkumpul dan mengobrol dengan suara kecil di lorong sekolah.
“aduh, Ta jangan gitu dong! Nanti kalau Pak Mukhlis dengar gimana? Nanti lo bisa kena omel! Kalau menurut jadwal sih abis ini kita yang ngisi buat sesi perkenalan sampai istirahat jam sepuluh nanti” kata Mea. Dan mereka pun mulai menjauhkan diri dari yang lain untuk mengobrol berdua saja. Memang diantara semua anggota OSIS, Mea agak akrab dengan Lita yang menjabat sebagai wakil bendahara kedua. Selain Lita, Mea juga cukup akrab dengan Ita, karena kesamaan kegemarannya dengan komik.
“Mey, gimana? Ada berondong yang oke nggak di kelas lo?”
“Hah? Kelas gue? Yang ada bukan berondong kali! Kan yang ada di kelas gue semuanya seumuran sama elo. Dan lagi pula lo kan udah kenal sama semua anak cowok yang ada di kelas gue!”
“aduh, Mey.. lo jangan lemot gitu deh! Maksud gue tuh di kelas X-3 yang lo PJ-in!”
“Hah?! Oh, belum tahu tuh! Kan belum pada kenalan!”
“Memang lo nggak bisa ngelihat apa? Nggak perlu tahu namanya dulu, yang jelas ada nggak?”
“Yee… kan gue nggak pake kacamata! Lo tahu sendirikan kalau gue nggak pake kacamata gue nggak bisa ngelihat sama sekali. Buta!”
“hffhhhh…. Dasar lo nggak bias diandelin kalau masalah cowok! Pantesan aja dari dulu cinta lo selalu bertepuk sebelah tangan sama Aji!” seru Lita dengan suaranya yang lantang.
“Sssttttt….. Lita! Lo bias nggak sih nggak ngomong kenceng-kenceng?! Lagian belum tentu gue bertepuk sebelah tangan! Gue kan belum nanya perasaan dia ke gue!” seru Mea sambil meletakkan telunjuknya di bibirnya.
“Mey, kapan lo mau ngomong sama Aji? Nanti keburu disamber orang duluan lho!”
“udah ah bawel lo! Di kelas lo sendiri ada berondong yang oke nggak?”
“Nggak. Semuanya muka anak ingusan! Males banget gue! Eh, udah selesai tuh! Yuk masuk! Oya, nanti gue main ke kelas lo ya?!” seru Lita dan langsung memisahkan diri dari Mea masuk ke kelas masing-masing, Mea ke kelas X-3 dan Lita ke kelas X-4. Mea hanya membalas dengan anggukan.
Saat di dalam kelas Mea langsung berjalan menuju ke meja guru dan hanya duduk disana, sedangkan Risti dan Hadi berdiri menyapa murid-murid baru.
“Halo, tadi udah kenalan kan sama kakak? Udah tahu belum yang guru barusan masuk tuh namanya siapa? Kan lumayan kalian bisa minta tanda tangannya nanti saat jam istirahat”
Dan semua anak berteriak koor menjawab semua pertanyaan basa-basi dari Hadi bak sekelompok anak TK. Mea hanya tersenyum-senyum sambil melihat berkeliling. Rencananya sih ingin lihat-lihat stok berondong, namun apa daya tangan tak sampai, ia tak bias melihat dengan jelas wajah-wajah adik-adik kelasnya.
“Kalian udah tahu belum nama kelompok kelas ini?” tanya Mea.
“Udah!” koor seluruh kelas.
“Apa?” tanya Risti.
“Merkurius!!” koor seluruh kelas bersamaan.
“oh, bagus deh!” kata Mea dengan suara pelan. Saat Mea mendekati salah satu meja yang berisi cowok-cowok anak baru itu –Mea menemukan cara yang efektif untuk melihat semua wajah murid baru yaitu dengan mendekati mereka satu persatu– seorang anak baru memanggilnya.
“Maaf kak, aku boleh minta tanda tangan kakak nggak?” tanya seorang cowok anak baru dengan berani. Pandangan mata sangat tajam. Wajahnya agak-agak arab, tapi kulitnya putih bersih. Matanya punya tatapan yang tajam dengan tulang kening yang keras dan agak maju. Rambutnya agak botak karena memang untuk masuk sekolah ini mereka yang laki-laki diharuskan untuk botak, namun hal itu palingan hanya akan bertahan beberapa minggu. Contohnya semua anak laki-laki kelas XII dan XI di sekolah ini rambutnya tidak ada yang botak. Namun walaupun rambutnya botak terlihat kalau warna rambutnya cokelat tua. Bibirnya merah pink segar dan tipis.
Mea terkaget-kaget ia begitu berani meminta tanda tangannya. Saat ia perhatikan anak ini, ia menyadari kalau anak ini good looking banget, daripada semua anak cowok yang ada di kelas X-3. Insting iseng Mea pun menyala. Ia memang cukup iseng diantara semua teman-temannya.
“Mau minta tanda tangan kakak? Emang tahu nama panjang kakak?” tanyanya iseng.
“Nggak, kak!”
“Terus kenapa kamu kok bisa begitu pede untuk minta tanda tangan kakak?”
“Soalnya aku tahu kakak orang baik, jadi aku mau minta tanda tangan kakak, aura kakak kekeluargaan, nggak nyeremin kayak kakak-kakak OSIS yang lain”
“Hmm… boleh aja sih”
“Beneran kak?!” tanyanya exciting.
“Emang nama kamu siapa?”
“Muhammad Luqman ul Hakim. Tapi panggil aja Luqman!”
“Oke, Luqman, gini, kalau kamu mau kakak suruh nyanyi dan memperkenalkan diri di kelas ini dan kelas sebelah, kakak kasih tahu nama panjang kakak” kata Mea membuat janji.
“Bener ya kak?” tanya Luqman meyakinkan. Mea hanya mengangguk yakin. Dan Luqman pun berdiri dan mengikuti Mea ke depan kelas.
“Kak Hadi, ada yang mau kenalan dan nyanyi nih!” seru Mea.
“Oh, lobeh-lobeh, silahkan!” seru Hadi.
“Assalamualaikum warohmatullahi waarokatuh, teman-teman nama saya Muhammad Luqman ul Hakim, panggilannya Luqman. Saya dari SMP Kamelia Jakarta Timur, terima kasih”
“Yak, semuanya, Luqman mau nyanyi nih! Kamu tahu lagu goyang eta goyang kan yang tadi diperagaakan sama kak Hadi? Kakak mau kamu nyanyi itu dengan gayanya ya?”
“Yah, kak! Jangan yang itu dong! Yang lain aja ya?” tanyanya.
“ummm…. Nggak jadi deh kalau yang lain! Kakak maunya yang itu!”seru Mea.
“Ya udah deh!” serunya dan mulai bernyanyi.
“Goyang eta goyang-goyang. Goyang eta kanan kiri. Berhenti sebentar, sambil nyanyi eta goyang-goyang” katanya sambil memperagakan gerakkannnya –untuk gerakkannya silahkan bayangkan sendiri seperti apa goyangannya yang paling memalukan–
“Oke, makasih ya Luqman. Yuk kita ke kelas sebelah” kata Mea dan ia beranjak pergi ke kelas sebelah dengan Luqman di belakangnya.
Saat masuk ke kelas X-4 yang memiliki nama kelas Mars, Mea dengan lantang meneriakan nama Mars dan dibalas dengan jawaban yang sudah dirancang dengan memalukan oleh kakak-kakak OSISnya yang iseng-iseng.
“Mars, dari kelas sebelah ada yang mau kenalan dan nyanyi nih! Boleh nggak?” tanya Mea dan semuanya sama seperti kelas X-3 memberikan koor yang kompak.
“yuk silahkan buat Luqman” kata Mea dan mempersilahkannya mengulangi apa yang tadi telah dilakukkannya di kelasnya. Mea hanya senyum-senyum memandangi Luqman yang berbuat hal yang memalukan berkali-kali. Lita, teman Mea yang menjadi penanggung jawab dikelas itu mendekati Mea untuk mengobrol.
“Stok bagus tuh Mey! Buat gue ya?!”
“Heh! Enak aja lo! Gue yang nemuin juga!”
“Lo kan udah punya Aji! Kan gue udah ngasihin Aji buat lo!”
“Udah buat berdua aja!” seru Mea mengambil jalan tengah. Selera Mea dan Lita soal cowok memang sama. Dulu sebenarnya yang pertama kali suka sama Aji adalah Lita, Mea hanya sebagai mak comblang karena Mea dekat dengan Aji, mereka sekelas dan tempat duduknya berdekatan serta sebagai sekretaris Mea sering menemani Aji. Namun karena keseringan bareng dan bertemu Mea jadi suka dengan Aji. Lita yang sudah bosan dengan Aji dengan seenaknya menyerahkan Aji pada Mea. Lita merupakan tipe cewek yang gampang jatuh cinta dan gampang melupakan, yang berbeda dengan Mea.
“Kak Mea, udah!” kata Luqman memanggil Mea.
“Oh, udah? Balik ke kelas yuk!” dan mereka kembali ke kelas.
Saat sampai di kelas X-3 bel istirahat berbunyi. Dan Luqman dengan sigap mengambil buku tanda tangannya dan menyodorkannya ke Mea sebelum ia pergi untuk istirahat.
“Kak, aku mau nagih janji kakak tadi!” serunya.
“Oh, ya udah. Nama kakak Shivery Mealexa, kelas XII IPA 1. Udah ya? Bye!” kata Mea dengan entengnya dan pergi tanpa tanda tangan di buku tanda tangan milik Luqman.
“Tunggu kak! Tanda tangan dulu dong!” panggil Luqman sambil berlari mengejar Mea yang sekarang sudah bergabung dengan Lita. Saat telah berhasil mengejar Mea dan mengimbangi jalannya, Luqman menyodorkan buku tanda tangan miliknya untuk ditanda tangani oleh Mea. Namun Mea yang sekarang mulai dikerubuti anak-anak baru yang juga ingin minta tanda tangannya tidak melambatkan kecepatan jalannya dan mengacuhkan mereka semua.
Semua mengejarnya hingga mendekati kantin mereka semua pergi untuk meminta tanda tangan yang lainnya, kecuali Luqman yang masih mengejar Mea.
“Kak, ayo dong kak! Kan tadi kakak udah janji!”
“Tadi emang aku janji tanda tangan ya?” tanya Mea dengan ketus yang akhirnya berhenti dengan Lita yang disampingnya berdiri kegirangan karena bisa melihat dari dekat cowok berondong incarannya ini.
“Kan tadi kakak bilang kalau aku mau memperkenalkan diri dan menyanyi di kelas X-3 dan X-4 aku bakal dikasih tanda tangan!”
“Kan tadi aku Cuma bilang aku kasih nama panjang aku. Aku nggak bilang kalau aku bakalan menandatangani buku kamu ini”
“Ayo dong kak! Kakak tinggal tanda tangan aja nih!” katanya merayu sambil menyodorkan bukunya.
“Hmmm…. Kakak mau tanda tangan kalau kak Lita dan kak Aji udah tanda tangan deh!” katanya.
“yah.. oke deh! Kak Lita, minta tanda tangannya ya?” pintanya berpindah dari Mea ke Lita.
“Oh, oke-oke! Sini!” serunya dan ia menandatangani buku tanda tangan milik Luqman dengan senang hati. Mea yang melihatnya melengos tak percaya Lita akan memberikan tanda tangannya dengan semudah itu.
Huh! Pantesan aja si Lita ini mau tanda tangan! Yang minta aja cowok cakep sih! Jadi dia mau tanda tangan! Tapi tenang aja! Si Luqman ini nggak bakalan gampang dapet tanda tangannya Aji! Dia kan ketus banget! Pasti dia bakalan susah minta tanda tangan Aji!
“tuh kak! Kak Lita aja udah kasih tanda tangan! Ayo dong kak tanda tangan!” pintanya.
“Kamu belum dapet tanda tangan kak Aji kan? Ya udah aku belum mau tanda tangan kalau belum ada tanda tangannya kak Aji!” kata Mea dengan ketus dan meninggalkan Luqman yang lemas kecewa.
“kak Lita!” panggil Luqman nggak lama kemudian.
“Iya ada apa?” tanya Lita dengan sok manis.
“tahu kak Aji ada dimana nggak?!”
“Oh, biasanya kalau sekarang dia ada di ruang sekretariatan OSIS! Kamu kesana aja!” jawab Lita dengan lancar. Dan setelah meneriakkan terima kasih ke Lita, Luqman langsung pergi menuju ke ruang sekretariatan OSIS.
Saat Luqman telah menghilang dari pandangan Mea dan Lita mengambil tempat dekat dengan penjual minuman setelah mereka masing-masing memegang segelas es jeruk yang segar di tangan.
“Lo apa-apan sih, Ta? Gampang banget ngasih tahu info dimana Aji! Gampang banget ngasih tanda tangan buat Luqman!”
“Hehe… dia cakep sih jadi gue kasih aja!”
“Dasar lo nggak bisa lihat cowok cakep!”

“oke, dengan ini MOS hari pertama selesai, kami harap kalian langsung pulang ke rumah ya? Jangan mampir-mampir!” kata Hadi menutup MOS di kelas X-3. Dan semuanya keluar kelas berhamburan. Anggota-anggota OSIS keluar dan berkumpul menuju ruang sekretariatan OSIS.
Di ruang sekretariatan OSIS, saat Mea melepas jasnya yang berwarna abu-abu itu, ia bertemu dengan Aji yang kebetulan baru masuk ke ruangan itu untuk memulai rapat eveluasi MOS hari pertama. Semua anggota OSIS telah duduk di kursi masing-masing sesuai jabatannya.
Mea tidak melapaskan pandangannya dari Aji yang sedang berbicara. Setiap perkataan Aji ia tangkap dan didengarkannya baik-baik. Ia benar-benar telah jatuh cinta pada Aji. Aji sangat keren. Kulitnya sawo matang dan rambutnya yang hitam diatur sedemikian rupa dengan gel rambut agar berdiri. Bola matanya cokelat, badannya six pack dan terlihat macho walaupun dalam balutan seragam sekolah.
“oke, sekian rapat evaluasi hari ini. Terima kasih atas kesediaan waktu teman-teman untuk menjadi panitia pelaksana MOS kali ini” kata Aji menutup rapat kali itu. Dan semua anggota OSIS berhamburan keluar. Mea yang sudah siap untuk pulang bergabung dengan Lita dan Ita yang sedang bersiap untuk pulang.
“Ita, gue boleh nebeng mobil lo nggak buat pulang?” tanya Mea.
“Mey, balik bareng yuk!” ajak Aji yang mendekati Mea sebelum Ita memberikan jawaban tebengan yang tadi ditanyakan Mea.
“Eh, tapi kan rumah kamu nggak searah sama aku, Ji”
“Nggak apa-apa. Aku anterin pulang ya?”
“Ehm, ya udah deh!” kata Mea sambil malu-malu dan pergi mengikuti Aji dari belakang. Lita dan Ita tersenyum iseng atas kejadian yang barusan terjadi.
Kalau kayak gini sih ketahuan banget kalau Aji juga ada hati sama Mea. Untung deh, Mey, kayaknya cinta lo kali ini nggak bertepuk sebelah tangan, pikir Lita dan Ita yang memang keduanya tahu kalau Mea menyukai Aji.
“OYA, MEY!! NANTI MALEM GUE TELEPON YAA?? LO KAN BELOM CERITA!!” teriak Ita sebelum Mea menghilang dari pandangan.
“OKE!”

Mea dan Aji sampai di parkiran tempat Aji memarkir sepeda motornya. Mea hanya menunggu Aji mengeluarkan sepeda motornya. Dan kemudian dari belakang ada yang mengagetkan Mea.
“Aduh, Luqman. Ada apa sih kamu kok ngagetin kakak kayak gitu?! Nggak lucu tahu!”
“Hehe… maaf kak! Kakak ngapain disini? Nggak pulang?”
“Kamu sendiri ngapain disini?”
“hah? Kok malah balik nanya? Aku kesini lagi mau nyegat kak Aji. Dia janji kalau aku berpendirian kuat dan mau berusaha untuk dapatin tanda tangannya dia bakal kasih, jadi aku disini mau minta tanda tangannya dia!”
“Man, kamu kok terobsesi banget sih buat dapat tanda tangan! Memangnya apa untungnya coba!?” tanya Mea.
“Aku cuma pengen eksis sih! Hehehe… nggak ding! Habisan seru aja maintain tanda tangan! Buku tanda tanganku udah mulai penuh lho, kak! Yang belum tanda tangan tinggal kakak sama kak Aji aja yang anggota OSIS, semuanya ngasih tanda tangan dengan baiknya. Aku merasa ada kepuasan tersendiri aja kalau aku berhasil mendapatkan tanda tangan kakak-kakak OSIS yang susah, ada perasaan menantang!” katanya sambil menyodorkan buku tanda tangan miliknya. Memang setelah dilihat-lihat oleh Mea, hanya tinggal dirinya dan Aji lah yang belum menandatangani buku milik Luqman tersebut.
Gila nih anak! Psyco! Baru hari pertama aja udah hampir penuh tanda tanganya! Mungkin dia jual tampang kali! Jadi yang lainnya pada mau tanda tangan gara-gara mukanya cakep, sama kayak Lita tadi yang dengan mudah memberikan tanda tangannya.
“Mey, ayo naik!” panggil Aji menyadarkan Mea yang sedang melamun yang sekarang sudah duduk di sepeda motornya yang sedang berhenti tepat disamping Mea.
“Ah, eh, iya” sahut Mea dan ia naik ke boncengan dibelakang Aji.
“Lo ngapain masih disini?” tanya Aji pada Luqman.
“Halo kak Aji! Seperti janji kak Aji, aku mau minta tanda tangan kakak!” seru Luqman dengan riang.
“Ini udah waktunya pulang! Dan gue udah nggak pake jas OSIS yang menandakan gue nggak lagi bertugas jadi OSIS!”
“Aduh, ayo dong kak! Tinggal tanda tangan aja! Disini nih!” pintanya sambil menunjukkan kolom yang masih kosong. Disamping kolom itu sudah tertulis nama lengkap Aji beserta kelasnya.
“Minggir! Sekali nggak tetap nggak!”
“Oh, gitu, kayaknya kak Mea belum tahu nih tentang kak Risa, apa perlu aku kasih tahu ya?” kata Luqman dengan nada mengancam pada Aji.
“Ah, eh, ya udah sini aku tanda tanganin!” kata Aji gelagapan dan menarik buku tanda tangan Luqman beserta pulpennya. Setelah selesai menandatangani, Aji menyerahkan buku tanda tangan Luqman beserta pulpennya dengan kasar.
“Nih! Awas lo kalau ngomong!” seru Aji dan langsung tancap gas pergi meninggalkan Luqman yang tersenyum kegirangan.

Malam harinya Mea masih belum tertidur, padahal waktu telah menunjukkan pukul speuluh malam. Ia hanya tidur-tiduran di kamarnya sambil memikirkan kata-kata yang tadi diucapkan Luqman mengenai Risa. Biasanya kalau jam segini dia belum tidur, Mea masih mengerjakan tugas, namun hari ini dia belum masuk ke kelasnya, jadi dia belum tahu ada tugas apa yang diberikan gurunya. Lagipula selama tiga hari ini dia masih diberi kelonggaran untuk tidak masuk kelas. Jadi dia tidak mengkhawatirkan pelajaran di kelasnya.
Duh, gue jadi kepikiran sama yang tadi dibilangin sama Luqman. Risa itu siapa ya? Kok Aji gelagapan gitu ya? Emang ada hubungan apa ya antara Aji, Risa, dan Luqman. Duh, siapa sih Risa? Apa gue sms Aji aja ya? Tanya langsung siapa Risa itu. Tapi tadi pas Aji nurunin gue di depan rumah dia sih udah ngomong buat melupakan apa yang tadi diucapkan Luqman. Udah ah, gue sms aja!
Ji,kmu udah sampe rumah blm?
Aji membalasnya semenit kemudian
Udh dr tadi
Mea membalas lagi
Ji,aq blh tanya?
Aji membalas
apa?
Mea membalas
Aq msh kpikiran tntng Risa
Nggak lama kemudian ringtone sms masuk di HP Mea berbunyi
Udh lupain aja!
Setelah membacanya Mea membalas
Wlwpn kmu blng lupain aja aq msh tetep kepikiran.Mendingan aq tw lngsng dr kmu kn drpda aq tw dr Luqman?Nti dy ngomong yg mcm2 lg..
Balasan sms dari Aji baru berbunyi setelah lima belas menit lebih Mea menunggu balasan dari Aji dengan pengharapan yang berlebih
Ok,bsk ku ksh tw
Mea agak kecewa membaca sms dari Aji, dia kira akan mendapatkan penjelasan mengenai Risa malam ini. Tapi nggak apa-apa deh! Yang penting besok Aji pengen cerita sama gue! Ada satu lagi rahasia Aji yang gue tahu! Pikirnya. Dan Mea membalas
Bnr ya?
Untuk balasan yang kali ini Aji membalas dengan cepat
mendingan kmu tidur,udh mlm
Agak kecewa juga Mea membaca sms balasan dari Aji ini
Oke deh klo gt.Met mlm
Di balasnya dengan pasrah
Sweet dream,princess of my heart
Untuk balasan terakhir dari Aji ini membuat Mea tersenyum kegirangan karena Aji memanggilnya princess! Apakah benar Aji juga ada hati sama Mea seperti yang di duga oleh semua teman dekat Mea?


 
Blogger design by suckmylolly.com