18 December 2008

Part 1, KBbS&AJ

Teeenggg!! Bel sekolah berbunyi. Namun, bunyi itu segera disambut oleh bunyi lainnya, yang segera membuat murid-murid berseru serempak,"Yaah!!" Yup, hujan deras telah melanda kawasan SMA ini. Karena dari pagi sampai siang tadi cuaca begitu cerah, tidak ada yang menyangka bahwa hujan akan turun. Makanya, kebanyakan murid tidak membawa payung, dan yang membawa payung pun segera diserbu oleh teman-temannya untuk nebeng pulang bareng.

Aku juga termasuk dalam salah satu murid-murid yang segera berseru kecewa bagitu hujan turun. Hari ini ada les, lagi! Kalau aku nggak sampai di sana tepat waktu, pasti bakalan dihitung sebagai absen oleh guru lesku yang nyebelin itu. Dan kalau sudah 5 kali absen, aku terancam dikeluarkan dari tempat les yang sekarang

Aku menatap suram jendela kelas yang kabur karena tertutup rintik air. Sebersit ide segera menyelinap masuk ke otakku. Oh, iya! Hari ini kan dia lagi nggak ada kuliah! Minta jemput dia aja, deh!!

Kuambil handphoneku, lalu menelepon nomor yang sudah amat kukenal itu.

"Halo? Assalamualaikum! Eh, lo jemput gue, dong! Ujan nih, gue kan ada les ntar jam empat!" kataku pada seseorang di seberang sana.

"Waalaikumsalam! Yeee...emang gue supir lo apa! Seenaknya aja minta anter jemput kemana-mana!" sungutnya.

"Eh, sekali-kali kan nggak ada salahnya nyenengin adek sendiri! Udah, nggak usah cerewet, buruan dateng!" balasku tak kalah sengit.

" Huuh!! Siapa suruh nggak bawa payung! Ya udah deh, gue jemput, dengan syarat lo mau nraktir gue bakso di ujung gang !" Sial. Masa aku mesti nraktir dia, sih? Yah, tapi nggak apalah, daripada dimarahin sama guru geblek itu. "Ya udah deh, deal!"

Yah, sudahlah, akhirnya aku nungguin dia dateng, sambil baca-baca majalah. Dan kira-kira setengah jam kemudian, dia datang, sambil membawa payung. Dia masuk ke teras sekolahku, dan ketika melihatku, dia tersenyum manis dan memanggilku, "Kayla! Yuk, kita berangkat!"

Begitu melihatnya, aku langsung tercengang. Nggak biasanya dia bersikap semanis ini padaku. Tapi, begitu melihat teman-temanku yang masih ada di sekitar teras takjub menatapnya, aku langsung paham. Dasar! Cari kesempatan buat tebar pesona aja, sih!

Segera saja aku mendekatinya, dan begitu yakin tidak ada orang yang melihat, aku langsung mencubit lengannya keras.

"Aduh!! Sakit tau! Emang gue ada salah apa sih sama lo?" katanya sambil meringis dan melompat menghindar.

"Dasar lebay! Lo tuh ya, ngapain sih pake tp tp segala di sekolah gue?" kataku merengut.

"Lah, ada peraturannya gitu kalo di sekolah lo nggak boleh ada acara tp segala?" katanya bandel.

"Eh, asal lo tau aja ya, gue nggak rela kalo sampe ada temen gue yang jatuh cinta sama lo! Bisa menderita tuh hidupnya!" balasku.

Sejenak ia terdiam, lalu mengeluarkan kunci mobil dan membuka pintu mobil. Aku kaget juga dengan perubahan sikapnya ini. Aku jadi merasa bersalah, mungkin ada kata-kataku yang sedah menyakiti hatinya.

Setelah duduk di kursi penumpang di sebelahnya, aku segera berkata,"Eh, lo nggak papa? Maaf ya, kalo gue kelewatan", kataku lirih.

Tiba tiba saja ia menatapku. Hampir saja aku terkecoh oleh ekspresinya, kalau ujung-ujung bibirnya tidak bergetar menahan tawa, dan matanya tidak bersinar jahil. Langsung saja, aku menimpuk kepalanya dengan tas kecil yang kubawa dari tadi, isinya baju olahraga.

"Aduh! sakit, tau! Lagian emang nggak bau apa!" katanya sebal.

"Bau, bau dari hongkong! ini baju nggak gue pake, tau! Dasar lo nya aja yang lebay!" kataku lebih sebal lagi.

Dia tertawa, dan kali ini dia menyetir mobil dengan perlahan. Sesampainya di jalan raya, ia mulai mengoceh lagi, "Eh, tau nggak sih, tuduhan lo tadi pagi nggak bener!"

Aku bingung. "Hah? yang mana?"

"Yang lo bilang gue nggak punya cewek itu. Yah, seenggaknya tuduhan lo itu nggak bener sejak tiga jam yang lalu. Gue baru aja nembak seorang cewek, dan dia bilang dia mau jadi pacar gue!" katanya sumringah.

"Hah, serius lo? selamet, ya! Eh, ngomong-ngomong, lo nembak cewek dari mana? Oh iya, berarti gue nggak mesti nraktir lo, dong! Kan gue belom dapet pj nya!"

"Hahaha, ya udah deh, karena gue baik, kali ini gue yang nraktir elo!"

"Wah? Kesambet apaan, nih? Makasih, ya!" kataku tulus.

Lagi-lagi, ia menganggukkan kepalanya dan tersenyum menatapku. Aku sempat tersenyum balik juga padanya, kalau saja aku tidak melihat sesuatu di tengah jalan. Ya ampun! Ada anak kecil yang sedang mengejar bolanya yang menggelinding ke tengah jalan!

"Kak, awas!!!" kataku panik. Dia segera membanting setirnya begitu melihat anak itu. Mobil yang kami naiki pun terpental akibat perubahan arah yang tiba-tiba. Aku tidak dapat melihat apapun kecuali pusaran warna-warna karena putaran mobil yang begitu cepat. Setelah itu, semuanya hitam.

Pembukaan KBbS&AJ

“Wooi!! Cepetan dong! Lama banget seeh!!” Aku segera turun dari tangga, dan nyaris terpental begitu sampai di dasar, karena tiba-tiba saja kakakku sudah ada di depan tangga. Untung saja ia segera memegang lenganku, menahanku agar tidak jatuh.

Aku segera menegakkan kembali badanku, namun baru saja aku mau mengucapkan terimakasih, ia sudah berkata lagi,”Jadi cewek tuh lelet banget, ya! Mau sekolah aja persiapannya ribet banget, sih!” Aku merengut, dan membalasnya dengan berkata,”Iya,iya! Gue ngerti kok ucapan orang yang nggak pernah punya cewek”, balasku. Dia menatapku, lalu langsung membalikkan badan dan berkata, “Bodo ah! Cewek satu aja dah ribet banget, apalagi kalo lebih! Mau gue anterin, nggak? Kalo mau cepetan, dong!” Ia berjalan menuju mobilnya dan membuka pintu. Kemudian ia melemparkan sebuah kunci padaku. “Nih! Bukain pagernya ya!”. Aku menangkap kunci itu, dan membuka pagar rumah sambil berteriak pada Mama yang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kami, “Ma! Kita berangkat dulu, ya!” Mama hanya melambaikan tangan sambil berkata, “Hati-hati di jalan, ya!”. Aku segera menutup pagar dan masuk ke dalam mobil yang segera melaju kencang di atas aspal.

08 December 2008

You and You : Tiga

“Mea!” panggil Aji dari kejauhan saat Mea memapah Luqman yang hendak masuk ke dalam taksi yang sudah dipesan.

“Iya, Ji, kenapa?” tanya Mea. Luqman telah masuk ke dalam.

“Kamu mau kemana?”

“Nganterin Luqman pulang, kan dia kasihan kakinya keseleo”

“Aku kan udah bilang sama kamu, Mey, jangan deket-deket dia!” katanya marah dengan berbisik.

“Maaf kak Mea, ayo buruan kita pulang, argonya jalan terus nih!” potong Luqman dari dalam.

“udah dulu ya, Ji! Gue mau nganterin dia pulang dulu. Kalau ada perlu besok aja ngomongnya atau nggak nanti malam lo nelepon gue aja” jawab Mea ketus.

“Mey, tunggu!” katanya menarik lengan Mea sebelum ia masuk, namun tarikkan itu ditepis oleh Mea, Mea masuk dan menutup pintunya dengan keras. Aji hanya bisa diam.

Apa gue udah melakukan hal yang membuatnya marah ya? Tapi gue menolaknya buat kebaikan dia sendiri kan? Dari pada gue nganggep dia Risa. Kenapa Mea berubah? Apa dia nggak bisa terima? Oh, Tuhan… kenapa gue nggak bisa lepas dari bayang-bayang Risa? Ris, lo saking dendamnya sama gue ya? Semuanya akan lebih mudah kalau Mea nggak mirip kamu, Ris. Apa yang harus gue lakuin? Kalau gue terima, gue egois, nggak mikirin perasaan Mea, tapi kalau gue tolak kayak gini, hati gue yang resah melihatnya dekat dengan cowok lain, terlebih-lebih Luqman. Mau ngelarang juga, dia bukan siapa-siapa gue! Ah… gue bingung!

“Ji, lo kenapa sih? Kayak orang gila deh! Bengong aja! Ada masalah apa sih? Kok tadi gue lihat Mea balik bareng Luqman? Biasanya kan bareng lo?” tanya seseorang yang ada di sampingku.

“Eh, lo, Ta. Dari kapan lo ada di samping gue?”

“dari tadi sehabis Mea pergi naik taksi. Memang ada masalah apa sih? Kok tadi kayaknya Mea kasar banget sama elo?”

“Oh, iya, lo kan sahabatnya Mea, lo tahu kalau dia suka sama gue?”

“ya iyalah… Emang ada masalah apa??”

“gue bakalan cerita kalau lo mau janji sama gue buat bantuin gue baikan sama Mea ya?” tanya Aji saat itu juga saat ide gila itu muncul di kepalanya.

“Emang lo berantem sama Mea?”

“Nggak berantem sih, gue cuma nolak dia… tapi menurut lo etis nggak sih kalau gue yang udah nolak dia terus menuntut dia untuk nggak dekat dengan cowok lain, terutama Luqman”

“Oh, jadi Mea udah lo tolak, ya pantes aja dia jadi kasar sama lo! Dia tuh masih kayak anak kecil kali! Jadi kalau lo tolak, dia bakalan mendingin malah cenderung menjauh dari lo! Lo juga seharusnya nggak boleh ngelarang dia dekat sama cowok lain lah! Gue juga bakalan marah kali kalau digituin! Emang kenapa sih lo nolak dia? Apa coba kurangnya dia? Lo sama dia kan udah klop banget dari kelas satu. Yang satu manis, yang satu ganteng”

“Ada lah alesannya tersendiri! Menurut lo mendingan gue jalan sama dia dengan perasaan ragu-ragu kalau gitu?”

“Ya nggak gitu juga sih. Emang kenapa sih? Gue janji deh nggak bakalan bilang siapa-siapa!”

“gue masih belum yakin sama perasaan gue ke dia. Duh, gue bingung banget nih! Apa yang harus gue lakuin sih?”

“gue juga nggak tahu sih, Ji. Gue nggak pernah mangalami yang seperti ini. Yah… saran gue sih lo ikutin aja! Selain itu, yang musti lo inget, awas lo kalau nyampe bikin Mea nangis! Lo berhadapan ama gue! Gue nggak bisa menyarankan yang lebih spesifik seperti seharusnya lo terima dia atau lo tolak dia. Kalau perasaan lo bilang nggak, ya nggak usah lah! Yang jelas kalau sekarang-sekarang gue saranin lo jangan dekat-dekat aja dulu sama Mea, perasaan cinta dia ke lo yang udah dipupuk selama ini, nggak bisa dengan mudah begitu saja dilupakan dalam satu hari, jadi lo harus beri waktu ke dia untuk melupakan rasa cinta itu. Maaf, Ji gue nggak bisa bantu lo. Gue netral!”

“tapi kalau gue nggak mau dia melupakan rasa cintanya ke gue gimana? Seperti yang lo tahu hati gue masih ragu. Dan gue maunya kalau hati gue udah tahu apa yang gue inginkan, dia selalu ada buat gue”

“Kalau kayak gitu mah elonya yang egois! Biarin aja dia melupakan lukanya yang telah lo buat. Biarkan lukanya menutup, kalau emang lo dan dia jodoh, walaupun dia udah melupakan cintanya buat lo, ujung-ujungnya dia bakal jatuh cinta lagi sama lo! Oya, udah dulu ya? Gue udah dijemput tuh! Bye!”

“Bye!”

“Oya, kalau ada perkembangan certain ke gue ya? Soalnya Mea selalu menutup diri sih!”

“Iya, thanks!”

“Tadi kenapa kok kasar banget sama Aji?” tanya Luqman memecah keheningan di dalam taksi.

“ah, eh, rumah lo dimana?”

“Tadi gue udah bilang ama supirnya alamat rumah gue, nggak usah dikhawatirin, yang penting, sekarang lo belum jawab pertanyaan gue, tadi kenapa kasar banget sama Aji? Bukannya lo suka sama dia?”

“Udah lah nggak usah diomongin!”

“Oh, ya udah, gue juga nggak maksa sih, tapi, kalau lo mau cerita ama gue tentang Aji atau nanya-nanya, lo bisa calling gue”

“Ya udah, itu gampang lha…”

Tak terasa perlahan-lahan taksi yang ditumpangi Luqman dan Mea berhenti di sebuah rumah besar dengan halaman yang hijau dan asri dengan pagar putih yang kecil, dan dikejauhan terlihat sebuah rumah kecil putih yang terlihat nyaman.

“Hah? Jadi ini rumah lo?” tanya Mea saat mereka telah turun dari taksi.

“Iya”

“Jadi, rumah ini, rumah lo?” mengulang pertanyaannya tidak percaya.

“Iya, eh, nggak ding! Ini rumah bokap-nyokap gue, gue cuma numpang tinggal sama mereka!”

“Ya itu mah sama aja rumah lo!”

“Ya beda dong, udah lah emang kenapa sih? Mau mampir?” tanya Luqman sembari berjalan menyusuri jalanan beraspal yang mengarah kerumah kecil putih tersebut.

“Mau banget! Lo tahu, rumah gue juga di kompleks perumahan ini lho!”

“Nggak. Nggak tau, baru dikasih tau sih barusan ama lo!”

“Setiap berangkat sekolah atau pulang sekolah, gue selalu nyempet-nyempetin lewat depan rumah ini cuma buat ngelihat rumah ini. Gue suka banget sama rumah lo ini, kelihatan asri! Adem aja gitu kalau melihatnya!”

“Oh, yaudah!” jawab Luqman singkat.

“Ikh! Kok responnya cuma gitu doang sih! Ngomong apa kek! Ngomong ‘lo boleh kok main-main kesini’!” tandas Mea marah.

“Jadi lo berharap gue nyuruh lo main ke rumah gue terus gitu?”

“Ya nggak terus-terusan sih! Ya seenggaknya basa-basi kek! Gue tuh penasaran tahu pengen jalan-jalan di taman ini!”

“Kapan-kapan aja ya jalan-jalannya? Kalau kaki gue udah sembuh. Jadi, biar gue bisa nemenin lo jalan-jalan di taman gue ini”

“Janji ya?” tanya Mea sambil menyodorkan kelingking kanannya.

“Apaan nih maksudnya?”

“Janji kelingking. Masa nggak tahu sih!?”

“Oh, iya deh!” sahut Luqman dan ia menambatkan kelingkingnya di kelingking Mea. Berjanji kelingking.

“Hmph…hahahahahahahahahaha” tawa Luqman setelah ia melepaskan kelingking kanannya dari Mea.

“Kok malah ketawa sih!!??” tanya Mea keki.

“gue ngerasa lo tuh lucu aja! Terkhir gue berjanji jari kelingking tuh pas gue kelas 2 SD tahu! Gue nggak nyangka nyampe sekarang masih ada yang beginian!”

“hih… sebel gue!! Nggak usah ngetawain kek! Udah deh gue pulang aja!” seru Mea keki.

“sori… sori… jangan pulang ya, Mey? Please… gue kan belum berterimakasih sama lo! Gue juga belum menyuguhkan teh buat lo!”

“Hah? Ngapain menyuguhkan teh buat gue?”

“it’s tradition. In my family, you must give someone who was help you, for pay your owe to her or his. Mungkin ini nggak adil, tapi seenggaknya seperti itu, lagipula lo kan juga tamu, dan tamu harus disuguhi teh kalau bertamu”

"Kok teh sih? Apa nggak ada yang lain? Orange juice gitu?"

"Keluarga gue menganut sistem tehisme! Jadi di rumah adanya teh yang biasanya disediain. Kalau mau yang lain musti beli dulu. Dan karena kaki gue lagi sakit, masih mending lo gue kasih teh!"

“Oh, yaudah deh terserah lo aja!”

Pintu rumah Luqman sangat bergaya vintage, warnanya putih dengan ukiran-ukiran jawa. Di samping kiri dan kanannya terdapat sepasang tanaman rambat yang cantik dengan beberapa bunga-bunga yang indah berwarna merah, kuning, oranye, dan pink.

“Yuk, masuk!” panggil Luqman. Aku pun masuk sesuai ajakkan Luqman. Di dalamnya, sangat berbeda dengan tampak depan rumahnya yang bergaya eropa, semuanya khas jawa, ukiran-ukiran di dinding, sofanya yang terbuat dari kayu jati yang sepasang dengan meja dan buffetnya, diatas meja ada beberapa camilan kue-kue kering di dalam stoples yang disediakan dengan gambar-gambar batik, dan lantainya kayu jati yang hangat.

“Duduk dulu, lo mau minum apa?”

“Lho? Tadi katanya mau bikinin gue teh?”

“Oh, maksud gue tuh kalau lo mau teh, mau teh apa? kan ada earl grey, teh hijau, teh hitam, teh oolong, teh poci, teh susi, teh nani, dan teh-teh lainnya” jawabnya dengan lawakkan yang sangat jayus.

“Hahaha” tawa Mea garing.

“Udahlah apa aja yang menurut lo paling maknyus!” sambungnya.

“Oh, terus mau pake es atau panas?” tanya Luqman di pintu ruang tamu sebelum meninggalkan Mea menuju dapur untuk membuat pesanannya.

“Berisik banget sih! Udah buruan! Pake es deh! Udah haus nih!”

“Hehehe maaf… sebentar ya nona manis..” dan detik selanjutnya Luqman sudah menghilang dari pandangan.

Gila nih Luqman! Rumahnya benar-benar rumah impian gue! Rumahnya Aji kayak gimana ya? Calon rumah gue! Hush! Nggak boleh berharap! Lupain Aji! Cari yang lain! Pikirnya menggelengkan kepalanya sendiri.

“Kak Risa?!” panggil seorang gadis dengan kaget pada Mea, mengembalikannya ke dunia nyata dari lamunannya.

“Eh, ah, sori! Kamu siapa ya?” tanya gadis itu yang berumur sekitar 13 atau 14 tahunan yang menatap Mea dengan pandangan aneh.

Gadis itu mengenakan pakaian tennisnya dengan raket tennis yang di sandangnya di dalam tas tennisnya. Tangan kanannya membawa sebuah bungkusan hitam yang berembun. Rambutnya di kuncir ponytail. Wajahnya mirip sekali dengan Luqman, seperti Luqman memakai wig hitam berkilau. Luqman versi cewek.

“Eh, aku? Halo, aku Mea. Temannya Luqman” jawab Mea dengan mengulurkan tangan kanannya pada gadis itu untuk berkenalan.

“Oh, halo, aku Isha, adiknya Kak Luqman. Kakak mau ketemu kak Luqman? Tapi kayaknya kak Luqmannya belum pulang deh kak!” serunya sotoy.

“Apanya yang belum pulang!? Dia bareng gue tauk!” seru Luqman ikut-ikutan. Luqman masuk ke ruang tamu dengan dua gelas es teh di tangannya.

“Eh, kakak…”

“Udah sana gih masuk en mandi! Bau tauk! Nanti bilangin mama nih lo gangguin tamu gue!”

“Iya-iya” jawab Isha dengan menurut dan ia pun naik ke atas tangga yang ada disamping pintu yang tadi menuju ke dapur.

“Diminum, Mey”

“Iya” jawab Mea dan ia menyeruput esnya. Segar…

“Hmm… Man, nggak apa-apa kali, gue nggak merasa terganggu kalau ada Isha”

“Iya, lo kagak keganggu, tapi gue merasa terganggu tauk! Dia tuh biang gossip di rumah ini!”

“emang lo berapa bersaudara?”

“Banyak! Ada sodara dari nyokap, ada sodara dari bokap”

“Bukan… maksud gue yang tinggal disini! Yang sodara kandung lo!”

“Oh, Ada bokap, nyokap, gue, adek gue tuh si Isha yang esempe, ama kakak perempuan gue plus suaminya yang masih ngikut ama bonyok gue”

“oh, kok sekarang sepi ya rumah lo ini??”

“Kalau sore-sore gini iya. Pokoknya dari jam 8 pagi sampe jam 7 malam nanti yang ada palingan cuma gue ama Isha, ama pembantu kalau itu juga diitung. Bonyok gue kerja, kakak perempuan gue, kak Anna, ngajar, kakak ipar gue kak Faridz juga kerja.”

“Rame banget ya keluarga lo”

“Iya. Apa lagi kalau ada arisan keluarga, kan kebetulan bonyok gue emang anak pertama dua-duanya, jadi rumah gue dijadiin pangkalan keluarga mulu kalau ada acara. Makanya bokap nyari rumah yang ada tamannya yang gede, selain buat nyenengin nyokap yang suka berkebun, kalau ada acara kan tinggal gelar tenda tuh di taman. Kagak mahal-mahal!”

“Isha kenal sama Risa ya? Kok tadi manggil gue Risa??”

“Iya. Risa itu sudah seperti saudara kembarnya Isha, kemana-mana maunya berdua mulu. Makanya namanya Isha, katanya mirip-miripin sama namanya Risa, kan Isha-Risa tuh!”

“Hahahaha… ada-ada aja… emang nama aslinya siapa?”

“Itu nama aslinya kali, tapi dulu sebelum ketemu Risa, nama panggilannya bukan Isha, tapi Dee. Nama panjangnya Aulia Dennisha Putri.”

“Hahaha… bener juga ya? Eh, gue pulang dulu ya?? Takut kesorean!”

“Oh, yasu. Lo pulang naik apa? Perlu gue anterin nggak?”

“Nggak, nggak usah, kan tadi gue bilang rumah gue deket dari sini.”

“Thanks ya udah nganterin aku, KAK MEA!!” seru Luqman saat Aku melangkah pergi menuju pagarnya yang putih.

Esok paginya…

“Mey, bisa ngomong bentar nggak?” tanya Aji saat aku dan dua orang temanku yang lain, Lita dan Ita sedang tertawa cekikikan di kantin. Hari ini adalah hari MOS terakhir, besok sudah masuk ke rutinitas yang seperti biasanya.

Aku menanyakan apa aku harus ikut Aji untuk ngomong empat mata dengan kerlingan pada teman-temanku yang dibalas dengan anggukan. Dan aku mengangguk pada Aji dan mengikuti kemana Aji pergi. Aji mengajakku ke belakang sekolah yang sepi yang biasanya dijadikan tempat nongkrong anak-anak yang membolos pelajaran.

“Kenapa, Ji?” tanyaku berusaha sedatar mungkin.

“Eh, emm masalah yang kemarin, aku mau minta maaf”

“buat?”

“Iya, aku minta maaf karena aku sudah menolakmu. Saat itu aku nggak bisa berpikir jernih. Aku seneng banget waktu kamu bilang kamu berharap lebih dari aku. Berarti aku nggak bertepuk sebelah tangan sama kamu. Aku nggak bisa terima kamu karena kamu mirip sama Risa, Mey! Kamu udah tahu kan pastinya dari Luqman. Tapi aku juga suka sama kamu, aku hanya masih belum yakin akan perasaanku”

“Terus intinya?”

“Intinya, aku berharap kamu mau menunggu hingga aku yakin akan perasaanku padamu, aku nggak mau kamu melupakan rasa cintamu padaku. Bisa nggak harapanku itu terkabul?”

“Kita lihat aja nanti. Aku nggak bisa menjanjikan perasaanku ini akan selalu ada untuk mu. Hidup ini selalu berputar, bisa aja suatu hari nanti aku menemukan the another Mr. Right. Rasa cinta ini mungkin sampai hari ini masih ada sama kamu, tapi siapa yang bisa menebak hari esok? Kalau kamu memaksakan agar aku tetap mencintaimu dan menunggumu yakin akan perasaanmu, kamu sangat egois dan aku nggak mau penantianku nanti hasilnya sia-sia belaka. Siapa yang bisa menebak kapan kamu akan yakin dengan perasaanmu? Bisa aja 5 tahun lagi? 10 tahun lagi? Atau 50 tahun lagi? Kalau misalnya benar sampai 50 tahun lagi kamu baru yakin akan perasaanmu padaku, saat itu sudah bagaimana aku? Tua dan keriput! Itupun kalau misalkan umurku bisa sampai segitu. Aku hidup bukan hanya untuk kamu. Aku hidup untuk tuhanku, untuk diriku sendiri, dan untuk orang-orang disekitarku yang menyanyangiku. Aku nggak bisa menjanjikan hal itu, maaf. Toh kalaupun kita memang berjodoh, suatu hari nanti kita akan dipersatukan. Oh iya, jangan lupakan juga, ikan yang telah kamu lepaskan adalah ikan yang besar yang nantinya akan kamu sesali tidak menangkapnya. Permisi, aku harus masuk ke kelas” jawabku bersamaan dengan berbunyinya bel masuk dan aku meninggalkan Aji sendirian.

“Halo, kak Mea!” seru seseorang saat aku sedang bengong di sela ISHOMA. Aku sedang duduk termenung sendirian di kantin sekolah karena Lita dan Ita, partner in crime ku sedang menunaikan salat Dzuhur.

“Oh, lo, Man. Kenapa?”

“Nggak salat?”

“Biasa, cewek kalau tiap bulan nggak salat. Lo sendiri?”

“udah. Lo nggak makan?”

“udah kenyang”

“Ya udah deh, gue boleh makan disini?” tanyanya. Ku lihat ia membawa semangkuk soto ayam dan segelas es jeruk yang terlihat sangat menyegarkan.

“Boleh. Nggak ada yang ngelarang”

“Kali aja ketua lo yang cakep itu nantinya ngomel-ngomel lagi”

“Nggak usah pikirin Aji deh!”

“oh, ya udah. Eh, tadi pas istirahat pertama, gue ngelihat lo ngomong empat mata ama Aji di belakang sekolah, ngomongin apaan?”

“Lo nguping ya?”

“tadinya sih mau nguping, cuman ketahuan ama kak Lita dan kak Ita. Jadinya gue pergi aja en jadi malah mereka yang nguping”

“Dasar tuh anak berdua! Awas aja nanti kalau ketemu gue jadiin dendeng!”

“Hahhahhaa…. Bahaya tuh! Terus lo ngomongin apa ama Aji?”

“Hffhhh… emang penting yang gue cerita ama lo?!” seru Mea dan langsung beranjak dari kantin sambil berlari.

“Duluan ya?! Bye!” teriaknya.

Mea… mea… kenapa sih lo mesti mendem perasaan lo sendiri? Aji emang cowok brengsek yang udah bikin dua orang wanita yang mirip jadi sakit hati… Andai lo tahu, Ji, apa yang terjadi sama Risa dulu…

Malam harinya di kamar Aji…
Mea…
Kenapa nama itu selalu ada dipikiranku?
Aku takut untuk dekat denganmu…
Tetapi aku tak bisa jauh darimu…
Melihatmu bersama pria lain, mambuat monster dalam diriku meraung-raung...
Kenapa kamu mirip sekali dengannya…
Semuanya mungkin akan jauh lebih mudah jika kalian berbeda…

Jika cinta biarkanlah aku jadi cinta…
Jika sayang biarkanlah aku jadi sayang…
Hatiku ini miliknya, tuhan tolong…
Jangan jodohkan, dia dengan yang lain…

“Mey, Pak Har katanya nggak bisa nganterin kamu lagi” kata mama pada malam harinya saat aku sedang tidur-tiduran di rumah sambil membaca novel favoritku dan mendengarkan ipodku yang berisi lagu-lagu favoritku.

“Hah?! Kenapa, Ma?” tanyaku kaget beranjak dari posisi tiduranku dan melepas earphone ipodku.

“Katanya udah nggak mau lagi, udah nggak kuat buat narik ojek! Maklum udah tua!”

“Yah.. terus besok aku gimana, Ma?”

“Naik angkot dulu aja ya? Nggak apa-apa kan??”

“Yah.. Mama…”

“Cuma besok aja kok! Nanti mama carikan penggantinya besok!”

“Bener ya cuma besok aja?”

“Iya… nanti mama tambahkan uang jajanmu besok”

“Okeh deh, Ma!”

Halo, Mey, lagi apa?


Lagi ngapalin biologi! knp, Man?


Oh, gue ganggu?


Gak. Knp?


Lagi pengen sms lo aja!


Oh.. yasu, mau ngomongin apa?


Ada kabar?

Kabar? palingan cuma kebanyakan tugas! Nothing so important!


Oke-oke. Ada yg lain?


Ngapain sih nanya-nanya mulu?


Nggak suka ya?


Iya!


Maaf


Hehehe… bercanda! Kalo mau kabar, gue lagi bt ama tukang ojek yang biasanya langganan nganterin gue! Jadilah besok gue ngangkot!


Knp?


Dia nggak mau ngojekin gue lagi!


Oh, ada kabar baru tentang Aji?


Hfff... ngapain sih ngomongin dia! Bikin gue bete aja!


Maaf


Udah ya, gue ngantuk!


Met tidur!


Iya! Lo juga!

“Ma, aku berangkat dulu ya?”

“Hati-hati di jalan ya, Nak!”

“Iya, ma!”

Hfff… aku dengan berat hati melangkahkan kakiku keluar rumah untuk berangkat sekolah. Aku paling nggak biasa naik angkot untuk berangkat ke sekolah. Alasannya simpel, males hanya bisa duduk didalam mobil yang penuh dan pengap sedangkan diluar macet dan sebentar lagi bel masuk di sekolah berbunyi. Makanya, aku lebih suka untuk naik sepeda motor untuk berangkat sekolah, lebih cepat. Maunya sih bawa motor sendiri, tapi mama dan papa sangat overprotektif sama motornya, perlu ku ulang lagi, MOTORnya! Orang tua apaan tuh! Bukannya khawatir sama anaknya, eh, malah sama motornya! Takut kalau kecelakaan motornya rusaklah, takut aku nggak bisa ngerawat motor terus jadi rusak mesin motornya, takut kalau aku dipalakin anak nakal terus motornya diambil lha, takut aku melanggar peraturan lalu lintas terus motornya di sita lha sama polisi, takut STNKnya diambil lha, hhhfff... dasar orang tua!

Aku keluar dari gerbang rumah dan menutupnya kembali dengan keadaan yang tidak terkunci, bukannya nggak peduli, tapi aku percaya sama keamanan di kompleks rumahku.

“Pagi!”

“Astagfirullah! Allahu laa ilaha ila huwal hayyul qayyum!”

“Heh! Enak aja! Emangnya gue setan?!”

“hehehe... maap..maap.. habisan lo ngagetin gue ajah!”

“Iya deh… bareng yuk!” ajak Luqman dari atas motornya.

“Naik itu?!” tanyaku aneh menunjuk pada motornya. Motornya adalah motor Honda Scorpion yang pastinya nggak pewe banget kalau ngebonceng dengan pakai rok panjang.

“Iya lah! Naik apa lagi? Udah mending gue jemput!”

“Bentar ya? Gue ke dalam dulu!” kataku dan langsung ngibrit ke dalam rumah.


“Maaf lama!” kataku terengah-engah saat tiba lagi di hadapan Luqman.

“Iya! Lama banget! Ngapain sih?”

“tada! Lihat deh!” kataku sambil mengangkat rokku tinggi-tinggi.

“Woi!! Aurat!!” teriak Luqman sambil menutup matanya sendiri.

“Yee… lihat dulu dong!!”

“Nggak! Gue masih suci!!”

“Siapa yang mau kasih lihat badan gue ama lo?! Dasar mesum! Gue cuma mau kasih lihat kalau gue pakai legging buat mengakali naik ke motor lo!”

“Eh, iya..iya...” katanya membuka matanya dan melihatku.

Aku ngengir jahil. Dia tersenyum manis. Kami tertawa terbahak-bahak bersama.

“Ayuk lha!!! Naik! Nanti telat!” katanya.

“Oke” aku pun naik dengan mudah karena sudah memakai legging.

“Cie… yang bareng sama Luqman….” goda Lita saat aku sampai di kelasku. Aku mengacuhkannya dan langsung mencari tempat dudukku di samping Ita. Lita mengikutiku dari belakang.

“Yaahh... kok diam aja? Cerita dong!” rayu Lita.

“Eh, ada berita apaan?” tanya Ita yang sedang membaca komik langsung mengalihkan padangannya ke Lita.

“Hehehe..... gue nggak berani ngomong! Takut nona ini marah!” jawab Lita. Aku hanya merengut memandang mereka berdua yang tersenyum-senyum najis.

“Apaan sih? Nggak ada yang lebih!” jawabku akhirnya.

“Bohong! Tadi gue lihat lo datang bareng Luqman!!” seru Lita.

“Ya terus kenapa?” tanyaku.

“Ya pasti ada sesuatu!” jawa Ita.

“Eh, itu An Ancient Love Story yang baru ya? Pinjem dong!” seruku menunjuk komik yang dipegang Ita untuk mengalihkan pembicaraan.

“Udah nggak usah mengalihkan pembicaraan!”

“Iya-iya! Tadi pagi memang gue bareng Luqman!”

“Terus?”

“Terus apaan lagi? Ya memang hanya itu aja!”

“Masa? Lo nggak merasa berdebar-debar?”

“Ya iyalah jantung gue berdebar!”

“Ciee...” seru mereka serempak.

“Ya kalau nggak berdebar berarti gue mati dong! Nggak pernah belajar biologi ya bu? Dua tahun ini ngapain aja??” sambungku.

“Nggak-nggak-nggak, Mey, lo lebay-lo lebay!” jawab Lita.

“hehehe…”

“Ayo dong, Mey, cerita…”

“Udah cuma itu ajah memang mau apa lagi!?”

“Yah.. Mea nggak asik nih!!” seru mereka kompak.

“Cie… yang bareng sama Luqman….” goda Lita pada Mea yang baru tiba di kelas.
Itulah kalimat yang mengagetkanku pagi ini. Hah? Mea bareng sama Luqman? Kenapa? Aku berusaha untuk mencuri dengar pembicaraan Mea, Lita, dan Ita yang kebetulan duduk di belakangku. Namun apa boleh buat, mereka membicarakannya dengan berbisik, maka aku tidak dapat mendengarnya.

Monster dalam diriku meraung-raung terbakar api kecemburuan. Ingin rasanya aku berteriak, memaki, dan membanting barang-barang di sekitarku. Apakah secepat itu Mea melupakan rasa cintanya padaku? Apa yang membuat Mea dapat melupakanku? Apakah ini balasan dari Tuhan atas semua yang telah kulakukan? Inikah balasan atas kesalahanku menolak Mea?

Ya, aku hanyalah orang nista yang penuh dengan dosa dan api cemburu. Kesalahanku pada Risa tidak dapat semudah itu termaafkan, lalu aku menambah daftar kesalahanku lagi dengan menolak Mea. Apakah tidak ada balasan lainnya dari Tuhan yang lebih mudah dari hal ini? Kenapa selalu Luqman yang dapat menarik perhatian kedua wanita yang bertengger di singgasana hatiku? Apakah yang dimilikinya sementara aku tidak memiliki?

Laporan pertanggung jawaban yang diberikan Ama yang harus kuperiksa sedari tadi hanya kupandang dengan tatapan yang kosong. Ketua OSIS macam apa aku ini?! Aku tidak dapat berlaku professional dengan tidak melibatkan urusan pribadi dengan urusan OSIS. Padahal aku selalu berpesan pada rekan-rekan OSIS ku pada setiap akhir rapat untuk tidak melibatkan urusan pribadi dalam organisasi. Kini kalimat itu bagaikan harimau yang menerkamku sendiri. Hhhhffffff…….

Jarkom: bwt smw anggota OSIS, pulang sklh nanti ada rapat dngn pokok pembicaraan lpj yg akan dipertanggungjawabkan dihadapan mpk sabtu nanti

Ting tung ting tung…

“Mea!!!” panggil seseorang saat aku sedang berlari menuju ruang kesekretariatan OSIS.

“Kenapa, Luqman??” jawabku menghentikan langkah dan berbalik menghadapnya.

“Pulang bareng yuk!”

“Duh, maaf, gue masih ada rapat! Baru selesai nanti sore, lo balik duluan aja!”

“Oh, ya udah! Good luck ya dengan rapatnya!” serunya dan dia langsung berlari menghilang di tikungan menuju kantin sekolah.

“demikianlah rapat kali ini kita tutup, berdoa dipersilahkan. Berdoa selesai” kata Aji menutup rapat yang berlangsung hampir 3 jam ini.

Saat ini waktu menunjukan pukul 17.30. Semua anggota OSIS dengan tas mereka masing-masing berhamburan keluar dari ruangan kesekretariatan OSIS. Namun dihadapan mereka menyambutlah awan kelabu dengan halilintar menyambar-nyambar, hujan belum turun, namun cuaca menunjukkan kalau akan turun hujan yang sangat deras.

“Duh, Lit, lo balik gimana?” tanyaku pada Lita.

“Gue nungguin cowok gue jemput!” jawabnya singkat, pada detik berikutnya dia pergi setelah membaca sms yang masuk di ponselnya.

“Kalau elo, Ta?” tanyaku pada Ita.

“Lo mau nebeng? Duh maaf, mobil gue lagi di bengkel, jadi mungkin nanti supir gue jemput pakai motor”

“Duh.. gimana nih? Masa gue naik angkot?!”

“Mey!” panggil seseorang.

“Eh, kenapa, Ji?”

“Kebetulan hari ini gue bawa mobil, soalnya tadi pagi di rumah gue hujan, gue anterin lo pulang ya?”

“Eh, ah, nggak usah, Ji, gue… gue… gue…”

“Dia bareng gue, Ji!” potong Luqman menyelamatkanku.

“Bareng lo?” tanya Aji memastikan.

“I.. iya! Gue bareng Luqman! Duluan ya, Ji!” kataku dan langsung menarik lengan Luqman menjauh dari Aji.

“Makasih ya tadi udah nyelametin gue! Gue nggak tahu harus bagaimana bersikap kepada Aji kalau nantinya memang gue satu mobil sama dia!” kataku memulai pembicaraan saat Luqman mengeluarkan Honda Scorpionnya dari tempat parkir.

“Nggak apa kok!” jawabnya singkat.

“Lo dari tadi belum pulang? Memang ada acara apaan?”

“Nggak ada apa-apa, gue nungguin lo”

“Makasih ya?” kataku, dan Luqman hanya mengangguk dibalik helm hitamnya. Aku naik ke kursi penumpang di belakang Luqman dan memegang pinggang Luqman erat-erat saat Luqman menancapkan gas.

Shit!! Kenapa gue kalah lagi dari Luqman!? Sikapnya barusan fuck banget! Barusan Luqman dan Mea lewat di depanku yang sedang mengeluarkan mobilku di tempat parkir. Apa-apaan dia?! Kalau memang dia sayang sama Mea, harusnya Mea yang menggunakan helmnya! Kan bahaya sekali tidak memakai helm! Selain itu seharusnya kalau naik motor, Mea mengenakan jaket kulit yang dipakai Luqman! Bukannya sweater merah mudanya yang tipis itu! Dasar Luqman! Awas aja kalau Mea sampai sakit!

Aku mengemudikan mobilku keluar dari lingkungan sekolah, namun saat mobilku berada di depan kompleks sekolah, hujan turun mengguyur Jakarta dengan derasnya, angin bertiup sangat kencang dan suara air-air hujan berjatuhan dengan deras di atas ford escape kesayanganku bak bebatuan yang dijatuhkan secara membabi buta. Untung hari ini aku membawa mobil. Apa Mea baik-baik saja ya? Apa Luqman membawa mantel hujan untuknya?

Jawaban atas pertanyaan gue terjawab saat mobil ini melewati salah satu halte bus yang ada di dekat sekolah. Bersama dengan pengendara motor dan pejalan kaki lainnya, Mea dan Luqman berlindung dari hujan di bawah naungan atap halte bus, walau begitu, tidak cukupnya tempat untuk berbagi dengan orang yang berteduh disana membuat badan mereka ikut basah kuyup walaupun mereka berada dibawah naungan atap halte bus. Perlahan ku tepikan mobilku ini ke halte bus, dan kubuka jendela di sisi kiri untuk berbicara dengan Mea.

“Mey, ayo naik!” teriakku. Mea hanya menggeleng.

“Ayo, Mey!” bujukku. Dia tetap menggeleng.

“Ji, kalau dia nggak mau jangan maksa dong! Udah jalan sana! Macet tuh!” kata Luqman membela Mea saat aku membujuk untuk ketiga kalinya.

“Lo harusnya nggak ngomong gitu! Lo nggak kasihan apa sama Mea yang basah kuyup kedinginan kayak gitu?! Lo harusnya bantuin gue buat ngebujuk Mea, kan kalau gue yang anterin, dia nggak bakalan kehujanan! Di dalam mobil gue cukup hangat dan disini ada handuk!”

Hening sesaat. Tak ada yang berbicara, yang terdengar hanyalah suara hujan yang semakin deras dan bunyi klakson kendaraan bermotor yang berada di belakang mobilku.

“Mey, udah sana gih lo ikut Aji! Apa yang dibilang Aji bener, Mey. Lo nggak usah menghawatirkan gue, gue bisa pulang sendiri”

“Nggak! Gue nggak mau biarin lo sakit sendiri!” jawab Mea kukuh.

“Mey, gue janji, gue nggak akan sakit, sana naik ke mobilnya Aji. Oh iya, pakai jaket gue, nih! Ini jaket kulit, jadi lo nggak akan kebasahan saat menerjang hujan” kata Luqman seraya menyerahkan jaket kulitnya pada Mea. Mea menurut, memakai jaket Luqman dan masuk ke mobil Aji.

“Man, hati-hati ya? Jangan sakit, nanti kalau sudah sampai rumah sms gue ya?” pesan Mea sebelum mobil menjauh.

“Oke! Aji! Hati-hati nyupirnya!” teriak Luqman. Aku hanya mengangguk dan pergi dengan menutup jendela di sisi kiri.

Aduh.. gue harus ngobrol apa sama Aji? Masa hening gini. Dari tadi yang bersuara hanyalah suara mp3 yang disetel Aji dan beberapa senandungan Aji, sedangkan gue, cengok, berusaha membuang muka dengan melihat hujan atau suasana di luar mobil.

Yahoo…! Seneng gue akhirnya bisa menang dari Luqman, yah walaupun gue menang, dari tadi Mea hanya memandang ke luar jendela, nggak berusaha buat ngobrol sama gue. Apa emang harus gue ya yang mulai obrolan?

Akhirnya hingga di rumahku pun tetap hening, hujan, musik dari music player, dan suara mesin mobil Aji yang suaranya halus pun tidak lagi mengisi keheningan ini.

“Ehm, Ji, makasih ya?”

“Iya, sama-sama”

“aku… masuk ya?”

“Oke” katanya tersenyum lembut.

“Oya, nanti kalau kamu udah sampai di rumah, jangan lupa telepon aku ya?” pesanku.

“Oke”

Aku pun turun dan Aji mengeluarkan mobilnya dari garasi rumahku. Sembil terus tersenyum memandangku yang mau nggak mau aku ikut tersenyum hingga mobilnya menghilang di balik pertigaan dekat rumahku. Aku pun melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah, saat aku menutup pintu, kak Mei menunggu dengan muka tersenyum-senyum sumringah.

“Kenapa lo? Senyum-senyum sendiri! Gila ya?”

“Cie.. tadi pagi dijemput pakai motor, pulangnya dianterin mobil! Sama siapa tuh?”

“Hmm... sama siapa yaa?? Ada aja! Daripada lo ngurusin gue mendingan sono gih lo urusin tugas lo! Gue nggak mau lagi ya disuruh begadang cuma buat ngetikkin skripsi lo!”

“Okeh, gitu ya? Ya kalau gitu, siap-siap aja gih menghadap pengadilan Papa sendiri!”
Deg. Kalimat sakti terakhir yang diucapkan kak Mei membuatku terpaku dan berbalik memandangnya lagi.

“Papa udah pulang?”

“Yup!”

“Kapan?”

“Hmm... kira-kira sejam yang lalu”

“Mati gue!”

“Siapa yang mati Mea!?” sahut seseorang dari balik punggungku. Mampus. Papa pulang duluan. Mati gue. Mati gue. Mati gue. Sedangkan kak Mei hanya tersenyum dengan senyuman kemenangan yang paling licik.

“Eh, Papa, sore, eh, malam, eh Assalamualaikum, Pa…” kataku sambil berbalik sambil cengir-cengir mesam-mesem.

“Kamu tahu kan apa perjanjiannya?”

“Tahu, Pa”

“Coba sebutkan!”

“Semua anak Pak Hardi Wijoyokusumo yang belum memiliki suami, harus pulang ke rumah sebelum Pak Hardi Wijoyokusumo itu pulang kantor, lebih dari itu, akan diceramahi selama 2 kali jam telatnya”

“Dan selisih kamu dengan Papa pulang?”

“Satu jam?”

“Jadi berapa jam hukuman kamu?”

“Dua jam”

“Bagus deh kalau kamu menyadari kesalahanmu”

“Tapi, Pa. Ceramahnya satu jam aja ya? Masih banyak pe er sama tugas OSIS nih!”

“Kamu mau jadi 3 jam?”

“Eh, nggak!”

“Ya udah kalau gitu kamu mandi, salat, dan makan dulu, setelah itu temui Papa di ruang kerja Papa”

“Baik, Pa”

 
Blogger design by suckmylolly.com