21 November 2008

Sekuntum Lili Air Part 1 (by GRC#3)

Orangtuaku menamaiku Lylia Anaderisa. Aku dinamai begitu karena ibuku menyukai bunga lili, bunga yang cantik. Ibuku bilang, aku harus seperti bunga lili yang anggun, berhati putih dan lembut. Bunga ini juga mempunyai kesan yang ramah, yang menandakan persahabatan sejati. Ah, itu terlalu berlebihan sebenarnya..


"Woi, Lyl! Bengong aja.." Tyo dan Saya datang memecahkan lamunanku. Mereka datang membawa bakwan, makanan kantin favoritku.


"Oh! Eh, iya, kalian.., Wah, makasih! Bakwannya buat gue, nih?" Sejenak lamunanku terhapus karena menyadari bakwan yang mereka bawa itu untukku. Sebelum dijawab, kuambil bakwan itu.


"Ngelamunin apalagi, sih, Lyl? Cowok impian lo itu? Ckck.. Udahlah, standar ga usah ketinggian. Ga ada yang sempurna, Lyl.." Saya mengajakku bicara, sambil menyeruput lemon sodanya dan menarik kursi di sebelahku.


"Itu kan menurut lo. Kalo gue sih yakin, ada cowok yang sama persis dengan kriteria gue.." Aku mengutarakan keyakinanku.


"Lyl, Lyl. Lo emang ga berubah dari kelas 6 dulu.." Tyo ikut menyahut, sambil menepuk-nepuk pundakku.


"Yah.. gitulah. Kalian sendiri udah tau gue kaya gimana.. Hehe.." jawabku sambil tersenyum simpul.


"Iya. Lo tuh kalo udah yakin sama sesuatu, apapun gangguannya lo ga bakal goyah.. Dasar lo.. Hehe.." Saya menimpali.


TENG! TERERENG! TERERENG! TERERERERERENG!


Bel tanda pulang sekolah di sekolahku, Magical High School, berbunyi. Lah, berarti harusnya tadi aku belajar dong? Haha.. Iya, aku cabut!



Di mana aku? Aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Padang rumput, ilalang, pegunungan, kelinci-kelinci putih berlarian, serta kabut dan awan menghiasi langit. Sunyi.. hanya ada suara tetesan air di danau berair bening, sejauh mataku memandang.

Aku pun melangkah ke sana, mengecek siapa tahu saja danau itu hanya fatamorgana. Seiring langkah-langkah kaki kecilku, danau itu semakin jelas. Permukaannya berkilauan, seakan mengundangku untuk bercermin di sana. Ternyata danau itu nyata!

Sesampainya di tepi danau, aku bercermin di permukaan air, layaknya Narcissus yang mengagumi wajahnya. Aku melihat, di tengah danau ada sekumpulan lili air. Ingin sekali aku mengambilnya, namun aku tak bisa berenang. Pada akhirnya aku hanya memandangi bunga-bunga itu sambil berharap ada seseorang yang mengambilkannnya untukku.

“Kamu menginginkan bunga ini, kan?” ucap seseorang di belakangku. Aku terkejut, dan spontan menoleh ke belakang. Seorang pria berwajah dingin menatapku tajam, tangannya menggenggam sekuntum lili yang sedari tadi kupandangi.

“Kamu siapa? Aku rasa dari tadi hanya ada aku di sini..” tanyaku bingung sambil menaikkan alis.

“Kamu salah. Sedari dulu aku sudah menunggumu.. dari jauh.” jawabnya sambil menyunggingkan senyum tipis.

“Sedari dulu? Bukankah kita baru bertemu kali ini? Aku bahkan tidak mengenalmu..” tanyaku lagi, meyakinkan siapa orang ini sebenarnya.

“Hei. Bukankah aku yang selama ini kau cari? Bukankah aku yang selama ini kau tunggu?” Ia memberikan lili itu kepadaku sambil tersenyum, namun kemudian ia mundur. Ia balik badan dan berjalan menjauhiku.

“Tunggu! Siapa kamu sebenarnya...?” teriakku.



“AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!” Aku berteriak lepas. Perlahan aku membuka mata. Loh. Kok di kamar? Tadi kan aku di padang rumput.. yang pemandangannya sangat indah. Mana dia? Mana? Mana pria itu? Ah.. Apa maksud perkataan terakhirnya?


“Lylia... Lylia... Ada telepon...” Kudengar suara mama memanggilku.


“Dari siapa, Ma?” kataku, masih mencari-cari sukma untuk berkumpul di ragaku.


“Gatau tuh, angkat aja..” kata Mama.


Akhirnya aku pun turun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Kuraih gagang telepon.


“Halo.. Hoaaahm..” ujarku sambil menutup mulut.


"Aku akan datang ke mimpimu lagi kalau kau mau." sahut suara di seberang sana.



“Hah? Hah? Apa maksudnya?” Mataku terbelalak dan tiba-tiba tidak mengantuk lagi.


“TUT..TUT..TUT..” Telepon dimatikan.


Ya ampun. Mungkinkah dia pria yang kumimpikan tadi malam? Ah, tak mungkin, itu semua hanya mimpi. Pasti telepon itu juga hanya mimpi. Aku masih mimpi, kan? Lagipula, tak mungkin dia tahu kalau dia ada di mimpiku.


Tapi..


POK!


Aku mencoba menampar pipiku, mengecek apa aku mimpi atau tidak sekarang. Sakit, kok! Berarti aku tidak mimpi.. Lalu, apakah itu teror?


Tenang, Lyl, tenang. Selama dia tidak mengganggumu, biarkan saja..



“Karena tak kau lihat.. Terkadang malaikat.. Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan..”


Aku mendengar seseorang menyanyikan lagu itu, seiring dengan permainan biola yang sangat elok. Suara itu terdengar dari kejauhan. Aku mencari-cari asal suara itu, dan aku pun melihat seorang pria, berjas hitam, dan memainkan biola, duduk di atas sebuah batu besar. Ia memunggungiku. Aku berjalan pelan menghampirinya, berjalan sepelan mungkin di atas rumput-rumput, karena aku tak mau dia tahu kalau ada aku. Tapi sebelum aku menegurnya, ia menoleh. Pria itu!


“Aku tahu kau datang, Lylia.” Ia berkata pelan, masih dengan ekspresi dingin dan misteriusnya.


“Ah. Darimana kau tahu namaku?” Aku menghampirinya pelan.


“Kau ini. Aku kan sudah memberitahumu kemarin. Sedari dulu aku memperhatikanmu. Perlu bukti?” Ia menantangku. Raut wajahnya berubah. Sedikit menakutkan memang, tapi aku memberanikan diri. Aku penasaran.


“Ya. Kalau kau memang punya.” jawabku.


“Aku tahu rumahmu, aku tahu nomor teleponmu. Rumahmu di Jl. Dandelion No. 11, Jakarta. Nomor teleponmu 7206538. Jangan bilang aku salah, karena kamu mengangkat teleponku kemarin." Ia masih tetap misterius.


"Ya, kau benar. Tapi, tahu darimana?" Aku bersikeras menanyakan.


"Sudahlah, kau tak perlu tahu. Bukankah pria misterius sepertiku ini idamanmu? Seperti Edward Cullen kesukaanmu itu?" Ya ampun.. sepertinya ia tahu semua tentangku!


"..." Aku diam.


"Ya, aku memang tahu semua tentang kamu. Aku bisa membaca pikiranmu, Lyl. Di saat sadar dan tidak."


Aku tersenyum.


"Kamu sama persis dengan apa yang selama ini kuinginkan.." Kalimat itu yang keluar dari bibirku.


"Ya, memang. Tetapi baru sekarang kau sadar. Hmm.. Tidakkah kau ingin tahu siapa namaku?" tanyanya, membuatku semakin tertantang.


"Tak usah kujawab pun kau tahu bukan, aku ingin tahu namamu atau tidak." jawabku, mencoba untuk tidak kalah menantang dengannya.


"Air."


Angin berhembus pelan di tengkukku.


"Air? Unik sekali namamu." jawabku singkat.


"Itu bukan namaku. Itu arti dari namaku."


"Lalu, siapa namamu? Tolonglah, jangan buat aku penasaran terus.." Aku sudah tidak sabar.


"Banyu."


ZAP!


Ia menghilang lagi.

0 oknum bilang:

 
Blogger design by suckmylolly.com