26 November 2008

Miris

Sudah lama aku ada di sini. Yah, kurang lebih dua puluh tahun. Sudah tua, ya? Ah, tidak kok, menurutku aku masih tergolong muda.


Oh, ya, namaku Poli! Aku tidak sendirian di sini. Bersamaku ada Pola, sahabatku sejak aku muncul di dunia.


Kami diberi nama oleh seorang anak kecil yang lucu, penghuni rumah besar ini. Sebelum ia tinggal di sini, kami sudah lebih dulu ada.


Kami ingat saat pertama kali ia datang bersama kedua orangtuanya. Suaranya yang melengking-lengking mengagetkan kami dari ketenangan. Tapi ketika melihat sumber suaranya, kami langsung berpikir, ialah teman yang baik untuk kami.


Selama ini kami ditelantarkan, tapi tidak dengannya. Ia menganggap kami sebagai teman bermainnya. Ia anak tunggal, ia kesepian. Kasihan. Maka dari itu, kami membiarkan dia untuk melakukan apapun terhadap kami.


Sering ia membawa teman-temannya kemari dan bermain di bawah pengawasan kami. Berlarian, berteriak, bersahut-sahutan, berbisik, berlompatan, dan juga menggoreskan nama mereka di tubuh kami. Sakit, memang. Tapi, biarlah, apapun kami relakan asal dia senang.


Dari goresan itu, kami tahu, namanya Rani. Rani Minavertira.


Tahun berganti, Rani pun berubah menjadi seorang remaja manis, tak beda jauh dengan masa kecilnya dulu. Ia mulai jarang membawa teman-teman sejenisnya ke rumah. Sekarang ia sering membawa seorang lelaki ke rumah. Lelaki tampan.


Rani membawa lelaki yang kemudian kami ketahui adalah kekasihnya ke rumah, hanya ketika orangtuanya tidak ada. Hanya ada kami. Kenapa, ya? Ah, mungkin, ia sudah percaya pada kami.


Kami tidak merasa curiga sampai ketika.. Kami memergoki mereka sedang melakukan hal yang tidak sepantasnya mereka lakukan. (Tidak sampai separah itu, tenang saja)


Kami sudah berusaha mengingatkannya berkali-kali. Tapi apa daya, Rani sekarang telah berubah. Ia tidak peduli lagi pada kami. Semakin lama, tingkahnya dan kekasihnya semakin menjadi. Kami rasa, Rani telah terpengaruh.


Ah, Rani, andai saja kami curiga dari dulu, ingin sekali kami larang kamu untuk dekat dengan lelaki itu.


Kami hanya bisa diam. Rani mengancam kami untuk tidak memberitahukan apapun kepada orangtuanya. Yah, apa mau dikata.


Hal itu terus berlangsung mulus bagi Rani, sampai ketika orangtuanya pulang lebih cepat dari biasanya. Jelas, Rani tidak memperhitungkan itu, terlihatlah apa yang mereka lakukan oleh orangtuanya.


Yang kami dengar pertama kali adalah suara sesuatu yang jatuh. Oh, ibu Rani pingsan. Yang kedua, tangisan. Tangisan Rani, menyadari ibunya pingsan karena perbuatan terlarangnya. Yang ketiga, teriakan menggelegar. Suara ayah Rani yang penuh dengan amarah. Yang keempat, suara langkah kaki. Ah, tidak, lelaki itu kabur!


Sejak saat itu, orangtua Rani jadi super protektif. Rani tidak sekolah di sekolah umum lagi, ia homeschooling. Rani jadi pemurung, Rani semakin kesepian, Rani sedih. Rani menanggung beban berat.


Ia sering sekali menangis di hadapan kami. Ia juga bercerita bahwa saat ini ia sedang mengandung hasil perbuatan terlarangnya dulu. Orangtuanya malu dan memutuskan untuk pindah ke luar negeri sekalian. Ke Jerman. Toh di sana tidak ada yang mereka kenal, jadi akan aman-aman saja.


Tidak.. Jangan pergi, Rani. Dengan siapa nanti kami di sini?


Sekarang sudah tiga tahun berlalu. Rumah ini kini ditempati oleh keluarga besar, sepasang orangtua dan empat orang anak. Keempatnya laki-laki. Kami harap, kejadianmu dulu tidak terulang, Ran..


Apa kabar kamu di sana sekarang, Ran? Apa kamu sudah melahirkan? Perempuan atau laki-laki? Sudahkah kamu memiliki pasangan hidup?


Ran, kami rindu sekali padamu.


Kami menyesal, andai saja sedari dulu kami mengingatkanmu, tentu tidak akan begini jadinya.


Tapi, kami memang tidak pernah bisa mengingatkanmu.


Kami hanya saksi bisu.







Kami hanyalah pohon.

2 oknum bilang:

Anonymous said...

wah ini masih mula-mula ya..
jangan2 ntar Rani-nya jadi Schizophrenic lagi.. ntahlah.. hehe

Ha!ppy said...

eh ini cerpen looh za. jangan salah hha baca labelnya baek2 ya

 
Blogger design by suckmylolly.com